Langit pagi ini berwajah mendung, angin berhembus mengayun lembut ranting kamboja yang berbunga, suara isak terdengar samar, menyempurnakan suasana pemakaman hari ini.
Duka.
Tidak ada yang dirasakan oleh para pelayat selain berduka dengan apa yang terjadi pada Siska. Kini ia resmi sebatang kara. Setelah kepergian sang Ayah, Mamanya harus berjuang seorang diri membesarkan Siska dan adiknya. Namun Tuhan ternyata masih ingin mengujinya, ia ambil kembali apa yang ada pada Siska.
Jika dulu Siska masih beruntung karena bisa melihat wajah sang Mama meski dihiasi alat dan terbaring di rumah sakit, sekarang tidak ada lagi sosok bidadari bumi yang ia lihat saat matanya terbuka. Justru kini ia harus memejamkan mata agar mereka yang sudah pergi terlihat begitu nyata dan dekat dengannya.
Sisi manusiawi Siska sempat memberontak karena merasa Tuhan tak adil dengan jalan hidupnya, ditambah pelaku tabrak lari yang masih belum ia ketahui, apakah Tuhan begitu membencinya? Ia merasa Tuhan begitu senang mempermainkan hidupnya.
Tapi tunggu. Bukankah wajar jika Tuhan mengambil apa yang memang menjadi milik-Nya? Bukankah semua yang datang suatu saat juga akan pergi?
Seperti saat ini, di mana satu per satu pelayat pergi meninggalkan Siska setelah mengucapkan belasungkawa dan memberikan pelukan sebagai penghormatan terakhir. Tersisa hanya orang terdekatnya di sekitar makam, masih setia menunggu sampai Siska selesai.
"Siska," panggil Tiara lembut. Ia merentangkan tangan agar sahabat putrinya itu memeluknya.
Air mata Siska pun kembali luruh saat dirinya dipeluk. Ia tahu, kalau Tiara -Bunda Farah- tidak akan membiarkannya merasa kesepian. Ia sangat bersyukur karena kehadiran Tiara setidaknya mampu membuatnya merasakan sedikit kehangatan pelukan seorang Ibu.
Tiara mengusap lembut punggung Siska, matanya juga tak kalah merah sebab menangisi kabar duka ini. "Kamu nggak sendiri, Sayang. Bunda di sini buat kamu. Kamu tahu itu, kan? Hm?" Suara Tiara terdengar bergetar saat mengucapkan kalimat itu.
Siska mengangguk sambil terisak di pelukan Tiara. Ia eratkan pelukannya demi bisa membayangkan pelukan Ibunya yang sudah hampir sepuluh tahun tidak ia rasakan.
Suasana pemakaman pun kembali berkabung, Farah dan sahabat lainnya ikut terisak, masing-masing mereka membayangkan bagaimana jika mereka yang di posisi Siska, bagaimana jika Ibu mereka yang dikubur di dalam tanah itu. Sendirian, dan gelap.
Farah menoleh memandangi Nova yang merangkul pundaknya. Firasatnya mengatakan kalau kekasihnya pasti juga merindukan sang Mama yang telah pergi. Ia pun menggenggam erat tangan Nova, berharap hal itu bisa meringankan beban kesedihannya.
Tiara melepaskan pelukannya. Ia tatap wajah Siska yang sembab. Hatinya iba melihat Siska, karena ini adalah kali pertama ia melihat Siska menangis seperti ini. "Mulai sekarang, panggil Tante dengan Bunda. Kamu sekarang anak Bunda, saudara Farah Meswari. Kamu faham, Sayang?"
Siska kembali mengangguk, dan dibalas senyuman serta kecupan hangat di dahi Siska, lalu memeluknya sebelum pergi. "Bunda pulang dulu ya, Sayang. Nggak ada yang jaga Seruni. Tetap sertakan Mama kamu dalam doa, karena cuma itu yang bisa kita hadiahkan untuk mereka yang telah tiada."
"I-iya, Bun. Makasi. Bunda hati-hati di jalan. Salam cubit buat Seruni." Siska berusaha tersenyum saat melihat Seruni dari tempat parkir, di sana ia digendong Tiyasa.
"Sering-sering main ke rumah yaa. Bunda tunggu. Daa Siska," Tiara pamit dengan Siska lalu menghampiri putrinya yang terus mepet-mepet pada kekasihnya. "Bunda pulang ya, Sayang. Tenangin Siska juga." Lalu matanya teralih pada Nova dan memberikan senyum, ia tahu maksud tatapan Nova yang juga sedang merindukan Mamanya. "Bunda pulang ya, Sayang. Sayang putri Bunda." Tiara mengusap rambut Nova lalu pergi menghampiri Tiyasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Two Hurts (GxG - COMPLETE)
Romans[Terima kasih sebelumnya karena tidak memplagiat cerita ini dalam bentuk apapun] Cerita ini lanjutan dari kisah Hanna dan Siska di judul The Two Hurts karya Awannis07. Warning : GxG Content, 18+ copyright @Juli 2020