Ega sudah berjanji pada diri sendiri untuk selalu menjaga Haura. Itu artinya, ia juga harus memastikan Haura bahagia dalam penjagaannya. Ega telah mempersiapkan hal spesial untuk gadis itu, sesuatu yang selama ini Haura cari; orang tua kandung.
Hari ini, Ega pastikan mimpi Haura akan terwujud. Penantian pahit selama empat belas tahun akan terbayar. Haura sudah cukup lama menderita. Ini waktunya untuk memetik buah dari kesabarannya.
Ega tak berhenti tersenyum selama di perjalanannya menuju ruangan Haura. Senyumnya semakin melebar saat menemui Haura yang tengah membaca buku. Haura sampai dibuat heran dengan ekspresinya.
"Ada apa, Kak? Bahagia sekali kelihatannya."
'Kau akan lebih bahagia dari saya setelah tahu kejutan yang saya persiapkan,' pikir Ega senang.
"Ad--"
"Aku sedang cemas, Kak."
Kalimat Ega terpotong. Pria itu menutup mulutnya kembali, mengurungkan niat semula. "Kenapa?"
"Suster Aurelia," gumam Haura lirih. "Lama sekali aku tak bertemu dengannya. Kukira dia sibuk, tapi sepertinya bukan karena itu." Haura menarik napas panjang, menutup novel pemberian Aurelia waktu itu, tak berminat membacanya lagi. "Menurut Kakak, dia baik-baik saja?"
Pikiran Ega kembali tertuju pada Aurelia. Pertemuan terakhir mereka tidak cukup baik. Ega seakan menyalahkan Aurelia pada saat itu. Masih terekam jelas bagaimana binar mata penuh rasa bersalah itu terarah kepadanya, juga wajah cantiknya yang basah oleh air mata. Bagaimana pun, Ega pernah mencintai Aurelia. Ega khawatir. Bagaimana jika perempuan itu tak menjalani hidupnya dengan baik karena rasa bersalah?
"Dia baik-baik saja, kau tak perlu khawatir," ucap Ega. Separuh hatinya merasa ragu dengan perkataannya sendiri.
Haura memicing curiga pada Ega. "Kakak pernah bilang bahwa Kakak membenci Suster Aurelia. Apa yang terjadi di antara kalian?"
Pertanyaan itu berhasil membuat Ega terpojok.
"Jangan sembunyikan sesuatu dariku, Kak."
Tidak, Ega tidak bisa mengatakan pada Haura bahwa Aurelia sengaja membawanya pada kelompok teroris itu. Cukup Ega yang kecewa pada Aurelia. Haura jangan.
Tak mendapatkan respon dari Ega, Haura berdecak, memandang bukunya dengan tatapan kosong. "Kalau dipikir-pikir, saat Suster Lia membawaku ke toko buku itu, dia mencurigakan."
Alis Ega terangkat. "Maksudmu?"
"Dia mencurigakan, Kak. Dia mengemudikan mobil menuju jalan pintas, lalu membawaku berbelok lagi ke tempat yang sepi. Padahal aku yakin jika hendak ke rumah sakit kembali, kami tak melewati jalan itu. Lalu, saat itulah, teroris itu datang menyekapku." Tubuh Haura menggigil. Jantungnya berdegup cepat mengingat bagaimana pria-pria menakutkan itu mengangkat tubuhnya dengan kasar. Ketika sadar, tiba-tiba ia telah terikat di sebuah ruangan.
"Ra, tak perlu memaksakan diri untuk mengingat itu jika membuatmu takut," ujar Ega. Ia bisa membaca gerak-gerik ketakutan perempuan itu.
Haura tak mengindahkan ucapan Ega. Dahinya berkerut mencoba mengingat kejadian sebelum kesadarannya hilang. "Dia mengucapkan sesuatu saat pria itu menculikku, Kak. 'Maaf'. Ya, dia mengatakan maaf kala itu. Mereka juga tak menyekap Suster Aurelia. Apa menurut Kakak, itu tak mencurigakan?"
Dahi Ega turut berkerut. "Mencurigakan," gumamnya kendati sudah tahu jawaban sebenarnya.
"Benar, bukan?" Haura memegang dagu. "Ke mana Suster Aurelia? Terakhir kali aku melihatnya adalah saat aku baru sampai di rumah sakit sesudah diselamatkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Haura And Her Soldier ✔
Teen FictionHaura Syaqilla, gadis tuna daksa yang hidup sebatang kara. Senyum tabahnya menjadi andalan setiap ujian datang melanda. Seberat apa pun kepelikan yang ia terima, tidak akan menggoyahkan pendirian gadis itu, bahkan ketika divonis leukemia sekali pun...