22. Hutang Maaf

77 8 0
                                    

Haura ketakutan saat pria itu berjalan mendekat, dengan tangan yang terus memegang payung demi melindungi Haura, sedangkan tubuhnya sendiri dibiarkan diguyur hujan. Hampir saja Haura kabur secepat kilat jika saja tak ingat bahwa gadis itu tak bisa berlari. Senyum misterius masih tercetak jelas di wajah sang pria yang dipenuhi bekas luka.

"Aku Prayoga. Pengemis yang pernah kau beri roti dan seseorang yang menyekapmu sekaligus melindungimu dari Mister Wijaya."

Detik itu pula, senyum yang terlihat misterius bagi Haura berubah menjadi senyum ramah yang meneduhkan.

Di bawah guyuran hujan pada hari itu, berbagai kemungkinan terlintas dalam kepala Haura. Tubuhnya menegang dengan mata tetap terarah pada seseorang yang mengaku sebagai Prayoga. Kenangan lima tahun lalu seharusnya memang sudah agak mengabur, tetapi Haura masih ingat betul. Pelan-pelan, ia mulai bisa menghubungkan kembali ikatan benang merah yang semula terputus, menyambungkannya menjadi sebuah cerita utuh.

Bahwa, pengemis kala itu, seseorang yang menculiknya, serta penjahat yang memilih untuk menembak Wijaya alih-alih membunuh Haura ... adalah orang yang sama.

Jika Haura boleh menerka, apakah masuk akal jika alasan Prayoga mengkhianati bosnya demi melindungi Haura adalah karena hutang budi pria itu pada kebaikan Haura?

"Kau sedang menebak-nebak?" Pertanyaan Prayoga menyentakkan kesadaran Haura dari lamunannya. Pria berusia dua puluh delapan tahun itu tersenyum, gemas pada Haura yang belum kunjung membuka suara sedari tadi. Meski Prayoga tak bisa menghindar dari perasaan bersalah serta gamang yang menggelayuti hatinya kala ini. "Maaf ... untuk waktu itu," lirihnya pilu. 

Bukan Haura namanya jika ia tak membalas permintaan maaf itu dengan baik. Ia mulai menemukan keberanian untuk menanggapi pengakuan Prayoga yang entah kenapa masih terasa membingungkan baginya. "Tak apa. Uhm, jadi, itu kau ...," simpulnya menggantung.

Prayoga tersenyum masam. Dalam hati, ia mengutuk hujan deras yang menghalangi niatnya. Bagaimana pun, Haura tak boleh berada di bawah guyuran hujan terlalu lama. Padahal, ada banyak hal yang harus ia jelaskan.

Ya, mungkin suatu saat nanti, ia akan menjelaskan semuanya di waktu yang tepat.

"Ayo, Haura, kuantar kau pulang."

Haura menggeleng, membuat kening Prayoga berkerut. "Tidak. Aku bisa pulang sendiri." Gelagat gadis itu seakan berkata bahwa ia tak nyaman berada di dekat Prayoga.

Meskipun sebenarnya Haura sudah merasa tak nyaman sejak tadi.

Prayoga mencoba mencegah Haura saat gadis itu hendak melangkahkan kakinya. "Baik, tapi ambil saja payungnya. Kau membutuhkan itu."

"Tidak--"

"Haura ...."

Ah, Haura bahkan masih heran dari mana Prayoga mengetahui namanya.

Melihat Prayoga menatapnya dengan ekspresi mencoba meyakinkan, mau tak mau Haura memilih menerima payung itu. Pilihan yang sukses membuat Prayoga melengkungkan bibirnya kembali.

"Hati-hati, ya."

"Terima kasih."

Prayoga mengangguk, kendati nuraninya mengatakan, 'kau tak perlu berterima kasih.' Tapi daripada semakin memperpanjang pembicaraan mereka, lebih baik Prayoga menghentikannya terlebih dahulu. Karena ia tahu, Haura harus segera pulang.

Prayoga tak mengatakan apa pun barang sekadar salam. Ia memperbaiki letak tudung jaketnya, menaruh tangan pada saku jaket, tersenyum, lantas berbalik badan. Menembus rinai hujan begitu saja.

Haura tertegun menatap punggung yang menjauh itu. Sekejap kemudian, ia tersadar, Asti mungkin sedang mondar-mandir mengkhawatirkannya. Tak mau membuat Asti menunggu lebih lama lagi, Haura bergegas melanjutkan langkah, mencoba menenangkan berisik di kepala yang masih menerka-nerka siapa sebenarnya Prayoga.

***

"Aaargh!"

Aurelia menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur dengan posisi telungkup. Tangannya mencengkeram bantal kuat-kuat, sementara kakinya bergerak-gerak tak beraturan. Ia malu sekali setiap mengingat ucapan Ega di kafe.

'Saya akan melamarmu.'

'Akan melamarmu.'

'Melamarmu.'

Pipi Aurelia merona merah, hampir senada dengan warna bunga-bunga pada motif bantalnya. Ia membalikkan badan menatap langit-langit. Senyumnya masih mengembang sedari tadi.

"Kau serius, 'kan, Ga?" Pandangannya menerawang, seakan Ega sedang ada di hadapannya—meski mereka sudah berpisah sejak setengah jam yang lalu. "Tapi kau bukan tipe pria yang hanya bermain-main. Kau pria yang bertanggung jawab," tambahnya.

Aurelia menggigiti jari, bimbang.

Setelah apa yang ia lakukan pada Haura, Aurelia memilih mengundurkan diri sebagai perawat dan memulai hidup baru. Terbang ke pulau Kalimantan untuk menghapus rasa bersalah dan kecewa yang menyandera dadanya. Di sini, ia tinggal dengan sang kakak, ikut bekerja di kantor perusahaan milik orang tuanya. Ia pikir, berada di dekat Ega lebih lama hanya akan membuat keduanya semakin terluka, begitu pula dengan Haura. Aurelia tak sanggup membayangkan sekecewa apa Haura padanya. Karena itu, lima tahun lalu, ia memilih kabur dari masalah.

Namun, belakangan ini Aurelia mulai menyadari bahwa keputusannya waktu itu salah. Ia pikir, seharusnya ia tak perlu meninggalkan kariernya. Ia terlalu takut untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dan meminta maaf secara langsung pada Haura. Pilihannya untuk pergi adalah hal terceroboh yang pernah ia lakukan. Apalagi ketika Ega bercerita bahwa Haura selalu menanyakan kabar tentang Aurelia, meski sudah tahu bahwa perempuan itulah yang membawanya pada Mister Wijaya. Haura cukup cerdas untuk menyimpulkan kenyataan itu.

Ega bilang, Haura selalu merindukannya. Haura yang pengertian tentu tak pernah menyalahkan Aurelia seperti Ega. Haura yang pemaaf telah mengikhlaskan apa yang Aurelia perbuat tanpa pikir panjang. 'Suster Aurelia tak salah. Ia melakukannya karena terpaksa. Aku tak menemukan alasan untuk tak memaafkannya. Lagi pula,
semuanya sudah baik-baik saja.' Begitu ucap Haura pada Ega yang kemudian diceritakan padanya.

Aurelia berdecak, mengutuki kecerobohannya. Apakah ia harus kembali ke kampung halamannya, demi meminta maaf dan mengakui kesalahannya meskipun terlambat?

'Ya, tentu saja,' tegas Aurelia pada dirinya sendiri. Ia tak mau menjadi pengecut lagi.

Diambilnya ponsel dari saku rok panjangnya. Tadi, Ega memberikan nomor Haura dan menyuruhnya untuk menghubungi Haura. 'Kau berhutang maaf padanya,' ujar Ega kala itu.

Aurelia menghela napas, berusaha mengumpulkan keberanian.

***

Dekap hangat penuh kekhawatiran seketika melunturkan dingin yang ia rasakan. Haura justru terkekeh sementara Asti memeluknya dengan cemas. Saat ia mengetuk pintu beberapa detik yang lalu, Asti menghambur padanya sampai Haura hampir jatuh jika saja tak menyangga keseimbangan dengan benar.

"Ya ampun, Ra! Kenapa lama sekali?"

Haura menunjukkan senyum tak berdosa, seakan tidak pengertian pada kekhawatiran yang Asti rasakan karenanya.

"Pakaianmu basah kuyup. Ayo, cepat masuk!"

Mengikuti Asti yang membawanya memasuki rumah, Haura menyempatkan diri menatap pakaiannya. Bagian atas tubuhnya memang kering, tapi rok panjangnya benar-benar basah. Hujan memang sangat deras kala itu.

"Bersihkan diri dulu, setelah itu cepatlah bergelung dalam selimut. Kalau kau terkena flu, Ibu yang repot," gerutu Asti. Meski begitu, Haura tak keberatan. Ia tahu Asti mengomelinya karena sayang.

Sebelum tubuhnya lenyap di balik pintu, Haura cepat-cepat mengecup pipi Asti sekilas. "Jangan marah-marah, nanti cepat tua," ujarnya, lalu segera menutup pintu.

Sementara itu, Asti tersenyum menyaksikan tingkah putri semata wayangnya. Keharmonisan ini ... tak pernah ia rasakan sebelumnya—saat masih meninggikan ego dan menomorsatukan karier. Dalam hati, wanita itu berterima kasih kepada Ega. Jika kala itu Ega tak bersusah payah membujuknya, mungkin ia tak akan pernah merasa sebahagia ini.

***

Haura And Her Soldier ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang