15. Pamit

84 7 0
                                    

Ruangan luas itu dipenuhi oleh sekumpulan pria berbaju loreng. Mereka berbaris teratur menghadap Kapten Trian yang memimpin rapat, mendengarkan kata demi kata tanpa terlewat. Kelompok teroris pimpinan Mister Wijaya adalah alasan dari diselenggarakannya rapat itu.

Setelah gudang senjata dan beberapa anggotanya diringkus, kelompok Wijaya belum kapok melakukan penyerangan, meskipun sudah tidak sesering dulu karena aparat TNI telah melakukan penjagaan ketat di berbagai wilayah. Namun, warga belum bisa bernapas lega. Mereka tak tahu kapan Mister Wijaya berulah lagi. Maka, tugas Ega beserta timnya adalah menumpas teroris yang membahayakan negara dan memastikan masyarakat bisa kembali merasakan kedamaian seperti sedia kala.

"Informasi terbaru, tujuan mereka tidak hanya memancing ketakutan dari warga, tetapi juga tengah merencanakan untuk menggulingkan pemerintah. Jadi, sebelum mereka memulai aksinya, kita harus terlebih dahulu menyergap dan menghentikan mereka." Kapten Trian mengambil jeda setelah sebelumnya berbicara panjang lebar. Ia menunjukkan sebuah titik pada peta yang membentang.

"Berdasarkan pengakuan dari salah satu tawanan, ini adalah lokasi markas utama mereka. Kemungkinan besar, Mister Wijaya bersembunyi di sana. Dini hari nanti, kita akan bergerak cepat dan melakukan penyergapan. Ini akan menjadi pertempuran besar karena kita menghadapi pimpinan terorisnya. Sebab itu, lakukan dengan hati-hati agar mereka tidak mencium pergerakan kita. Kita mengemban tugas mulia, jadi jangan sampai gagal," lanjut sang kapten.

Mereka bubar setelah Kapten Trian menutup rapat. Ega berjalan keluar ruangan dengan tatapan hampa. Biasanya, jika akan menjalani tugas seperti ini, Ega selalu menelepon Handoko atau Viola untuk berpamitan serta meminta doa. Namun, tidak dengan sekarang. Ega seperti hidup tanpa keluarga. Viola sudah tiada dan Handoko belum kunjung sadar padahal sudah lebih dari seminggu koma.

Melihat Ega termenung sendirian, Kapten Trian mengernyit. Pria itu menghampiri Ega tanpa pikir panjang. "Ada apa, Ga? Kelihatannya sedang memikirkan sesuatu yang berat."

Ega yang terkejut segera memaksakan senyum. "Tidak ada apa-apa, Ndan."

Trian tersenyum simpul. Ia tahu Ega berbohong. Ia sudah mendengar apa yang terjadi pada keluarga Ega dan ia bisa menebak mengapa Ega tampak murung hari ini. "Saya turut berduka dengan kejadian yang menimpa keluargamu. Pergilah ke rumah sakit. Temui ayahmu sebelum kita berangkat dan mintalah restunya." Trian menepuk punggung kekar Ega untuk menenangkan. "Saya yakin beliau akan segera membaik, InsyaaAllah. Jangan sampai kekhawatiran merusak konsentrasimu besok. Tetaplah berpikir positif."

"Siap, Ndan! Terima kasih."

Kapten Trian berjalan pergi. Ega menatap punggung atasannya yang kian menjauh. Trian mungkin tak mengerti perasaannya sehingga bisa dengan mudah menyuruhnya untuk tidak khawatir. Namun, Ega membenarkan kalimat terakhir sang kapten. Benar, seharusnya ia tetap berpikir positif pada keadaan ayahnya.

***

Ega sudah sampai di rumah sakit. Pria itu langsung menuju ruang ICU tempat Handoko dirawat. Dadanya sesak melihat kondisi sang ayah. Luka lecet dan lebam menghiasi wajah Handoko. Tak ada senyum lembut yang biasa tersungging ketika memandangnya. Wajah pucat itu seakan betah tanpa ekspresi.

Hanya terdengar bunyi monitor untuk beberapa saat. Ega belum membuka suara, masih asyik memandangi wajah sang ayah tercinta, keluarga kandung satu-satunya yang tersisa. Ega tak tahu akan seperti apa hidupnya jika keluarganya benar-benar tiada. Ia akan menjadi sebatang kara, seperti ... Haura.

Setelah menarik napas panjang dan meredakan gemuruh di dada, Ega menggenggam erat lengan Handoko. Lengan yang rela kelelahan bahkan terluka untuk mencari nafkah untuk Ega semasa kecil. Ega merasa bersalah karena menurutnya, ia belum cukup membuat Handoko bahagia.

Haura And Her Soldier ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang