18. Dikecewakan Berkali-kali

92 11 0
                                    

"Tetapi barang siapa bersabar dan memaafkan, sungguh yang demikian itu termasuk perbuatan yang mulia."
(QS. Asy-Syura ayat 43.)

***

"Ayah, saya berhasil."

Kalimat lirih itu dibiarkan tak terjawab. Tak ada peluk atau tepukan di punggung yang biasa Ega dapatkan sepulang bertugas. Ega menunduk dalam. Harusnya, ia bahagia sebab tugasnya selesai dengan lancar, meskipun harus mendapatkan luka tembak yang menyakitkan, tapi yang ia rasakan justru sebaliknya; sedih dan risau. Pikirannya penuh oleh beragam pertanyaan atas pengakuan dari Wijaya. Sayangnya, Ega tak tahu harus ke mana ia mencari jawaban.

"Paman Wijaya bohong, 'kan, Yah? Ayah tak mungkin mengkhianati Ibu."

Bayangan wajah penuh kasih milik Ibu berkelebat di pikiran. Ega masih ingat betul bagaimana perlakuan Handoko pada Dewi, ibunya. Mereka hampir tak pernah bertengkar. Handoko bahkan sangat sabar mendampingi Dewi berobat selama wanita itu divonis leukemia. Mustahil rasanya jika Handoko berhubungan dengan wanita lain.

"Paman memang berbohong." Ega menjawab pertanyaannya sendiri untuk meredakan gemuruh perasaan. Senyumnya tersungging begitu tipis. Berusaha berpikir positif agar hatinya baik-baik saja. "Saya percaya pada Ayah."

'Tapi ... bagaimana jika ucapan Wijaya benar?' Sisi hatinya yang lain berbicara demikian. Ega mengacak rambutnya dengan gusar. Ada binar kekecewaan yang terpancar jelas di mata tajamnya.

Bagaimana jika Handoko memang selingkuh? Bagaimana jika perlakuan lembut Handoko pada ibunya hanyalah topeng? Bagaimana jika ... Haura memang anak dari hasil perselingkuhan mereka? Sanggupkah Ega menerima kenyataan pahit itu?

***

Aurelia melihat Ega berjalan tertatih. Dari arah langkahnya, Aurelia bisa menebak bahwa pria itu hendak menuju kamar Haura. Aurelia menggigit bibir. Ada sesuatu yang ingin ia sampaikan pada Ega. Namun, Aurelia takut.

Ega yang semula menunduk, kini mengangkat wajah. Mata mereka pun bertemu. Senyum Ega tersungging. "Lia?" sapanya diiringi lambaian tangan.

Aurelia membalas senyum meski hatinya berdebar tak karuan. Jika ia mengakui sebuah fakta pada Ega, apa Ega masih mau tersenyum dan menyapanya?

"Ega ...," panggil Aurelia ketika jarak mereka hanya berkisar dua langkah.

"Iya?"

"Bagaimana kabarmu?" Aurelia hanya ingin berbasa-basi sejenak sebelum Ega menjauhinya.

"Seperti yang kau lihat."

Aurelia mengangguk. Jemarinya saling meremas untuk meredakan gugup. "Ega, aku akan berhenti menjadi perawat."

Kerutan samar tampak di kening Ega. "Kenapa?"

"Karena aku ini orang jahat, Ga."

"Kau bicara apa?" Ega semakin bingung. "Kau bukan orang jahat, Lia."

"Tidak, Ga." Air mata mulai jatuh dari pelupuk mata Aurelia. "Perawat macam apa yang membahayakan pasiennya sendiri?"

"Lia, saya tak mengerti."

"Haura celaka karena aku, Ga. Aku yang mengantarkan Haura kepada kelompok teroris itu." Aurelia berbicara dengan suara rendah tapi penuh penekanan. Tangisnya semakin deras, membuat beberapa orang yang lewat menatap heran kepada mereka berdua.

"Kau ...." Ega kehilangan kata.

"Penjahat itu meneleponku, memaksaku untuk bertemu dengan membawa Haura turut serta. Awalnya aku menolak, tapi mereka mengancam untuk membunuhku jika tak kuturuti permintaannya. Dan ... ya ... aku memang jahat. Kubawa Haura, lalu mereka menyekapnya."

Haura And Her Soldier ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang