4. Sesal

129 14 0
                                    

"Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka. Sesungguhnya sebagian dari prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain." (QS al-Hujurat: 12).

***

Kepulangan Haura dari rumah sakit diiringi pelukan hangat Aurelia. Suster penyayang itu tampak berat untuk melepas Haura. Sebab ketabahan gadis itu terlanjur merebut simpatinya. Sungguh, Aurelia belum pernah bertemu dengan pasien semengagumkan Haura. Haura masih empat belas tahun, tetapi sikap dewasanya melebihi umurnya sendiri. Ia yakin akan merindukan gadis anggun itu, meski nantinya Haura akan kembali ke rumah sakit untuk jadwal kemoterapi.

Haura pulang dijemput Lik Nur, tetangganya yang paling peduli. Masih terekam jelas di ingatannya bagaimana Lik Nur menggerutu dengan raut wajah bersalah karena Haura tak pernah menceritakan sakitnya. Kepedulian yang membuat Haura terharu.

"Hati-hati, Ra. Sampai bertemu lagi nanti," pesan Aurelia setelah melepas pelukan.

"Aku tak janji akan kembali, Suster."

"Huh? Bukankah kau harus kemoterapi?"

"Suster tahu aku tak punya uang." Gadis itu tersenyum hingga lesung di kedua pipinya nampak. Ekspresi yang berbanding terbalik dengan keadaannya saat ini.

Aurelia menghela napas panjang. Tanpa kata, ia kembali menarik Haura dalam pelukan.

"Jangan khawatir. Aku yakin Allah memberi jalan." Haura berucap lirih di dalam pelukan perawatnya.

Ucapan Haura diamini Aurelia serta Lik Nur. Atau barangkali turut diamini malaikat-malaikat yang mengawasi.

Kepala Haura diusap pelan oleh Aurelia. "Tetap tawakal seperti ini, ya, Ra. Jangan berpikir yang buruk-buruk. Semangat!" dukungnya.

Haura mengangguk pelan. Lik Nur merangkul pundaknya. Mereka berpamitan dengan salam serta lambaian tangan. Kepergiannya diiringi tatapan sendu dari perempuan itu.

***

Sedari lahir, Haura tak pernah tahu seperti apa rupa ayah dan ibunya. Ia tak pernah tahu bagaimana rasanya berada dalam dekapan hangat seorang ibu. Ia hanya tahu bahwa mereka menitipkannya pada Simbok, dengan alasan yang tak pernah Haura pahami.

Haura seringkali merenung di kamar, membayangkan seperti apa wajah ayah serta ibunya. Apakah ibunya punya lesung pipi juga? Apakah ayahnya beralis tebal sama sepertinya? Dari manakah manik mata cokelat serta hidung mungilnya diturunkan?

Identitas orang tua Haura yang Simbok berikan sepertinya kurang lengkap. Ia benar-benar tak mengenal orang tuanya sendiri, bahkan namanya sekalipun. Barangkali Simbok menunggu waktu yang tepat untuk memberitahu Haura. Hanya saja, malaikat keburu mencabut nyawanya. Satu-satunya identitas orang tua yang Haura ketahui hanyalah pekerjaan sang ayah; tentara. Waktu itu, Simbok pernah memberitahu, kala Haura kecil ketakutan melihat wajah-wajah garang para tentara. Simbok menghiburnya dengan berkata bahwa tentara tak semenakutkan itu apalagi Haura juga putri seorang tentara.

Memikirkan itu membuat kening Haura berdenyut-denyut. Ia merintih lantas memijat kepala. Ditatapnya lemari lusuh yang beberapa bagiannya telah berlubang dimakan rayap. Haura terdiam cukup lama. Pikirannya tertuju pada perkataan Simbok beberapa hari sebelum pergi.

'Ra, kalau nanti Simbok pergi dan tak bisa mengawasimu lagi, ambillah kartu rekening yang ada di laci lemari dan gunakanlah uangnya. Itu pemberian ibumu. Hakmu sepenuhnya.'

Gadis itu termenung, masih belum sepenuhnya paham apa maksud Simbok waktu itu. Beberapa saat kemudian, ia memutuskan untuk mencari kartu itu. Tangannya berpegangan pada tembok lantas tertatih-tatih menghampiri lemari dan membukanya. Bunyi laci yang dibuka terdengar berderit. Mata itu membola saat menemukan kartu yang Simbok maksud. Keningnya berkerut. Dengan segera, ia meraihnya. Ada kertas bertuliskan pin untuk mengambil uang dari ATM juga. Sepertinya Simbok yang menaruhnya untuk memudahkan Haura.

Tangan Haura gemetar saat membuka buku tabungan. Matanya fokus membaca tiap-tiap angka serta tulisan yang tertera. Di situ tertulis jelas bahwa Simbok selalu menarik uang ratusan ribu dengan nominal berbeda tiap bulannya.

