21. Kenyataan Pahit (1)

2.4K 256 157
                                    

Hanna terhuyung mundur, saat badannya akan terjatuh, Siska dengan sigap menahan tubuh itu agar tetap berdiri. Siska lihat geletar di bahu Hanna.

Hanna menunduk, tak mampu memandang wajah kekasihnya, kakinya begitu lemas menopang diri jika bukan karena Siska yang memegangnya. Kenapa harus ada kenyataan seperti ini? Di saat hatinya mulai menerima seutuhnya, saat cinta bersemai di taman hatinya, harus musnah dan berganti menjadi taman gelap yang gersang.

Marah. Sedih. Kecewa. Takut. Pengecut.

Rasanya Hanna ingin menghilang dan hancur saat ini juga, semua rasa itu seperti sedang menghantamnya tanpa ampun. Sangat menyesakkan dada.

"Hanna, kamu baik-baik aja, kan Sayang?" Siska menatap cemas Hanna yang terus menunduk dan perlahan terduduk di lantai.

"Pembunuh!" Kata itu menggaung di kepala Hanna, berteriak berulang kali. Memekakkan telinga.

"Kamu pembunuh!"

"Pengecut! Nggak bertanggung jawab!"

"Saya belum bisa memaafkannya, sampai kapanpun."

Hanna menutup telinganya. Kalimat itu terus menjerit bergantian, menguras kesadarannya, membangkitkan trauma kecelakaan di masa lalunya.

"Nggak. Aku bukan pembunuh," gumamnya tak jelas dengan linangan air mata di pipi.

"Hann. Kamu kenapa, Sayang kenapa?" Siska ikut terduduk di depan Hanna, ia semakin khawatir, pasalnya Hanna terus menutup telinganya, mulai terisak, dan Hanna tidak bisa mendengar apapun lagi selain suara-suara di kepalanya.

"Nggaaak, bukaan. Bukan akuu," rengeknya dengan suara tertahan karena rasa himpitan di dada. Hanna semakin gusar, menatap lantai tak tentu arah meraba lantai entah untuk apa.

"Hanna please kamu kenapa?" Suara Siska terdengar berat sebab menahan tangis. Mengapa ia melihat Hanna sehancur ini, ia belum bisa temukan jawabannya.

Hanna bangkit dengan kondisi yang masih kacau saat langkah sepatu hitam itu menjauhi mereka. Ia berniat mengejar Rian untuk melampiaskan amarahnya, tapi ia terus terjatuh, fisiknya begitu lemah karena semua kenyataan yang diterimanya.

"Hanna kamu --

Hanna menepis tangan Siska, ia kembali bangun dan berjalan keluar, mengikuti mobil Rian yang telah keluar dari pekarangan Siska dengan sempoyongan.

"Rian brengsek," desis Hanna sambil menutup telinganya karena suara-suara itu masih belum hilang.

"Tuan. Saya rasa cara Anda kali ini--

-- Sudah cukup ikut campur kamu, Heru. Kamu nggak akan ngerti gimana perasaan saya, ketika pengorbanan saya dianggap pengkhianatan dan dibenci oleh orang yang kita cintai."

"Tapi bukankah itu sudah jadi keputusan--

-- Saya bilang CUKUP!" Heru tersentak diam saat teriakan itu terlontar dari mulut Tuannya. Bagi Heru itu cukup menjelaskan kalau Rian sangat menyesali tindakannya saat ini. Persis seperti saat dia sengaja menjadi si brengsek demi melepaskan Hanna yang memiliki orientasi berbeda dari wanita biasa.

Hanna berjalan menuju gerbang rumah Siska, diikuti Siska yang mengejarnya, Hanna terus menjauhi dengan kesadaran yang hampir hilang.

Tak lama kemudian hujan turun deras, menyempurnakan bayangan Hanna tentang kecelakaan beberapa tahun silam hingga merenggut nyawa Mama kekasihnya sendiri. Ia membungkuk sambil meremas kepalanya.

"Itu Siska, kan? Ngapain sih tuh orang hujan-hujanan kayak gitu?" ujar Dwi kesal karena seharusnya Siska fokus dengan situasi berduka di rumahnya.

"Siska?" Farah melihat ke arah gerbang, sedetik kemudian ia menarik Nova untuk ikut dengannya mengejar mereka berdua.

The Two Hurts (GxG - COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang