14. Kemoterapi Pertama

109 12 0
                                    

Nur menatap Haura dari balik jendela kaca. Mata gadis itu tertutup rapat dan wajahnya begitu pucat. Alat-alat medis membalut tubuhnya yang kian kurus. Hanya dengan melihat saja, Nur sudah merasa ngeri. Ia tak bisa membayangkan sesakit apa rasanya ketika bermacam jarum menusuk tubuh Haura berkali-kali. Ekspresi kesakitan gadis itu mulai tampak jelas setelah obat-obatan kemoterapi mengaliri darahnya dan meninggalkan efek samping yang menyakitkan.

Tidak mudah meyakinkan Haura agar mau menjalani kemoterapi. Gadis itu bersikeras menolak dengan dalih tak mau menerima bantuan dari orang yang identitasnya belum ia ketahui. Nur tak punya pilihan selain memaksanya. Ia tak bisa menolak permintaan Asti untuk memastikan Haura diobati dengan baik. Lagi pula, Nur sudah berhutang budi pada Asti. Cara terbaik untuk membalas kebaikan Asti padanya adalah dengan merawat putri wanita itu.

"Bu."

Nur menoleh kala bahunya disentuh. Ia tersenyum saat Lea mencium tangannya dengan hormat. "Sudah bertemu dengan Bu Asti?"

"Sudah," jawab Lea singkat. Gadis berpakaian sederhana itu meraih sebuah amplop pemberian Asti dari dalam tasnya, lalu memberikannya pada sang Ibu. "Dari beliau."

Nur menerima dan membuka amplop itu dengan hati-hati. Sepuluh lembar uang berwarna biru tertata rapi di sana. Nur menghela napas. "Ini terlalu banyak," gumamnya. "Apa tak berlebihan? Kita hanya merawat Haura, tapi beliau memberi kita uang sebanyak ini."

Lea mengusap bahu Nur. "Aku yakin beliau ikhlas. Tak apa. Toh kita memang membutuhkannya, 'kan?"

"Kau benar," balas Nur. "Kalau begitu, kita hanya perlu memastikan Haura sembuh agar tak membuatnya kecewa."

Lea mengaminkan. Mata beningnya terarah pada Haura yang masih setia memejamkan mata.

***

Beberapa hari yang lalu ....

Naluri Asti sebagai seorang ibu tak bisa dibohongi. Ada yang aneh dalam dadanya ketika berpapasan dan melihat wajah Haura. Betapa mirip wajah itu dengan mantan kekasihnya. Tak hanya itu, kaki Haura juga memperkuat dugaannya.

Namun, Asti tak terlalu yakin. Lebih tepatnya, ia tak mau berharap terlalu tinggi. Pada akhirnya, Asti memilih melanjutkan langkah. High heels warna merahnya beradu dengan lantai dingin rumah sakit.

"Haura!"

Langkah Asti spontan terhenti. Ia tersentak mendengar nama yang ia berikan pada sang putri. Kepalanya menoleh. Seorang perempuan berseragam perawat tampak berbincang-bincang kecil dengan anak yang ia panggil Haura. Jantung Asti berdebar kencang.

Tidak salah lagi. Itu memang Haura. Putrinya, darah dagingnya, anak yang ia tinggalkan bersama Marsinah empat belas tahun lalu.

Asti menutup mulut. Bungkam. Sejenak ia tak tahu harus bagaimana. Asti hampir saja berlari mendekati gadis itu jika tak mengingat kelakuan jahatnya pada Haura.

'Jangan!' egonya membentak. 'Kau pikir dia akan menerimamu saat tahu apa yang telah kau lakukan padanya?!' marahnya pada diri sendiri.

Asti mundur selangkah. Matanya memburam. Perasaannya berkecamuk. Hingga akhirnya, ia memilih untuk pergi menjauh.

Asti belum siap!

Setelah cukup jauh berjalan, wanita itu terduduk di kursi tunggu di depan kamar pasien. Tangisnya hampir meledak, tetapi ia tahan sekuat mungkin. Napasnya tak beraturan. Syok dan gemetaran. Asti menunduk dan memejamkan mata. Tangannya memijat kepala.

Lea yang baru datang untuk menemani Haura sesuai permintaan Nur berhenti di depannya. Ia mengerutkan kening melihat Asti duduk di depan ruangan Haura. Namun, Lea memilih mengabaikan Asti. 'Mungkin dia keluarga pasien dari ruangan sebelah,' batinnya.

Haura And Her Soldier ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang