Lagu sendu milik Amigdala menyambut Haura begitu gadis itu masuk ke dalam resto. Suara merdu sang penyanyi membuat perasaannya semakin membaik. Bunyi denting sendok dan percakapan pengunjung turut berpadu dalam ramainya suasana resto. Haura melewati satu persatu meja di sekitarnya, menuju tempat yang sudah Aurelia sebutkan.
Jalannya sudah tak sesusah dulu berkat kaki palsu yang membantu menopang. Matanya menyapu sekeliling, memindai wajah-wajah yang kebanyakan terlihat bahagia, kontras dengan lagu sendu yang sedang diputar. Tatkala ia menemukan dua wajah yang dicari, senyumnya mengembang.
Di pojok resto, Aurelia melambaikan tangan, sementara Ega tersenyum tenang. Meja yang mereka pilih adalah tempat yang paling terhindar dari hiruk pikuk keramaian, mendukung mereka untuk berbincang banyak hal dengan leluasa.
Tepat ketika Haura hendak duduk di salah satu kursi di antara mereka, Aurelia tiba-tiba menariknya ke dalam pelukan erat yang cukup singkat. Saat mengurai peluk, gadis itu tiba-tiba memekik, "Selamat hari kelahiran!"
"Selamat ulang tahun, Haura!" Ega menimpali sedetik setelahnya.
Haura tergelak riang, tak menyangka bahwa tujuan Aurelia mengundangnya adalah untuk merayakan ulang tahun. Lalu bola matanya melebar tatkala seorang pelayan mendatangi meja mereka dan mengangsurkan sebuah kue ulang tahun yang tak terlalu besar. Kue itu diletakkan dengan hati-hati tepat di hadapan Haura yang kini terisak. Sang pelayan turut mengucapkan selamat untuknya sebelum beranjak pergi dengan senyum geli.
"Yah, nangis!" Sama seperti reaksi Asti tadi pagi, Aurelia menggodanya diiringi derai tawa. Bahkan gadis itu turut menepuk-nepuk kepala Haura dengan gemas.
Haura tak tahu harus menangis atau tertawa. Jadi, dia memilih keduanya—menangis sambil tertawa.
Ega yang paling pengertian. Pria itu mengajak Haura untuk duduk dan membiarkannya menenangkan diri. Tak lupa, ia mengangsurkan selembar tisu yang diterima Haura dengan segera.
"Terima kasih," lirih Haura haru. Ditatapnya kue itu dengan penuh syukur.
Seperti pagi tadi, pesta kecil kali ini hanya dirayakan oleh orang terdekat. Bedanya, ia mendapatkan sebuah kue meskipun tanpa lilin atau lagu ulang tahun. Aurelia memberikannya pisau kecil untuk memotong kue itu. Meja makan kembali ramai setelah Haura memberikan potongan kue untuk sepasang manusia di hadapannya.
Ketiganya memulai banyak percakapan. Tentang perayaan ulang tahun Haura di rumah, tentang jalanan yang macet di luar resto, tentang kekesalan Aurelia karena Ega lupa bahwa hari ini tepat tiga bulan pernikahan mereka, juga pertengkaran kecil Aurelia dan Ega yang memperdebatkan menu apa yang paling enak dari makan siang mereka kali ini.
Haura hanya tergelak dan tidak berniat ikut campur. Ia menyantap sesuap makanannya dengan tenang, seakan perdebatan Aurelia dan Ega adalah acara yang paling menyenangkan untuk ditonton. Senyumnya tersungging. Pengalaman bahagia yang ia rasakan hari ini meresap dalam-dalam di lubuk hatinya. Haura berjanji pada dirinya sendiri untuk tak akan melupakan cerita indah di hari ulang tahunnya kali ini.
Pandangannya menerawang. Haura masih ingat betul bagaimana perjuangannya untuk bertahan hidup kala remaja dulu. Masa remaja yang harusnya diisi dengan petualangan dan mempelajari hal-hal baru justru dihabiskan di atas ranjang rumah sakit. Ia masih ingat kesendiriannya kala itu. Malam-malam terasa lebih panjang dengan rasa sakit yang menusuk tubuh. Rasanya seakan-akan berperang melawan maut setiap hari.
Kesempatan hidup yang Allah berikan membuatnya menguatkan semangat beribadah sebagai bentuk syukur. Sejak kesembuhannya, Haura semakin sering meluangkan waktu untuk mendekatkan diri pada tuhannya. Sujudnya semakin panjang, dadanya semakin lapang, pembawaannya semakin tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Haura And Her Soldier ✔
Teen FictionHaura Syaqilla, gadis tuna daksa yang hidup sebatang kara. Senyum tabahnya menjadi andalan setiap ujian datang melanda. Seberat apa pun kepelikan yang ia terima, tidak akan menggoyahkan pendirian gadis itu, bahkan ketika divonis leukemia sekali pun...