14. Semoga Baik-baik Saja

2.6K 297 168
                                    

Udara yang sejuk.

Rasanya Dwi tidak ingin beranjak dari kursi di pelataran rumah sederhana ini. Hidup bertahun-tahun di kota besar membuatnya tak pernah merasakan betapa indahnya tinggal di daerah yang jauh dari perkotaan, tidak ada polusi, tidak ada suara riuh kendaraan di pagi hari, tetangga kanan kiri yang bodo amat, dan hal-hal yang membuat sumpek lainnya.

Namun di tempat ini benar-benar berbeda. Suasana yang sangat jauh berbanding terbalik dari tempat ia tinggal dan bekerja selama ini. Hanya dua hal yang ia rasakan sejak hampir dua jam duduk di rumah ini.

Tenang dan nyaman.

Bibirnya tak henti mengulas senyum, entah itu karena katrok nya dia dengan suasana baru ini, atau karena orang-orang di pedesaan yang tak henti menegurnya dengan sopan saat melewati rumah ini.

"Cantik ya si eneng."

"Manis pisan kayak gulali."

"Bidadari turun dari mana ini, Teh."

Dan sapaan lain yang entah kenapa Dwi tidak risih diperlakukan seperti itu, beda ketika ia mendapati kalimat itu keluar dari lidah orang-orang yang tinggal di sekitar rumah atau tempat tinggalnya. Entahlah apa yang membuatnya berbeda.

"Pantas kamu betah duduk di sini, banyak yang muji ternyata," ucap wanita berlesung pipi, ia ikut duduk di kursi sebelah Dwi.

Dwi menoleh lalu menerima teh hangat miliknya. "Apaan deh, Nas. Gue emang suka suasana di sini. Kan udah satu jam lebih dengar curhatan lo di dalam, sekarang enakan di luarlah." Dwi menyesap teh hangatnya.

"Dih sewot. Ketauan banget nggak ikhlasnya." Nastiti pun ikut menyesap teh hangat miliknya.

Dwi tak menghiraukannya, ia begitu menikmati suasana tenang dengan secangkir teh di hadapannya. "Manisnya pas."

"Sesuai kan?"

Dwi mengangguk, dan menyesap tehnya lagi. Ia akan dengan suka hati datang ke rumah ini lagi jika Nastiti memanggilnya, meski hanya untuk mendengarkan curhatannya atau hal yang lebih ringan dari itu.

"Rumah ini mau dijual buat nutupin hutang keluarga."

Dwi langsung menoleh, dalam hati ia menyayangkan karena harus kehilangan tempat singgah senyaman ini. "Gue beli."

Nastiti tertawa, membuat Dwi mengerut heran. "Kenapa lo ketawa?"

"Fast respon ya? Serasa lagi belanja online di toko yang adminnya banyak," Nastiti masih tertawa.

Dwi semakin tidak mengerti. Peduli apa dengan admin atau belanja online itu, ia masih fokus dengan rumah tentram dan nyaman ala keluarga cemara ini.

Semuanya terbuat dari kayu, dan Dwi bisa menjamin kalau kayu dari rumah ini terbuat dari kualitas terbaik, mengingat rumah ini sudah seusia orang tua Nastiti, tapi renovasi baru dilakukan dua kali, itupun bukan karena perkara besar, hanya kerusakan kecil karena usia kayu dan sejenisnya.

Dwi sangat menyukai setiap sudut ruangan di dalam rumah Nastiti. Dimulai dari halaman rumah yang masih beralaskan tanah, satu pohon buah ceri yang masih segar daun serta buahnya di sisi kanan, lalu pohon buah belimbing di sisi kirinya, sama segarnya. Ia suka saat cahaya matahari menembus ke tanah dari balik dedaunan pohon, lama rasanya ia tidak melihat itu.

Setelahnya saat masuk, ia langsung disuguhkan pelataran rumah yang dipenuhi banyak bunga di pagar dalam rumah kayu itu. Saat masuk ke ruang tamu, tersedia kursi yang menghiasi ruang tamu dan ruang keluarga yang hanya terpisah oleh televisi, ruangan ini seperti memanjang dan terbagi dua oleh televisi di tengahnya. Tiga kamar tidur dan dua kamar mandi, serta dapur yang lengkap dengan kitchen set unik yang menurut Dwi ini sayang untuk dijual.

The Two Hurts (GxG - COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang