8. Oase

101 12 0
                                    

"Tiadalah tertusuk duri atau benda yang lebih kecil dari itu pada seorang Muslim, kecuali akan ditetapkan untuknya satu derajat dan dihapuskan untuknya satu kesalahan." (HR. Muslim)

***

"Kak Ega?"

Ega mengangkat wajah. Tatapannya beradu dengan netra gadis ayu di hadapan. "Hai, Ra." Senyumnya melebar saat melihat Aurelia di sisi Haura. "Halo, Lia."

Kala Aurelia menatap Ega, ia seperti menemukan oase di padang pasir yang tandus. Aurelia sesenang itu mendengar suara yang sangat ia rindukan. Ega tak tahu, sekalut apa Aurelia ketika pria itu pulang dari rumah sakit. Aurelia pikir, tak ada lagi kesempatan baginya untuk bertemu Ega dalam waktu lama, tetapi rupanya hari ini Allah masih memberinya kesempatan untuk bertatap muka dengan pria itu.

"Apa kabar, Ga?" Kecamuk di hati Aurelia dipendam dalam-dalam. Aurelia menyembunyikan kemelut perasaan di balik tiga kata yang diucapkan dengan lirih.

"Kabar saya baik, alhamdulillah." Ega bangkit dari duduknya. "Senang bertemu denganmu lagi."

Aurelia tersenyum sipu. "Baguslah, aku lupa meminta nomor teleponmu. Hampir saja kita lost contact lagi jika saja tidak kembali bertemu."

"Ah, iya. Mana ponselmu? Biar saya tuliskan nomor saya."

Dengan cepat, suster manis itu meraih ponsel dan memberikannya pada laki-laki di hadapan.

"Sepertinya kau sangat takut tak bisa menghubungi saya lagi, ya?" gurau Ega dengan senyum menggoda.

"Diamlah, tinggal tulis saja nomormu."

Ega terkekeh kecil, lantas menuruti permintaan Aurelia.

Haura mengerjap polos memandang dua sejoli yang seperti sedang saling jatuh cinta itu. Sial, lagi-lagi Haura menjadi obat nyamuk.

"Tak ada orang yang mau hilang kontak dengan teman dekatnya, 'kan?" lirih Aurelia malu-malu. Gadis itu menatap Ega yang tertegun mendengar ucapannya. "Kecuali kau tak lagi menganggapku teman dekat," lanjutnya pelan.

Ega tersenyum simpul. "Kau tetap saya anggap sebagai teman meski kita telah lama tidak bertemu, Lia."

Sebentar, Aurelia sangat ingin berteriak sekarang.

"Terima kasih, Ga," ujar Aurelia ketika Ega menyerahkan ponselnya kembali.

Tak tahan menjadi obat nyamuk, Haura membuka suara, "Kenapa Kakak kemari? Apa Kakak sakit?" tanyanya penasaran. Aurelia menatap Haura sesaat. Detik selanjutnya, ia mengalihkan pandang pada Ega dengan perasaan cemas.

"Tidak, Ra." Ega tersenyum gemas. "Saya sehat. Adik saya yang sakit."

"Adikmu? Maksudmu Viola?" tanya Aurelia.

Ega mengangguk cepat. "Kau masih mengingatnya?"

Tentu Aurelia masih ingat. Ketika SMP dulu, ia sering sekali berkunjung ke rumah Ega. Kala itu, Viola masih balita. Benar-benar sebuah keberuntungan jika Aurelia bisa bertemu dengan anak itu lagi.

"Apa aku bisa bertemu dengannya?"

"Tentu sangat bisa. Masuk saja."

Aurelia mengangguk antusias. "Ra, kuantar kau ke kamarmu dulu, ya? Nanti aku kemari lagi untuk menjenguk Viola."

"Tidak usah, Suster. Aku bisa menunggu Suster menjenguk Viola sebelum mengantarku ke kamar. Lagipula aku bosan di kamar terus," tolak Haura lembut. Gadis itu benar-benar keras kepala. Aurelia sudah paham betul sifat Haura. Ia selalu meminta ditemani ke luar kamar dan enggan berdiam diri di tempat yang membosankan itu seharian.

Haura And Her Soldier ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang