2. Vonis

207 15 1
                                    

"Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, sungguh, mereka akan Kami tempatkan pada tempat-tempat yang tinggi (di dalam surga), yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik balasan bagi orang yang berbuat kebajikan,"
"(yaitu) orang-orang yang bersabar dan bertawakal kepada Tuhannya."
(QS. Al-'Ankabut 29: Ayat 58-59)

***

"Leukemia stadium dua."

Gadis itu bergeming. Mata berwarna cokelat tuanya menatap tidak minat pada selembar kertas berisikan hasil diagnosa. Setelah melewati prosedur yang tak sedikit, setelah bolak-balik ke rumah sakit, kabar buruk itu akhirnya datang juga. Dokter Farel menahan napas, mempersiapkan diri jika pasiennya histeris.

Namun agaknya, dugaan Dokter Farel meleset jauh, sebab gadis berhijab merah maroon itu justru tersenyum penuh ketabahan. "Baiklah," ujarnya singkat, membuat sang dokter tertegun tidak mengerti.

Pasien bernama Haura Syaqilla itu mengangkat bahu. Senyumnya masih terlukis jelas di wajahnya yang memucat. "Baiklah, berarti dugaanku selama ini memang benar. Aku leukemia, tak ada yang bisa kulakukan selain tawakkal dan berikhtiar, 'kan? Tidak mungkin aku harus mengutuk takdir, sebab aku yakin, Allah Maha Adil dan Maha Baik. Allah juga akan memberikan pahala bagi hamba-Nya yang bersabar," ujarnya pelan. Mendamaikan.

Dokter Farel termenung. Bertahun-tahun mengabdi sebagai dokter, baru kali ini ia menemukan pasien setabah Haura.

***

Tubuh-tubuh tegap itu mengendap-endap di antara pohon yang menjulang. Petir yang bersahutan tak mampu menggoyahkan pendirian mereka. Hujan deras mengguyur seragam kebanggaan hingga basah kuyup.
Tatapan-tatapan itu tertuju pada satu titik; sebuah bangunan kumuh di tengah hutan, yang konon menjadi tempat persembunyian sebuah kelompok organisasi berbahaya.

Dor!

Sontak, mereka menegapkan tubuh, mengarahkan senjata pada sumber suara.

"Siaga! Target menuju kemari."

Dor! Dor!

Baku tembak tak terelakkan. Malam semakin mencekam ketika suara peluru bersahutan dengan petir. Beberapa orang menghadang pasukan tentara yang hendak menyergap bangunan di hadapan.

Sertu Ega menguatkan genggaman pada senjata. Rahangnya mengeras begitu melihat mereka membawa sandera. Tak sedetik pun ia mengalihkan fokus dari sekelompok orang yang menjadi biang teror kemarin malam. Ia berjanji untuk melumpuhkan kelompok bersenjata itu sekarang juga.

"Target membawa sandera. Hati-hati!"

Bunyi tembak terus beradu. Ega sadar ia harus ekstra hati-hati. Seorang anak kecil dalam dekapan salah satu dari mereka terlihat begitu ketakutan. Air matanya yang membasahi wajah mungilnya bersatu dengan air hujan. Ega menyipitkan mata, mengatur strategi untuk menyelamatkan anak itu.

"Sersan Ega, selamatkan sandera!"

"Siap!"

Ega bergerak cekatan. Satu tembakan berhasil mengenai kaki target. Anak itu jatuh sebab pegangan sang teroris terlepas.

Ega menangkis pukulan lawannya. Senjata ilegal milik musuh direbutnya dalam satu kali gerakan. Diarahkannya senjata itu menuju dahi lawan. Tangis sang sandera semakin menggema seiring dengan detak jantung Ega yang bertalu-talu.

Lawannya pasrah, mengangkat tangan tanpa perlawanan. Ia benar-benar terpojok. Sempat melangkah mundur, tetapi jurang yang menganga lebar di belakangnya menbuatnya mengurungkan niat. Tanpa menunggu lama, tentara lain bergerak cepat meringkus penjahat itu.

Haura And Her Soldier ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang