"Selamat bertumbuh dewasa, putri kesayangan Ibu!"
Tawa Haura pecah. Ia menutup wajahnya malu-malu. Di waktu bersamaan, matanya mulai berair. Perasaannya campur aduk kala Asti menunjukkan sebuah kotak kado berwarna merah jambu yang terlihat manis. Haura baru saja bangun tidur dan keluar dari kamar, tetapi sudah mendapatkan kejutan semenyenangkan ini. Saat Haura menerima kado itu, ia turut mendapatkan kecupan di dahi serta usapan lembut di kepala. Kala itulah, air matanya membanjir. Perasaan haru menyesak dadanya.
"Cengeng!" Asti sengaja menggoda putri satu-satunya yang wajahnya mulai memerah. Tawa Asti semakin renyah ketika Haura memukul manja lengannya.
"Ibu, sih!" gerutu Haura. Gadis yang kini genap berusia dua puluh tahun itu mulai sibuk menyeka air mata.
Dengan sisa-sisa tawa, Asti merangkul pundak Haura, mengajaknya untuk menuju ke suatu tempat. Lantas, kedua tangannya menutup mata Haura.
"Bu, kita mau ke mana?"
"Cerewet. Kau ikut saja."
Haura menekuk bibir, kesal karena dipanggil cerewet. Namun, sekian detik selanjutnya, bibirnya kembali tersenyum antusias meski pandangannya masih gelap. Ia menanti-nanti kejutan apa yang akan Asti berikan di waktu sepagi ini.
"Tara!"
"Happy birthday, Haura!"
"Barakallah fii umrik, Sayang!"
Setelah Asti melepaskan tangannya dari mata Haura, gadis itu nyaris lupa bagaimana caranya bernapas. Tepat di hadapannya, ada Mbak Lea dan Lik Nur yang membawa hadiah masing-masing. Mbak Lea membawa buket bunga yang tampak cantik, sementara Lik Nur memberikannya sekotak kado berukuran lebar yang entah apa isinya. Keduanya tersenyum lebar seraya bertepuk tangan meriah, agak susah payah karena tangan mereka menggenggam hadiah.
Haura tertawa seraya memalingkan wajah, enggan memperlihatkan wajahnya yang telah basah. Segera, Mbak Lea mendekapnya dengan erat dan hangat, membiarkan Haura menenangkan dirinya sendiri di pelukan gadis itu.
Di balik pundak Lea, Haura mengamati pemandangan di halaman belakang rumah. Balon-balon kecil terhias indah di sepanjang pagar dinding. Ada namanya yang terlukis di tengah-tengah, diikuti angka 20 tepat di bawahnya. Sementara itu, meja dan empat kursi tertata rapi di pojok halaman. Berbagai jenis makanan turut terhidang di sana.
"Terima kasih," kata Haura terbata. "Terima kasih, Bu, Mbak, Lik. Aku tak menyangka akan mendapatkan kejutan di usiaku yang sekarang ini."
"Aku merindukanmu, tahu?! Aku sengaja kemari sepagi ini untuk melihatmu tersenyum. Jadi, berhentilah menangis," ujar Lea. Ia memberikan selembar tisu di telapak tangan Haura.
Haura terkekeh. Disekanya air mata menggunakan tisu itu sampai wajahnya tak lagi terasa basah.
"Kau mulai jarang berkunjung ke desa. Jangan sampai kau melupakan kami. Aku akan marah kalau kau mengabaikanku." Lea berkata dengan nada mengancam, tetapi Haura justru tertawa.
"Tak akan," balas Haura. "Lilik, terima kasih sudah meluangkan waktu. Aku tahu Lilik sibuk berjualan."
"Tidak masalah. Lilik sudah mempunyai banyak karyawan, jangan lupakan itu."
Tentu Haura tak akan lupa. Ia menjadi saksi perkembangan warung Lik Nur. Dari warung kecil-kecilan tempatnya bekerja dulu, kini Lik Nur sudah mempunyai toko besar yang jauh lebih nyaman.
"Lagipula ibumu sudah merencanakan kejutan ini dari jauh-jauh hari. Lilik tak mungkin menolaknya," lanjut wanita paruh baya berkerudung lebar itu.
"Benarkah, Bu?"
Asti mengangguk sembari tertawa samar. "Tentu saja!"
"Haura, aku memberikanmu buket bunga tulip. Kudengar, ini melambangkan persahabatan, kebahagiaan, dan pengakuan. Kupikir ini cocok untukmu dan kuharap kau suka." Lea menyerahkan buket yang mungil tetapi elegan itu. Haura menerimanya dengan senang hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Haura And Her Soldier ✔
Teen FictionHaura Syaqilla, gadis tuna daksa yang hidup sebatang kara. Senyum tabahnya menjadi andalan setiap ujian datang melanda. Seberat apa pun kepelikan yang ia terima, tidak akan menggoyahkan pendirian gadis itu, bahkan ketika divonis leukemia sekali pun...