Minggu ini Hanna terlihat sibuk sejak pukul lima pagi. Akhir pekannya harus ia isi dengan menghadiri undangan rapat dari rektor di kampus untuk membahas perkembangan pembangunan laboratorium. Semua orang jelas kesal ketika libur akhir pekan mereka diganggu pekerjaan.
Namun tidak dengan Hanna.
Semakin ia sibuk, maka ia bisa melupakan kesedihan yang terus dirasakannya. Bukan berarti Hanna ingin membunuh Siska dari pikiran dan hatinya, hanya saja ia perlu membuang sepi untuk tetap menjalani hidup. Ada Vany yang harus ia perhatikan, tidak hanya hatinya, mengingat dia adalah orang tua tunggal, maka segala hal harus bisa dilakukan mandiri.
Hanna butuh pengalihan, ketika semakin menyibukkan diri, maka semua hal tentang Siska bisa ia simpan lebih dulu, meski sebenarnya kesibukan tetap tidak mampu menghilangkan Siska seutuhnya.
Hanna keluar dari kamar, berjalan cepat menuju dapur. Matanya mencari Vany di ruang televisi, tapi jemarinya tak henti menekan papan layar pesan, seolah ia sudah hafal letak setiap hurufnya.
"Sayang. Kamu udah sarapan?" Hanna mengambil sepotong roti bakar dan mengunyahnya. Lalu membawa sepiring roti bakar lainnya sambil menggigit roti bakar miliknya, sebab tangan satunya masih terlalu sibuk membalas pesan-pesan penting. "Nih dimakan rotinya."
Vany melihat Bundanya yang sudah rapi, bibirnya langsung melengkung sedih.
"Maaf, Sayang." Hanna mengusap rambut putrinya. "Bunda harus ke kampus, nggak sampai setengah hari kok. Kalau udah siap, ntar Bunda langsung balik."
"Jam berapa?"
"Jam satu paling lama dari kampus?"
Vany menggeleng kesal, melipat kedua tangannya di dada. "Jam satu paling lama sampai rumah."
Dahi Hanna berkerut heran, tidak biasanya Vany bersikap manja seperti ini. "Oke. Jam satu Bunda usahakan paling lama sampai rumah."
"Terus ke toko buku."
"Iya, Sayang ke toko buku." Hanna menutup kotak bekal yang ada di atas meja.
"Yang di pusat kota. Yang paling gede, Vany mau borong serial Bumi Tere Liye." Bibirnya sengaja ia manyunkan.
Hanna tersenyum. Sikap Vany sungguh berbeda dari sebelum-sebelumnya. Jika biasanya ia selalu memberikan senyum terindah sebagai bentuk kerelaan melepaskan Bundanya bekerja, kali ini Vany berbeda. Ia menjadi lebih manja.
"Oke. Bunda usahakan tepat waktu ya." Hanna memasukkan kotak bekal ke dalam tasnya.
"Tumben Bunda bawa bekal ke kampus?" Vany memperhatikan kotak bekal bewarna biru masuk ke dalam tas Bundanya.
Hanna bergumam, lalu membalas pertanyaan Vany dengan senyuman. "Lagi pingin aja."
"Tapi itu banyak banget, Bun? Tiga kotak buat apa? Terus tas Bunda juga." Vany melihat tas ransel bewarna hijau Olive. Memutar tas ransel ke kanan dan kiri. "Bunda mau camping?"
Hanna menepuk gemas lengan Vany. Sumpah hari ini Vany menjadi lebih cerewet. "Nggak loh, Sayang. Kan jam satu Bunda udah pulang."
"Terus itu buat apa banyak banget?"
"Ya untuk dimakanlah."
"Sebanyak itu?"
"Iya. Kenapa sih nggak percayaan banget?"
"Bunda tuh orang yang nggak mau repot kan ya? Ini kok tumben -- Adu, duh, duh. Kok dicubit sih Bun pipinya?"
"Kamu mimpi apa sih tadi malam? Kok pagi-pagi udah bawel aja?" Hanna memasukkan kotak bekal terakhir ke dalam tas, lalu mengancing tasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Two Hurts (GxG - COMPLETE)
Romansa[Terima kasih sebelumnya karena tidak memplagiat cerita ini dalam bentuk apapun] Cerita ini lanjutan dari kisah Hanna dan Siska di judul The Two Hurts karya Awannis07. Warning : GxG Content, 18+ copyright @Juli 2020