"Dia (Allah) berfirman, Kamu tinggal (di bumi) hanya sebentar saja, jika kamu benar-benar mengetahui."
(QS. Al-Mu'minun 23: Ayat 114)***
Haura sadar, sejak divonis leukemia, hidupnya sudah tak sama dengan sebelumnya. Akan selalu ada bayang-bayang kematian yang menghantui pikirannya setiap mencoba beraktivitas. Seolah-olah, malaikat maut siap melaksanakan tugasnya tatkala Haura mengerjakan aktivitas berat yang membuat pertahanan tubuhnya melemah. Haura sekarang bukan lagi Haura yang dulu ketika masih sehat. Ia tak bisa lagi merasakan nikmatnya mengedarkan koran di bawah lampu merah, tak apa meski harus berpanas-panasan dan mengakrabkan diri dengan polusi di sepanjang jalan. Ia juga tak bisa lagi membawakan sayuran dari warung Lik Nur dan menjualnya ke sekeliling kampung. Haura tak bisa seperti itu lagi sekarang. Bagaimana tidak? Untuk berdiri pun kadangkala merasa kesulitan. Kakinya terasa lemas bagaikan tidak bertulang.
Mata Haura memejam rapat kala otaknya memutarkan sebuah memori. Di kepalanya, terbayang peristiwa kemarin sore setelah ia selesai berbincang dengan Ega dan hendak kembali ke kamar. Entah kebetulan atau disengajakan oleh Tuhan, Haura menyaksikan beragam interaksi antara anak dan orang tuanya. Di sepanjang koridor rumah sakit, ia melihat seorang ibu yang menggendong bayinya, seorang ayah yang mengecup lembut pipi anak balitanya, sepasang orang tua yang mendorong kursi roda anaknya, serta remaja yang berbincang santai dengan kepala yang bersandar di bahu ibunya. Pemandangan itu ... membuat Haura ingin sekali meneteskan air mata.
Tidak, Haura tak memprotes mereka. Setiap orang punya hak untuk mengekspresikan rasa sayangnya pada keluarga di mana pun mereka berada. Haura tak menyalahkan mereka. Sebaliknya, ia menyalahkan diri sendiri yang terlalu mudah menaruh perasaan iri pada keharmonisan keluarga orang lain, pada kebahagiaan orang lain.
Detik demi detik yang terlewati, kini terasa begitu berharga bagi Haura. Seakan-akan, satu napas yang ia embuskan sama dengan menapak satu langkah menuju kematian. Ia merasa bahwa kehidupannya di dunia kini benar-benar singkat-dan memang begitu kenyataannya. Untuk hidupnya yang sepertinya tak akan lama lagi, Haura mempunyai satu harapan yang benar-benar ia inginkan.
Harapan itu ialah menemukan kedua orang tuanya, berpeluk dan bermanja dengan orang yang telah melahirkannya. Setidaknya satu kali dalam seumur hidup, sebelum waktunya habis tak bersisa.
Bunyi pintu terbuka menyapa gendang telinga gadis itu. Haura membuka mata, mengarahkan pandang pada dua wanita yang kini menghampirinya. Detik itu pula, Haura memasang raut ceria, menyembunyikan gundah yang bersarang di pikirannya.
"Assalamualaikum, Ra. Eh, kau kuat duduk?" Mbak Lea berucap khawatir kala Haura mengubah posisi.
"Wa'alaikumussalam. Tentu saja kuat, tenang saja."
Lea tersenyum. Perempuan yang kini duduk di bangku SMA kelas dua belas itu membantu menata bantal sebagai sandaran bagi Haura agar Haura dapat duduk dengan nyaman.
Lik Nur diam, tetapi dari ekspresinya, terlihat jelas bahwa ada yang ingin ia bicarakan. Ketika Lea duduk di kursi dan tak sengaja menatapnya, mereka berpandangan dengan mata yang mengisyaratkan sesuatu. Haura yang peka tentu menyadari itu.
"Ada apa, Lik? Ada yang mau Lilik bicarakan?" tanya Haura, penasaran.
Nur tersenyum simpul. Ia membenarkan letak selimut Haura. "Lilik sudah cari tahu siapa yang mengirimkan uang ke rekening Mbok Mar."
Mata Haura berbinar cerah, berharap pencariannya segera menemukan titik terang. "Siapa namanya, Lik?"
"Asti," jawab Nur, "Astika Mulyasari."
Tubuh Haura condong ke depan, merasa tertarik dengan jawaban yang Nur berikan. "Itu namanya? Nama ... ibuku?"
Nur mengangguk yakin. "Ya, nama ibumu."
"Nama itu terdengar asing, tapi cantik. Apa ibuku juga secantik namanya, ya?" Pandangan Haura menerawang, membayangkan sosok cantik ibu kandungnya.
"Ibumu pasti cantik, aku yakin itu." Lea menjawab cepat. "Karena kau juga cantik."
Haura tertawa sampai setetes air terlihat di sudut matanya. Haru dan rindu bercampur menjadi satu. Mendengar nama wanita yang telah melahirkannya membuat jantung gadis itu berdegup tidak beraturan. Rasanya sesenang ini. "Terima kasih banyak, Lik. Terima kasih banyak, Mbak. Aku tak tahu harus membayar kebaikan kalian dengan cara apa."
"Jangan pikirkan itu. Lilik ikhlas melakukannya."
Haura mengangguk, mengusap sudut mata dengan jemari. Ekspresi bahagianya masih terlihat jelas. Jika mendengar nama sang ibu saja sudah sebahagia ini, tak terbayangkan jika mereka dipertemukan lagi suatu saat nanti.
Mbak Lea mengelus tangan Haura dengan lembut, prihatin. Ia bertukar pandang dengan Nur, berbicara lewat tatapan mata. Kala Nur mengangguk meyakinkan, Lea kembali menatap Haura. "Ra?"
"Iya, Mbak?"
"Kau mau, ya, dikemoterapi?"
"Kalau ditanya mau atau tidak, tentu saja mau. Masalahnya, biayanya tak ada, Mbak," balas Haura lugu.
"Kalau biayanya ada, bagaimana?"
"Sepertinya tak mungkin. Uangku sudah hampir habis untuk membayar biaya perawatan sampai detik ini."
Nur menepuk bahu Haura, menguatkan. "Sejujurnya, ketika kami sedang mengurus administrasi tadi, petugas di sana mengatakan bahwa ada seseorang yang membiayai kemoterapimu."
"Apa?" Haura syok. "Siapa?"
"Identitasnya dirahasiakan, tetapi dia berpesan agar kau menerima bantuannya. Dia tak mau penyakitmu semakin parah, Ra."
Haura menggeleng tegas. "Identitasnya tak jelas. Bagaimana aku bisa menerima bantuannya?"
"Haura, tolong dengarkan Lilik. Lilik tahu kau tak suka merepotkan, tapi kau tak boleh hanya berdiam diri dan membiarkan penyakitmu begitu saja. Ada seseorang yang ingin membantu. Tugasmu hanya menerima bantuan itu dan melakukan kemoterapi demi kesembuhanmu. Jangan menolak apa yang tak seharusnya kau tolak. Kau ingin sembuh, bukan? Jadi, terimalah."
Haura bergeming. Otaknya berpikir keras. Sampai akhirnya, ia mengingat percakapan kemarin.
Ah, iya, ia tahu harus bertanya kepada siapa. Sertu Ega! Bukankah pemuda itu sempat menawarkan diri untuk membantu Haura kemarin?
"Aku tahu orangnya, Lik. Aku tahu. Sepertinya dia yang membiayai kemoterapiku," ujar Haura yakin.
Nur membelalak. "K-kau tahu?"
"Kak Ega!"
Nur dan Lea berpandangan. Mereka terkejut ketika Haura berusaha turun dari ranjang. Refleks Lea memegangi Haura dan membantu gadis itu duduk di kursi roda. Haura terlalu bersemangat, sampai lupa bahwa tubuhnya masih terlalu lemah untuk diajak berjalan seperti biasa.
"Aku harus menemuinya. Semoga saja dia belum berangkat tugas."
"Biar kubantu mendorong kursi rodamu."
"Ah, iya, terima kasih."
Ketidaksabaran Haura benar-benar membuat Lea merasa ngeri. Pertama, Haura sok-sokan turun dari ranjang dan hendak berjalan dengan tongkat seperti biasa. Kedua, setelah duduk di kursi roda, Haura mencoba mendorong roda dengan tangannya sendiri. Padahal gadis itu sangat lemas. Untuk mengepalkan tangan pun, Lea ragu Haura bisa melakukannya.
Kepala Haura menengok ke sana kemari mencari sosok Ega saat Lea mendorong kursi rodanya. Tampak gelisah. Haura harus menanyakan kebenarannya pada Ega secepat mungkin.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Haura And Her Soldier ✔
Teen FictionHaura Syaqilla, gadis tuna daksa yang hidup sebatang kara. Senyum tabahnya menjadi andalan setiap ujian datang melanda. Seberat apa pun kepelikan yang ia terima, tidak akan menggoyahkan pendirian gadis itu, bahkan ketika divonis leukemia sekali pun...