Did I miss something?
Tanya mata itu pada netra Hanna penuh arti. Siska bisa melihat jawaban tidak dari air wajah Hanna, tapi entah mengapa Siska menangkap hal yang berbeda. Pelukan itu terasa berbeda, ada selipan rasa tak biasa di dalamnya.
Mungkin ini hanya firasat buruknya saja. Tidak. Mereka pasti tidak ada hubungan apa-apa. Iya kan? Bener kayak gitu, kan? Gue terlalu over thinking karena udah lama nggak ketemu Hanna.
Nanda yang menyadari perubahan Siska, akhirnya ikut memperhatikan apa yang membuat Siska terpaku.
Nastiti melepaskan pelukannya, melihat Hanna dari atas ke bawah. "Semua baik-baik aja, kan? Hm?" Ia mengusap kedua lengan Hanna, menatap netra Hanna menunggu jawaban.
"Nastiti, aku baik-baik aja," jawab Hanna santai sambil melepas senyum tipis. Matanya melirik Siska yang masih diam berdiri, ia berharap kalau wanita itu datang dan memeluknya.
Tidak tahukah kalau aku merindukanmu? Hm?
"Kenapa bisa sampai pingsan? Hm? Kan udah dibilang kalau kamu harus istirahat, kenapa malah-- aduh duh duh." Nastiti memegang perutnya yang baru dicubit Nanda. "Apaan sih?"
"Kok kamu yang jadi panik banget? Dia tuh yang seharusnya panik." Nanda menunjuk dengan dagunya.
Nastiti menoleh ke belakang. Hati kecilnya tersentak, sepertinya ia baru saja menghancurkan momen yang sudah lama mereka tunggu-tunggu.
Matanya kini menatap seseorang yang baru datang dari balik pintu. Gadis empat belas tahun kesayangan Hanna itu berhambur ke pelukan Hanna sambil terisak.
Belum selesai sedihnya karena kisah sang Bunda, ia sudah harus dihadapkan dengan kabar kalau sang Bunda pingsan.
Hanna terharu. Ia memeluk Vany erat, mengecup kepala putri kesayangannya penuh kasih. Kini rambut putrinya sudah jauh lebih rapi dan wangi, tidak seperti saat-saat masih tujuh tahun dulu, di mana mereka harus bertengkar setiap kali ritual merapikan rambut.
Time flies.
Putrinya kini sudah bisa melakukan segala hal sendiri, bahkan tingginya sudah hampir sama dengannya.
"Sayang. Udahan nangisnya. Bunda nggak apa. Cuma pusing-pusing jambu aja." Meski berniat ingin menenangkan Vany, tetap saja batinnya merasa sesak menahan tangis haru. Rasanya melihat putri sematawayangnya menangis di usia remaja ini membuatnya ikut terluka.
Vany menggeleng dalam pelukan Hanna, suara tangisnya masih memenuhi ruangan, menyentak dada Siska hingga membuatnya menyadari kalau semua ini karenanya.
Hanna sakit, dan Vany kini bersedih. Andai dia bisa menepis dan menganggap semua kesalahan Hanna itu seperti angin lalu, mungkin hal ini tak akan terjadi. Namun manusia tetaplah manusia, nalurinya sebagai anak yang kehilangan Ibu pasti akan merasa kecewa saat mengetahui dalang dibalik kemalangan yang dialami Ibunya.
"Bunda nggak bo-leh sakit. Bunda harus sehat te-rus, ba-ha-gia terus," ucap Vany patah-patah karena terisak.
Senyum Hanna terukir tipis, bibirnya bergetar menahan tangis, ia eratkan pelukannya sambil menatap Siska dari duduknya. Hai, kamu. Baik-baik aja, kan? Hm? Begitulah makna tatapan itu andai dapat bersuara.
Tangan Siska mengepal, matanya berkaca, ia menunduk sambil mengangguk tipis, bibir gemetarnya pun menyunggingkan senyum, meski Hanna tak bisa melihatnya. Sungguh jika kedua hati telah saling terpaut, maka tatapan adalah ungkapan cinta paling dalam. Ia seka sudut matanya agar air mata itu tidak jatuh.
Hanna ikut tersenyum, ia alihkan tatapannya pada rambut putrinya, mengecup rambut beraroma segar itu sambil terus mendekap hangat. Seolah menyiratkan kalau hal inilah yang ingin ia lakukan andai Siska yang berada di dekapannya sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Two Hurts (GxG - COMPLETE)
Storie d'amore[Terima kasih sebelumnya karena tidak memplagiat cerita ini dalam bentuk apapun] Cerita ini lanjutan dari kisah Hanna dan Siska di judul The Two Hurts karya Awannis07. Warning : GxG Content, 18+ copyright @Juli 2020