'Itu pemberian ibumu.'

'Itu pemberian ibumu.'

Kalimat itu terus terngiang di telinga Haura. Pikirannya mengambil sebuah kesimpulan. Bahwa ibunya ada. Bahwa ibunya peduli padanya.

Haura luruh, terduduk di kasur dengan tangan menggenggam erat buku itu. Bahunya terguncang menahan isak. Dia menyesal pernah berpikiran buruk tentang ibunya. Menyesal pernah menganggap bahwa sang ibu tak menyayanginya. Sebab, bagaimana pun, ibunya tak berlepas diri dari Haura begitu saja. Selama ini, Haura hidup dari kerja keras sang ibu juga, bukan hanya dari Simbok.

Haura paham sekarang, mengapa Allah selalu memerintahkan hamba-Nya untuk berbaik sangka.

Sudah lama sekali Haura tidak menangis. Pada akhirnya, detik itu, ia terisak sebab rindu dan penyesalan.

***

Ega sedang berbaring ketika Aurelia memasuki kamarnya. Gadis itu membawakan beberapa makanan serta obat. Kedatangannya mengundang senyum dari wajah Ega.

"Waktunya minum obat, Ga." Suaranya lembut di telinga. Ega mengangguk-angguk saja memerhatikan Aurelia menaruh nampan itu di atas meja dengan hati-hati.

"Haura sudah pulang?" tanya Ega basa-basi.

Aurelia mengiakan. Ia menghela napas panjang. "Dia benar-benar mengagumkan, ya, Ga?"

"Dia memang mengagumkan. Sama seperti kamu."

Aurelia menoleh dengan tatapan horor. "Buaya!" pekiknya pura-pura ketakutan. Ia melesat keluar dari ruangan itu sebab ada pasien lain yang harus ia urus.

"Hei! Buku catatanmu ketinggalan."

Kepala Aurelia melongok di balik pintu. Ega terbahak saat Aurelia memasuki kamarnya kembali. Diambilnya buku catatan dari tangan Ega dengan gerakan cepat. Ia mendelik sebal pada Ega yang masih menertawakannya.

Tawa itu terhenti saat dua pemuda berbadan kekar dan berambut cepak khas tentara tersenyum di depan ruangan. Di sebelahnya, berdiri seorang pria tua. Ega segera mempersilakan mereka untuk masuk lantas menyapa dengan menegapkan tubuh serta menghormat. Mereka saling bersalaman setelahnya. Aurelia yang canggung pun memilih untuk keluar ruangan, meninggalkan Ega bersama rekan serta sang ayah.

"Bagaimana keadaanmu, Ga?" Letda Ibnu berbicara dengan perhatian begitu duduk di kursi.

"Semakin membaik, Bang," balas Ega.

"Alhamdulillah."

"Pulihlah dengan cepat, Bang. Pastikan fisik Abang sanggup untuk misi kita selanjutnya." Kali ini, yang berujar adalah Serda Imam. Dia baru berusia dua puluh lima tahun, setahun lebih muda dari Ega.

"Saya pastikan bisa ikut misi selanjutnya, Im. Kau tahu siapa saya." Pemuda itu menepuk dada, berlagak angkuh. "Sersan Ega."

Imam tertawa menanggapi gurauan itu. Ia menepuk lengan seniornya pelan. "Saya tahu. Abang pasti akan cepat pulih," ujarnya.

Mereka mengobrol ringan untuk beberapa saat. Hingga akhirnya permintaan Handoko menginterupsi pembicaraan mereka.

"Nu, Im, bisa beri saya ruang untuk berbicara empat mata dengan Ega sebentar?"

Ibnu dan Imam saling pandang. Detik selanjutnya mereka mengiakan dan segera pamit keluar dari ruangan, membiarkan dua pria berstatus ayah dan anak itu bersama.

Mata elang Ega memerhatikan ekspresi lelaki tua di hadapan. Ia dapat merasakan dengan jelas aura keresahan serta keseriusan di raut wajah Handoko.

"Ada apa?" tanyanya penasaran.

"Ayah hanya memintamu untuk berhati-hati di misimu nanti. Mereka bukan orang sembarangan, Ga."

"Ayah jangan khawatir," balas Ega menenangkan. "Saya sudah terbiasa mengatasi kelompok seperti itu, Yah."

"Yang ini berbeda, Ga. Yang mereka incar bukan hanya negara, tapi juga ... keluarga kita."

Ega tercenung. Handoko bergerak menepuk bahunya yang tak terluka. "Karena ketua kelompok itu adalah pamanmu."

"Paman?"

"Ya. Ayah pikir dia mengincarmu. Jadi, berhati-hatilah."

***

Haura And Her Soldier ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang