"I was blind. Aku bodoh, aku salah, aku sibuk mencari sesuatu yang ternyata aku udah punya dari dulu."
- Aku dan Mesin Waktu -***
Pria dengan setelan jas tanpa dasi sedang duduk tenang di Cafetaria rumah sakit, bertemankan secangkir kopi panas menunggu pesan balasan dari seseorang. Ia tahu kalau wanita itu tidak akan mau membaca pesannya, apalagi menerima telpon.
Hujan begitu lebat malam ini, sesekali mata pria itu terpejam sebab cahaya kilat yang terlihat dari kaca lebar Cafetaria. Ia menyesap kopi panasnya, memandang malam dari balik kaca dengan tatapan sendu.
Hujan. Hadirnya mampu menghidupkan kenangan, membuka kotak pandora yang telah lama terkubur dalam, memori saat-saat meninggalkan Hanna pun kembali terbuka.
Ketulusan seseorang akan selalu diuji sampai bertahun-tahun lamanya. Itulah yang pria itu rasakan.
Rian masih mengingat dengan baik tentang alasan meninggalkan Hanna. Lalu ktulusan itu diuji saat Hanna benar-benar membencinya seperti sekarang. 'Seharusnya bukan begini caranya, seharusnya aku ceritakan alasannya, atau seharusnya aku pertahankan saja Hanna', dan kalimat harapan lainnya.
Namun semua terlambat. Seperti katanya, meski ia ungkapkan kebenarannya sekarang, Hanna tetap tidak akan kembali kepadanya.
Rian tersenyum, senyum yang mengandung penuh penyesalan. Jatuh cinta pada pandangan pertama saat bertemu di reuni kampus seangkatan, ia masih ingat bagaimana netranya beradu saat Hanna tidak sengaja menumpahkan minuman ke jasnya.
Panik. Itulah kata yang tepat menggambarkan tentang Hanna di saat pertemuan pertama. Hanna begitu takut jika harus mengganti setelan jas yang ditaksir seharga puluhan juta.
Petir kembali menyambar, Rian sadar kalau ia belum memikirkan cara tepat agar Hanna membaca pesannya.
"Maaf, Tuan. Ponsel anda berbunyi sejak tadi." Ucap ajudannya yang dengan susah payah ia minta untuk duduk di kursi di depannya.
Rian menoleh dengan ekspresi setengah fokus. "Oya? Udah lama?" Dijawab anggukan oleh ajudan itu. Rian melihat ponselnya, enam panggilan tak terjawab. Ia menghela nafas, nama seseorang yang tertera di ponselnya-lah yang membuatnya memilih keputusan bodoh ini.
Ponsel kembali berdering, dan ia langsung mengangkatnya. "iya, Ma?"
"Kamu kemana? Kenapa semua meeting penting kamu cancel hari ini? Hm? Kenapa!?" Tanya Sang Mama dengan nada sedikit berteriak.
"Ada yang harus aku urus, Ma. Lagian klien nggak ada yang ngeluh, semua setuju, jadi nggak ada --
-- sampai Mama tau kalau alasan kamu karena mantan istri atau anak kamu itu lagi, kamu akan tau akibatnya!"
Ponsel dimatikan sang Mama. Rian tak heran dengan itu, kebiasaan setiap kali membahas Hanna.
"Gimana, Heru? Apa jenazahnya udah dibawa pulang?"
Heru sang ajudan mengangguk. "Sejak sepuluh menit lalu."
Rian melihat ponselnya, tak sabar karena Hanna belum juga membaca pesannya, ia putuskan untuk menelpon Hanna.
Namun sayang, telpon Hanna sibuk. Hanna sedang menelpon Nanda sejak lima belas menit lalu untuk memastikan Diswara baik-baik saja.
"Kamu yakin Adik kecil kita udah baik-baik aja, kan?" Hanna kembali bertanya sambil mengusap rambut Vany yang tidur di pahanya, kebiasaan Vany setiap sakit sebelum Hanna meninggalkan kamarnya.
"Iya udah aman kok. Meski agak susah, tapi ya kamu tahulah."
"Syukurlah kalau gitu."
"Oya, Nastiti sendiri gimana, Hann? Dia udah tenang? Aku jadi nggak enak. Keterlaluan nggak sih cara kita?." Tanya Nanda khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Two Hurts (GxG - COMPLETE)
Romance[Terima kasih sebelumnya karena tidak memplagiat cerita ini dalam bentuk apapun] Cerita ini lanjutan dari kisah Hanna dan Siska di judul The Two Hurts karya Awannis07. Warning : GxG Content, 18+ copyright @Juli 2020