"Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya." (QS: Al-Maidah: 32)
***
Pria paruh baya itu menyembunyikan tangannya yang gemetar di antara kedua lutut, tetap berlagak angkuh kendati jantungnya berdegup tak karuan. Baju tahanan membalut tubuh rentanya dengan hina. Ia memberanikan diri menatap pemuda di hadapannya. 'Sial,' makinya dalam hati. Ini sudah satu menit lebih, tetapi pemuda itu belum juga membuka suara, hanya terus memberikan tatapan tajam yang membuatnya ketakutan. Seakan ingin mencabik-cabik tubuhnya sebagai balasan dari apa yang telah ia perbuat.
"Berhenti menatap saya seperti itu!" Sang pria memberanikan diri untuk berbicara, mengundang senyum miring dari pemuda di depannya.
"Kenapa? Anda takut?"
Pria berbaju tahanan itu berdecak angkuh, lantas membuang pandang untuk menyembunyikan ketakutan serta rasa bersalah dalam sorot matanya.
Ega bersedekap. Tubuhnya bergerak maju, mengikis jarak dengan pria yang kini menjadi manusia yang paling ia benci. "Kenapa Anda membunuh adik dan ayah saya?"
"Saya tak sengaja."
"Anda kira saya bodoh, Bapak Wira?"
Pria yang dipanggil Wira itu tersentak. Ia memainkan jari jemarinya dengan gelisah, takut ketahuan.
Ega menyeringai, meremehkan. "Anda menabrak mobil itu dengan sengaja. Anda juga menguntitnya, bukan?"
"Saya tak menguntitnya, itu karena arah tujuan kami sama!" Wira membela diri.
Ega tak lantas percaya. Ia meneliti Wira dari rambut sampai kaki, lalu kembali terarah pada raut wajahnya yang tampak gelisah. Pandangannya turun lagi, sampai berhenti di pergelangan tangan Wira. Kening Ega mengerut. Sekilas ia melihat sebuah tato berbentuk batang berduri di balik lengan baju pria itu.
Meski hanya terlihat setengah, tetapi bentuk tato itu tidak asing.
Ega memutar otak, mencoba mengingat di mana ia melihat tato yang familiar itu.
Merasa tangannya ditatap sedemikian rupa, Wira menyadari sesuatu. Buru-buru ia menutupi tatonya dengan lengan baju yang sempat tersingkap, meski tahu itu sudah terlambat.
Ega tersentak. Ingatannya tertuju pada penyergapan teroris beberapa hari lalu. Tato di tangan Wira sama persis dengan tato di tangan teroris waktu itu. Tidak salah lagi, itu memang simbol identitas mereka. "Mister Wijaya?!" ucapnya tiba-tiba.
Wira memucat.
Sontak, Ega berdiri. Emosinya sudah memuncak, tapi ia tahan kuat-kuat. "Itu nama bos Anda, 'kan? Katakan pada saya, apa dia yang menyuruh Anda?"
Wira menggeleng cepat. "Anda salah!"
"Bukan tebakan saya yang salah, tapi Anda yang berbohong."
Melihat Wira tertunduk gelisah, Ega tahu bahwa tebakannya benar. Ia terkekeh miris. Ada nyeri yang bersarang dalam lubuk hatinya. Orang yang mencelakai ayah serta adiknya ... adalah pamannya sendiri? Tolong katakan bahwa ini hanya mimpi!
Ega menatap Wira dengan tatapan benci. "Sebesar apa bayaran yang Anda terima untuk melenyapkan nyawa manusia yang tak bersalah?"
"Ti-tidak ada!" Wira masih bersikeras membantah, tetapi Ega tahu bahwa pria itu berdusta.
"Anda sudah menghancurkan hidup Anda sendiri. Imbalan sebenarnya dari perbuatan keji itu ... bukanlah uang yang bos Anda berikan sebagai bayaran, melainkan dosa." Ega tersenyum miring. "Apa uang itu sebanding dengan dosa yang Anda terima?" Ia menggeleng. "Tidak! Anda hanya melakukan perbuatan yang sia-sia. Uang itu sekarang disita. Anda dipenjara, dan dosa Anda akan menghantui selama-lamanya jika tak bertaubat."
Wira membatu. Ekspresi angkuh yang sedari tadi menjadi topeng, memudar begitu saja.
Ega beranjak pergi setelah memberikan tatapan tajam yang membuat Wira tak berkutik. Di ambang pintu, langkahnya tiba-tiba berhenti. "Jika ayah saya tak dapat diselamatkan, bersiaplah untuk menghadapi kehancuran," ujarnya dengan dingin.
***
Gundukan tanah itu masih basah. Bunga mawar yang berserakan di atasnya menjadi tanda bahwa makam itu masih baru. Ega berjongkok di sisi makam, memaksakan senyum meski hatinya terasa sakit.
"Assalamualaikum, Princess. Maaf, Kakak baru bisa datang," katanya meski tahu Viola takkan menjawab. "Baru sehari kita berpisah, tapi Kakak sudah kangen banget." Ia terkekeh kecil.
Pria itu menghela napas, mencoba mengusir gemuruh dalam dada. Selanjutnya, ia membisikkan doa untuk adik tersayangnya.
Sebetulnya, bukan kali ini saja mereka berpisah. Ega bahkan pernah meninggalkan Viola berbulan-bulan demi tugasnya sebagai tentara. Namun, kali ini berbeda. Ini adalah perpisahan untuk selamanya, bukan sementara sebagaimana biasanya.
Rupanya benar, tak ada manusia yang tahu pasti kapan ajal tiba. Tiada tanda-tanda bahwa Viola akan pergi. Gadis itu bahkan baru saja sembuh. Ia sempat membuat Ega begitu lega saat dokter berkata kondisinya sudah membaik. Namun, Allah punya cara lain. Dia mengambil Viola dengan cara yang tak pernah Ega duga, di saat kelegaan Ega terhadap sembuhnya Viola telah sampai pada puncaknya.
Ega sudah memantapkan diri untuk ikhlas. Air matanya sudah cukup banyak yang tertumpah. Ega tak mau menambahkannya lagi. Ia tak lagi mengutuk takdir sebagaimana kemarin. Ia merelakan Viola, tapi akan tetap memperjuangkan keadilan untuknya.
'Paman ....' Pria itu membatin. Kepalanya menunduk dalam. 'Kenapa tega mencelakai keponakan serta saudaramu sendiri?'
Tiba-tiba Ega teringat pada pesan Handoko kala itu. Ketika Handoko memperingatkannya bahwa Wijaya mengincar keluarganya. Misteri tentang kenapa Wijaya menjadi jahat belum terkuak. Ega berharap ayahnya segera sadar secepat mungkin agar ia bisa meminta penjelasan.
"Ega ...."
Ega menoleh. Ia tersenyum ketika tahu siapa yang barusan memanggilnya. "Aurelia."
Perempuan itu mengulum senyum. "Maaf karena kemarin tak datang. Aku sibuk dengan pekerjaan."
Ega mengangguk, mempersilakan Aurelia untuk berjongkok di sampingnya. "Uhm, maaf juga karena bersikap kasar padamu kemarin."
"Tak apa. Aku paham," balas Aurelia. "Aku turut berduka cita. Viola anak yang baik."
Ega mengangguk lagi. "Terima kasih," jawabnya. Lalu, ia membiarkan Aurelia membacakan doa untuk adiknya. Cukup lama keheningan menyergap mereka.
Setelah Aurelia selesai berdoa, mereka berdua bangkit dan berjalan beriringan meninggalkan makam.
"Bagaimana keadaan Ayah?" tanya Ega di perjalanan.
"Belum sadar."
Ega menghela napas.
"Bersabarlah. Kuharap ayahmu cepat sadar."
"Ya, saya juga berharap demikian."
"Ah, iya, tadi Haura menitipkan salam untukmu saat aku bicara akan kemari. Katanya, barangkali aku bisa bertemu denganmu di sini-dan ternyata benar. Dia sepertinya ingin membicarakan sesuatu padamu, tapi tak enak hati karena kau masih dalam suasana duka."
Ega merenung. Teringat pada percakapan terakhirnya dengan Viola sebelum kecelakaan itu. "Haura? Ah, saya berhutang budi padanya."
Alis Aurelia terangkat. "Berhutang budi?"
"Ya, tentang Viola."
Aurelia mengangguk meski tak paham. "Begitu, ya."
Keduanya telah keluar dari area pemakaman. Ega menatap Aurelia penuh harap. "Boleh saya minta bantuanmu, Lia?"
"Dengan senang hati," jawab Aurelia cepat.
"Saya ingin memberikan hadiah untuk Haura, bisa bantu saya memilihkan hadiah yang tepat untuknya? Saya tak tahu apa yang biasanya disukai perempuan." Ia terkekeh di akhir kalimat.
Aurelia mematung sejenak, lalu tersenyum lebar setelahnya. "Siap, Sersan!"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Haura And Her Soldier ✔
Teen FictionHaura Syaqilla, gadis tuna daksa yang hidup sebatang kara. Senyum tabahnya menjadi andalan setiap ujian datang melanda. Seberat apa pun kepelikan yang ia terima, tidak akan menggoyahkan pendirian gadis itu, bahkan ketika divonis leukemia sekali pun...