Tepat ketika Haura menikmati tegukan pertama cokelat panas yang ia buat sendiri, ponselnya berdering. Haura menaruh kembali cangkir cokelatnya, lalu beralih pada benda pipih nan canggih itu.
Nomor tak dikenal.
Kening Haura berkerut samar. Pelan-pelan, ia menekan notifikasi, mengarahkannya pada sebuah pesan yang berhasil membuat jantungnya berdegup tak beraturan.
[Assalamualaikum, Haura. Ini aku, Aurelia. Maaf baru sempat mengabari. Aku tak tahu diri sekali, 'kan? Hehe.]
"Suster ... Lia?" Terbata-bata, Haura mengucapkan nama itu. Dengan perasaan yang masih berkecamuk—antara penasaran, haru, juga rindu—Haura membaca kembali pesan yang selama ini ia tunggu-tunggu.
[Apa kabar, Ra? Aku akan baik-baik saja kalau kabarmu juga baik. Tapi, Ra, aku tak bisa memungkiri bahwa hatiku tak pernah merasa tenang sejak waktu itu. Meski terlambat, tolong ... maafkan aku.]
Haura tersenyum simpul. Lalu, ia memilih untuk menyentuh tombol telepon pada ponselnya. Tak butuh waktu lama untuk menunggu Aurelia mengangkatnya.
Hening. Untuk sesaat.
Sampai akhirnya, Haura mendengar Aurelia terisak.
"Suster? Suster Lia?" panggil Haura cemas.
Tak ada jawaban.
"Suster, aku sudah memaafkanmu sejak lima tahun lalu. Jangan terlalu dipikirkan. Aku senang karena kau mau menghubungiku."
"Seharusnya aku menghubungimu dan meminta maaf secara langsung sejak dulu, tapi aku tak punya keberanian. Maaf." Untuk pertama kalinya setelah begitu lama, Haura mendengar suara Aurelia lagi. Suara itu masih sama. Masih lembut dan menenangkan. Hanya saja, kini terdengar parau.
"Aku mengerti, Suster."
"Panggil kakak saja. Aku bukan lagi seorang perawat," koreksi Aurelia. Di seberang sana, ia tersenyum.
Haura terkekeh kecil. "Kakak."
"Aku harus berterima kasih pada Ega karena dia yang meyakinkanku untuk menghubungimu. Jika dia tak membujukku, aku mungkin masih ketakutan untuk meminta maaf padamu."
"Kenapa takut? Aku tidak menggigit."
Mereka tertawa.
Haura mengalihkan pandang pada jendela kamarnya. Hujan sudah mereda, menyisakan gerimis kecil yang jatuh dari langit nan mendung. Ia tersenyum tipis. Diseruputnya kembali cokelat panas dari cangkir.
"Kau bertemu dengan Kak Ega?"
Di seberang, Aurelia tidak langsung menjawab. Ia sedang sibuk meredakan debaran aneh di dada. Apa ini yang dirasakan orang yang jatuh cinta? Hanya dengan mendengar nama Ega saja, jantung Aurelia menggila. Pipinya merona setiap mengingat kejadian di kafe waktu itu.
"Iya, dia memintaku bertemu," jawab Aurelia kemudian.
"Jadi, kau ada di Kalimantan?"
"Benar. Aku bekerja di sini."
"Wah!" Haura berseru. "Beruntung sekali kau bertemu dengannya."
Aurelia mencebik. "Kau lebih beruntung karena lebih sering bertemu dengan Ega."
Haura tertawa. "Kau cemburu, Kak?"
"Iy--eh, tidak!"
Tawa Haura semakin kencang. "Tuh, keceplosan."
"Diamlah, Haura. Kita baru sempat berkomunikasi jadi tolong jangan membuatku kesal."
Susah payah Haura menahan tawanya. Gadis itu kembali menerawang ke arah jendela, sekaligus memutar ingatan pada ucapan Ega lima tahun yang lalu. "Kak Lia, mau mendengar sesuatu yang menarik?"
"Hm?"
"Kak Ega pernah bilang seperti ini padaku, 'Saya mencintaimu sebagai adik, dan mencintai Aurelia sebagai seorang gadis.' Jadi, kau tak sepatutnya mencemburuiku."
"Apa?!"
Haura tersenyum simpul. Sengaja tak mengulangi perkataannya karena ia yakin Aurelia mendengarnya dengan jelas. Ia membayangkan ekspresi Aurelia sekarang. Pasti pipinya sudah sangat merah karena malu.
"Aku tunggu undangan pernikahannya!" ledek Haura lagi.
"Hei!"
"Kabari aku nanti. Assalamualaikum!"
Haura mematikan telepon, sengaja seperti itu agar Aurelia kesal. Lantas, ia tertawa.
Sementara itu di ujung telepon, bukannya kesal, Aurelia justru tersenyum-senyum sendiri. 'Benarkah Ega mengatakan itu? Dasar, memalukan,' pikirnya sembari menggigit jari.
Di tempat Aurelia, hujan masih turun dengan sangat deras. Sesekali, guruh kecil terdengar. Namun, guruh yang biasanya membuatnya ketakutan itu kini justru berubah menjadi seperti musik merdu yang mengiringinya ke alam lamunan. Bibir Aurelia tersungging. Ada siluet wajah Ega di antara hujan deras itu. Dari balik jendela kaca, siluet itu tersenyum. Sepertinya daya imajinasi Aurelia memang tinggi sampai-sampai siluet Ega terlihat sangat nyata. Aurelia memeluk kedua lututnya dengan mata yang terus terarah pada jendela.
'Ega, kuharap kau menepati janjimu.'
***
Dua bulan kemudian.
Dalam balutan gamis bermotif batik, Aurelia terlihat lebih cantik hari ini. Ah, tidak, Aurelia selalu terlihat cantik di mata Ega Pratama.
Pipi Aurelia merona meski tanpa polesan make up. Ega tertawa dalam hati saat berpikir pipi gadis itu memerah karena menahan malu. Menggemaskan. Sejenak, Ega melupakan rasa gugup dalam dadanya sebab terlalu sibuk mengagumi perempuan berparas ayu di hadapan.
"Tujuan saya kemari adalah untuk melamar putri Bapak; Aurelia. Saya akan membahagiakannya sebisa saya. Mohon agar Bapak berkenan memberi restu."
Setelah beberapa saat berbasa-basi, kalimat sakral yang Aurelia tunggu-tunggu akhirnya berhasil ia dengar, dari seorang pria gagah bernama Ega. Aurelia masih tetap menunduk tanpa berani mencuri pandang. Dalam dadanya, ada kebahagiaan yang meletup-letup.
Ega benar-benar menepati janjinya. Tanpa banyak bujuk rayu, tanpa banyak temu, setelah tugasnya selesai, pria itu langsung membuktikan keseriusannya. Tentu, Ega bukan tipe pria yang mudah mengumbar rayuan tanpa bukti. Ia langsung menunjukkan cintanya dalam tindakan nyata.
"Semua tergantung pada Aurelia. Saya serahkan keputusan di tangannya. Bagaimana, Lia? Kau menerimanya?" Lelaki paruh baya itu berucap lembut. Ada sorot kasih sayang di netranya yang dikelilingi keriput setiap memandang putri tercinta.
Dengan gugup, Aurelia menatap Ega. Tanpa tahu bahwa Ega jauh lebih gugup darinya.
Sungguh, Ega tak pernah gentar di hadapan musuh. Namun di hadapan Aurelia, Ega bisa semudah itu untuk luluh.
"Bismillah. Ya, saya menerimanya."
Detik itu pula, rumah sederhana milik Aurelia dipenuhi oleh kalimat hamdalah. Baik dari pihak keluarga Aurelia maupun Ega, keduanya sama-sama mensyukuri jawaban Aurelia.
Handoko menepuk sekilas pundak Ega. Senyumnya melebar begitu bangga.
Mata penuh binar kebahagiaan milik dua insan itu saling beradu pandang. Saat para kerabat mulai sibuk mendiskusikan rencana pernikahan, mereka berusaha berbicara lewat tatapan mata. Saling mengatakan cinta dalam heningnya suasana.
Aurelia memutus kontak mata itu setelah melempar sebaris senyum.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Haura And Her Soldier ✔
Teen FictionHaura Syaqilla, gadis tuna daksa yang hidup sebatang kara. Senyum tabahnya menjadi andalan setiap ujian datang melanda. Seberat apa pun kepelikan yang ia terima, tidak akan menggoyahkan pendirian gadis itu, bahkan ketika divonis leukemia sekali pun...