Pagi-pagi buta, para prajurit sudah bersiap memulai pertempuran mereka. Demi negara, mereka rela menjadikan nyawa sebagai taruhannya. Pasukan itu bergerak maju dengan hati-hati. Senjata tergenggam erat di tangan masing-masing. Mereka mengepung sebuah bangunan yang diduga kuat menjadi tempat persembunyian Mister Wijaya.
Setelah mengamati sekitar, Kapten Trian memberi aba-aba untuk merangsek maju. Sebagian dari pria berbaju loreng bergegas menuju bangunan. Beberapa anak buah Mister Wijaya yang melihat kedatangan tentara itu tak tinggal diam. Mereka segera menarik pelatuk dan melepaskan tembakan ke arah pasukan.
Dor!
Desing peluru memecahkan keheningan pagi. Gelapnya suasana menambah kesan mencekam. Sekelompok burung pipit yang semula bertengger di atas dahan kompak terbang menjauh, seakan tahu bahwa tempat yang mereka tinggali sedang dalam keadaan berbahaya.
Ega tidak gentar. Pria itu menghindari setiap tembakan yang tertuju padanya dengan lihai. Peluru yang melesat dari senjatanya satu persatu merobohkan para musuh.
Pasukan itu terus bergerak maju. Pertempuran semakin memanas dengan bertambahnya anggota dari pihak lawan. Mereka menghalangi para prajurit yang hendak masuk.
"Tim Lion, masuk lewat sisi selatan!" Kapten Trian memberi arahan.
"Siap, laksanakan!"
Ega bersama tentara lain bergeser menuju pintu samping bangunan. Tak banyak teroris yang berada di sana sebab mereka terlalu fokus di pintu utama. Desing peluru terus bersahutan.
Dor!
"Argh!" Ega mengerang. Timah panas menyerempet lengannya hingga berdarah. Ia meringis, tetapi masih memaksakan diri untuk tetap bertahan. Luka sekecil itu tak akan membuatnya tumbang.
Target yang ada di ruangan itu kalah jumlah. Mereka berhasil ditumbangkan dengan mudah.
Letda Ibnu berjalan paling depan dan Ega menyejajarkan langkahnya. Tiga tentara lain berjaga di belakang sesuai strategi. Tidak adanya musuh di ruangan itu membuat mereka lebih leluasa untuk mencari keberadaan Mister Wijaya.
Ega mengernyit melihat gelang tali berwarna cokekat yang tergeletak di depan sebuah ruangan. Gelang yang terlihat familiar itu mengingatkannya pada seseorang.
'Haura?'
Napas Ega menderu. Jantungnya berpacu. Kakinya melangkah cepat menuju tempat itu.
"Sersan?!"
Ega menoleh cepat. "Letnan, bukankah tidak ada sandera?"
Ibnu mengernyit bingung. "Tidak ada laporan mengenai itu."
Ega yang tidak sabaran segera mendobrak pintu di depannya, tak peduli dengan lengan bagian kirinya yang terluka. Beberapa musuh kembali berdatangan, mencoba menghalangi Ega yang hendak membuka ruangan itu. Baku tembak pun tak terelakkan.
Musuh semakin banyak. Ega kewalahan. Di saat-saat genting begitu, Ega masih mencoba untuk membuka pintu.
Berhasil!
Ega menerobos masuk ketika para musuh lengah. Pratu Danu berjaga di ambang pintu untuk mencegah musuh turut masuk.
Mata Ega membulat. Dugaannya tidak meleset.
Haura ada di dalam sana. Duduk terikat di sebuah kursi, menatapnya dengan air mata yang berlinang. Sapu tangan yang membekap mulut membuatnya tak bisa berteriak. Kerudung merah maroon pemberiannya tampak acak-acakan.
Tak buang-buang waktu, Ega melaporkan situasi kepada Kapten Trian yang masih berada di luar. Dengan cepat, pria itu menghampiri Haura yang masih terisak dan berusaha melepas ikatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Haura And Her Soldier ✔
Teen FictionHaura Syaqilla, gadis tuna daksa yang hidup sebatang kara. Senyum tabahnya menjadi andalan setiap ujian datang melanda. Seberat apa pun kepelikan yang ia terima, tidak akan menggoyahkan pendirian gadis itu, bahkan ketika divonis leukemia sekali pun...