Haura tidak benar-benar tertidur. Telinganya masih awas mendengar seluruh percakapan di luar sana. Teriakan Asti, ucapan Ega, sampai isakan sang ibu bisa dengan jelas ia dengar.
Haura merasa hina. Seumur-umur, ia tak pernah menyangka bahwa dirinya adalah anak hasil zina. Harapannya untuk bisa bertemu dengan Asti luluh begitu saja. Satu sisi hatinya ingin marah, tapi sisi yang lain merasa bersalah. Harusnya saat ini ia berlari dan memeluk wanita yang ia panggil ibu, merasakan hangatnya kasih sayang setelah belasan tahun terpisah. Namun, kenyataan pahit itu membuatnya enggan menghampiri Asti terlebih dahulu.
Menyadari bahwa Haura sedang terjaga, Ega membatu. Mendadak ia merasa bersalah telah berbicara dengan nada tinggi, membuat Haura mendengar sesuatu yang tak seharusnya ia ketahui.
Mata sendu Haura menatap Ega. Ia tersenyum hingga menampakkan lesung pipi. Namun, Ega tahu senyum itu palsu.
Haura mengalihkan pandang. Ia duduk bersandar dengan netra menatap kosong pada langit-langit kamar. Ega berinisiatif untuk memanggil Asti. Barangkali Haura ingin bertemu sang ibu, pikirnya. Namun, kala pria itu keluar ruangan, yang ia lihat hanyalah Nur yang tertunduk lesu. Asti sudah menghilang entah ke mana.
"Kak Ega." Haura memanggil.
Ega menatap Haura lagi. "Ibumu sudah pergi."
"Aku tak mau bertemu Ibu."
"Apa?" Ega mengernyit. "Kenapa?"
Pertanyaan Ega disambut dengan gelengan. Ega menarik napas panjang. Langkahnya kembali tertuju pada Haura, lalu berakhir dengan duduk di kursi sebelah gadis itu. "Maaf, maaf kalau apa yang kau dengar tadi membuat hatimu sakit."
"Tidak, Kak. Aku baik-baik saja."
'Gadis sok tangguh,' ujar Ega dalam hati.
Sebenci apa pun Ega pada Asti, ia tak bisa turut membenci Haura. Meski Haura adalah anak dari wanita selingkuhan ayahnya, tetap saja gadis itu tak bersalah.
Lik Nur tiba-tiba memasuki ruangan. Ekspresi bersalah terlihat jelas di wajahnya yang telah dipenuhi keriput. Ketika Haura menodongnya dengan sebuah pertanyaan, ekspresi itu semakin kentara. "Kenapa Lilik merahasiakan ini?"
"Ibumu yang meminta," gumam Nur. Lubuk hatinya sangat berharap agar Haura tak menyalahkan dirinya.
"Padahal Lilik tahu seingin apa aku bertemu dengan ibuku."
"Lilik minta maaf."
Haura tersenyum lembut. "Tak apa. Jangan meminta maaf."
Haura masih sebaik itu.
Semua kembali hening saat Nur duduk dan bersandar di dinding. Sementara Ega kembali menatap Haura dalam-dalam.
"Jadi, kita saudara, 'kan?"
Haura mengangkat wajah. Mata itu kini berkaca-kaca. "Kakak," lirihnya. Ega seperti de javu. Bayangan Viola berkelebat dalam ingatan. "Aku selalu memanggilmu dengan sebutan kakak. Itu karena Kak Ega lebih tua dariku dan kupikir tak sopan jika hanya memanggil nama, tapi lihatlah sekarang, Kak Ega benar-benar kakakku."
"Saya paham perasaanmu ... Dik."
Senyum Haura mengembang seiring dengan air matanya yang jatuh. Dengan cepat, tangan kurusnya mengusap mata sebelum tangisnya semakin deras. "Aku benci menangis, tapi kali ini aku tak dapat menahan lagi. Aku terlampau haru."
Ega terkekeh. "Tidak apa-apa, karena itu tangisan haru. Saya tahu perasaanmu bercampur-campur."
Haura tersenyum. Tangisnya sudah reda. "Tapi, Kak, bagaimana jika pada akhirnya aku akan bernasib sama seperti Viola?"
Ega mematung. Mengapa gadis itu tiba-tiba mengungkit tentang Viola? Apa Haura takut Ega akan berakhir dengan ditinggalkan dua adiknya?
"Kenapa bertanya seperti itu?"
"Kakak tahu, aku penderita leukemia. Cepat atau lambat, aku akan meninggalkan Kakak."
Ega menatap Haura dalam-dalam. Rautnya begitu serius sampai membuat Haura takut. "Dengar, Haura, kau harus sembuh dan teruslah membersamai saya. Jangan pernah berpikir untuk meninggalkan saya. Saya cinta kamu, Ra."
Hening. Haura menatap Ega dengan tatapan horor, sementara Nur yang menyimak turut menganga tak menyangka.
Sebentar, apa itu pernyataan cinta?
"Bukankah Kakak mencintai Suster Aurelia?"
Ega mengernyit bingung. Sekian detik kemudian, tawanya pecah. "Saya mencintaimu sebagai adik dan mencintai Aurelia sebagai seorang gadis."
Sesaat Haura bergeming, lantas turut terkekeh canggung setelahnya. "Sebagai adik, ya?"
Ega tersenyum. "Sejujurnya saya sudah tak mencintai Aurelia. Saya membenci Lia mulai sekarang," ujar Ega jujur, mengingat pertengkaran mereka beberapa saat yang lalu. 'Apa yang terjadi jika Haura tahu bahwa Aurelia berhenti bekerja karenanya?'
"Huh? Kenapa begitu?"
"Kau tak perlu tahu."
Haura mencebik kesal. "Baiklah," pasrahnya membuat Ega tersenyum geli. "Tapi pesanku, tolong jangan membenci seseorang dengan berlebihan, sejahat apa pun ia. Kebencian hanya akan membuat hati kita tak lagi jernih."
Kalimat itu membuat Ega tertampar, mengingat kebencian yang tertanam di hatinya, pada Asti serta Aurelia. "Baik. Saya usahakan, ya, Ra."
Haura mengangguk dengan senyum tipis. Ya, seperti yang ia ucapkan, ia juga tak harus membenci Asti. Sejahat apa pun perlakuan Asti, wanita itu tetaplah ibunya. Haura harus memaafkannya meski itu sulit.
Ega mencuri pandang ke arah Haura. Kehadiran gadis itu sepertinya telah berhasil mengobati luka Ega atas kepergian Viola. Ega melihat Viola dalam diri Haura, dan itu membuatnya berjanji pada diri sendiri untuk terus mendampingi Haura, menemani gadis itu sampai sembuh dari sakitnya, memberinya kasih sayang sebagaimana rasa sayang Ega pada Viola. Ega akan menjaga Haura seperti adik kandungnya. Ega berjanji.
***
Tiga hari telah berlalu. Sepulang bekerja, Ega tak langsung pulang ke rumah dinasnya, tetapi menyempatkan diri ke rumah sakit terlebih dahulu untuk menemui Handoko serta Haura. Handoko sudah sadar sejak kemarin. Ada banyak pertanyaan yang ingin Ega ungkapkan, tetapi pria itu menahan diri. Ia memilih menunggu ayahnya benar-benar pulih agar tidak syok ketika menerima pertanyaan berat.
Handoko menatap Ega lemah saat pria itu menghampirinya. Ada rasa bangga yang bersemayam kala melihat seragam loreng yang Ega kenakan. Bangga karena sang putra bisa meneruskan karirnya menjadi abdi negara setelah ia pensiun.
Ega menyalami tangan sang ayah dengan hormat, lalu merapikan selimut ayahnya yang berantakan. Menyadari bahwa mata Handoko tampak memerah, Ega mengerutkan kening. "Ayah, apa Ayah menangis?"
Handoko menggelengkan kepala. "Ayah sudah melakukan dosa besar padamu dan ibumu, Ga."
"Ayah ...."
"Kejadian empat belas tahun lalu memang benar. Ayah sudah mengkhianati ibumu yang baik itu. Maaf karena telah bersikap pengecut dengan menyembunyikan ini."
"Yah, kenapa tiba-tiba bicara seperti ini?" tanya Ega merasa janggal. Ia memang hendak menanyakan tentang hal ini, tetapi Handoko justru terlebih dahulu membahasnya.
"Pagi tadi, wanita itu datang kemari."
"Wanita itu? Siapa?"
"Asti."
Tangan Ega mengepal. Rahangnya mengeras pertanda marah. 'Berani sekali wanita itu menemui Ayah.'
"Semuanya salah Ayah, Ga, bukan Asti. Tolong jangan membencinya. Dia hanya korban. Bencilah Ayah saja."
"Tidak." Ega menggeleng. Ia menarik napas panjang untuk meredakan emosi. "Saya sudah memaafkan Ayah bahkan sebelum Ayah bicara. Seorang perempuan yang mengagumkan bilang, kebencian hanya akan mengotori kejernihan hati. Jadi, saya mencoba untuk memaafkan Ayah."
Handoko diam cukup lama, mencoba menerka siapa perempuan yang Ega sebut. "Siapa perempuan itu, Ga?"
Ega tersenyum simpul. "Haura, anak Ayah."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Haura And Her Soldier ✔
Teen FictionHaura Syaqilla, gadis tuna daksa yang hidup sebatang kara. Senyum tabahnya menjadi andalan setiap ujian datang melanda. Seberat apa pun kepelikan yang ia terima, tidak akan menggoyahkan pendirian gadis itu, bahkan ketika divonis leukemia sekali pun...