13. Menyembunyikan Kenyataan

95 9 0
                                    

Rasa lega yang luar biasa menyelusup di sanubari Haura manakala Ega memasuki ruangannya. Ia senang melihat Ega baik-baik saja, jauh lebih bugar daripada terakhir kali Haura melihatnya. Senyum tulus tersungging di wajah Ega setelah menutup pintu, membuat Haura mau tak mau membalas senyum.

Ega menganggukkan kepalanya satu kali untuk menyapa Lik Nur yang tengah menemani Haura. Pria itu mendudukkan diri di atas kursi setelah Nur mempersilakan.

"Apa kabar?" sapa Ega, agak canggung.

"Alhamdulillah," balas Haura singkat dengan senyum tertahan. Matanya tertuju pada sebuah kantung berukuran besar yang Ega bawa, penasaran.

Menyadari tatapan penuh tanya di mata Haura, Ega segera menaruh kantung berisi oleh-oleh itu di atas pahanya. Tangannya bergerak cekatan meraih sesuatu di dalam kantung; parsel berisi aneka buah yang lantas ia berikan pada Nur. Wanita itu tentu kegirangan dan menerima parsel meski agak sungkan.

Sadar bahwa Haura dan Ega mungkin butuh privasi, Nur beranjak pergi. "Lilik keluar dulu. Silakan mengobrol," ujarnya. Ia tak benar-benar pergi, melainkan mengawasi mereka dari balik jendela di luar ruangan.

"Baik, Lik," balas Haura.

Ega kembali mengeluarkan sesuatu dari kantung. Kali ini, boneka beruang mungil berwarna merah muda.

Mata Haura membulat, diikuti bibirnya yang menganga. Ia menatap Ega meminta penjelasan.

"Untukmu. Anggap saja hadiah kecil sebagai bentuk terima kasih saya," ujar Ega.

Haura mengerjap tak paham. Kendati demikian, Haura tetap menerima boneka itu. "T-terima kasih untuk apa?" tanya gadis itu penasaran.

Ega menghela napas panjang. Raut wajahnya berubah sendu. "Kau tahu, beberapa detik sebelum kecelakaan itu, Viola membicarakanmu."

Haura terperangah.

"Kau meminjamkan kerudung serta mengajarinya shalat, bukan? Saya sangat berterima kasih untuk itu. Setidaknya, kau membuatnya menutup aurat saat ajalnya tiba."

Mendengar penjelasan yang diucapkan Ega dengan parau, Haura hanya bisa tersenyum simpul. Ada rasa kehilangan yang kembali mengguncang jiwa.

"Ah, iya, boneka itu, Suster Aurelia yang memilihnya. Saya harap kau suka," lanjut Ega setelah ucapan sebelumnya tak mendapat balasan.

Haura mengangkat wajah. "Sungguh? Sepertinya Suster Aurelia tahu benar apa yang kusuka."

"Saya bersyukur kau menyukai boneka itu."

Haura terkekeh. "Uhm, mengenai Viola, sebenarnya ia yang mengatakan sendiri bahwa ia tertarik untuk mengenakan kerudung dan meminta kami mengajarinya shalat. Aku tak tahu ia seperti itu karena firasat atau bukan, tapi yang jelas, ia melakukan hal baik sebelum pergi. Kuharap itu pertanda bahwa Viola husnul khotimah."

Ega tertegun. Viola tak pernah begitu sebelumnya. Ada keharuan setelah menyadari adiknya berbuat kebaikan di saat-saat terakhir hidup, seakan menyadari bahwa usianya akan berakhir.

"Karena itu, Kakak jangan larut-larut, ya, sedihnya. Viola pasti tak akan suka," bisik Haura. Jemarinya memainkan bulu-bulu lembut boneka beruangnya untuk mengusir gugup.

Sebelah bibir Ega terangkat ke atas. "Tetap panggil saya seperti itu. Saya senang mendengarnya."

Haura mengangkat alis. "Uhm, gimana?"

"Kakak. Tetap panggil saya kakak."

Hening sejenak. Haura tersenyum kikuk. "Baik, Kak."

Ega juga tidak tahu, mengapa rasanya berbeda kala Haura yang memanggilnya seperti itu. Ia selalu biasa-biasa saja saat orang lain memanggilnya kakak, tapi tidak dengan Haura. Rasanya sedikit ... spesial, membuatnya teringat kepada Viola. Entahlah. Ega seperti menemukan Viola dalam diri Haura.

Haura And Her Soldier ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang