Epilog

3.2K 266 202
                                    

Satu kamar kosong di apartemen Siska malam ini terlihat berbeda. Suasana ala bioskop rumahan yang ia sajikan sebagai penuntasan janjinya kepada Vany untuk menonton film bersama malam ini akhirnya terealisasi.

Suasana redup dengan lampu temaram berwarna kuning di sisi kanan dan kiri dinding, lalu sofa baru mewah berwarna keabuan yang sengaja ia beli untuk memaksimalkan nilai interior ruang bioskop dadakan ini. Dekorasi lukisan kupu-kupu pada dinding serta selimut beludru yang sangat halus. Tidak lupa televisi besar yang juga baru ia beli lengkap dengan sound terbaru dengan kualitas suara yang sangat baik. Perfect.

Siska dengan telaten meletakkan meja di tengah antara dua kursi bed yang terletak paling depan, lalu sentuhan akhir ialah meletakkan berbagai makanan ringan yang baru diantar oleh ojek online. Ia tersenyum puas melihat ke sekeliling, dalam hati ia berujar kalau kedua orang yang disayanginya pasti akan sangat puas dengan hasil karyanya.

Hanna dan Vany menunggu dengan tak sabar di ruang televisi. Mereka sama sekali tidak diizinkan untuk masuk ke dalam selama Siska menyiapkan ruangan ini. "

Ingat ya. Selama seminggu, nggak ada yang boleh masuk kamar ini. Ada surprise." Ujarnya dengan wajah cengiran khas Siska.

"Bun. Tante Siska ngapain sih di kamar lama banget? Padahal kan Bunda di sini. Emang bisa sendirian?"

Hanna langsung menoleh, menatap Vany penuh tanya dengan ekspresi yang mempertanyakan maksud ucapan Vany barusan.

Vany pun ikut mengerjap. Ekspresi sang Bunda membuatnya bingung. Apa aku ada salah ngomong ya?

"Kenapa, wajah Bunda kayak gitu?"

"Kamu, tadi ngomong apa?"

"Ha!? Emang aku salah ngomong ya, Bun?" tanya Vany polos.

"Ya itu," wajah Hanna mulai memerah.

"Kan katanya Tante Siska lagi mau buat sesuatu, apa bisa buat sendirian di kamar? Kan Bunda di sini."

Kalimat barusan tanpa sadar membuat wajah Hanna semakin panas, kepalanya terasa mendidih dan dadanya berdesir ketika mendengar kalimat yang punya maksud ganda.

Hanna menggeleng sambil memijit pelipisnya. Fix aku udah ketularan Siska.

"Bunda kenapa, Bun? Kepala Bunda pusing ya?" tanya Vany khawatir.

Hanna berusaha tersenyum dengan nafas yang terasa berat, dengan gejolak yang menggeliat di dalam dada. Ah ya. Dia baru ingat, setelah sebulan tinggal di sini, mereka belum pernah melakukan 'itu' sekalipun mengingat masih sungkan dengan Vany.

"Bunda nggak apa, Sayang. Mungkin pusingnya karena udah lama-- hm maksudnya udah lama nggak olahraga, terus juga Bunda banyak kerjaan."

"Bunda yakin? Bukan karena yang lain, kan?"

Bola mata Hanna membesar. "Yang lain?" beonya sedikit gugup.

"Iya. Entah karena Bunda sakit atau--

"Udah siap!!!" Suara Siska menyelamatkan Hanna dari rentetan pertanyaan yang membuatnya bingung harus menjawab apa.

Siska menghampiri dengan wajah riang, merangkul dua perempuan dari belakang sofa, memandangi wajah mereka bergantian. Tapi saat pandangannya akan berpaling dari Hanna, ia mendapati wajah Hanna yang entah mengapa terlihat membutuhkan 'hal lain'.

Siska mengulum senyum, ia tahu maksud pandangan dan nafas berat itu. Ia menoleh menatap Vany, mengobrol sedikit tentang ciri-ciri kejutan yang ia siapkan. Matanya mungkin sedang melihat Vany, tapi ibu jarinya sengaja mengusap pangkal leher sampai ke ujung bahu Hanna, dan itu berhasil membuat Hanna tersentrum. Perutnya terasa menggelitik, seperti ada banyak kupu-kupu di dalamnya.

Ia meneguk salivanya. Sial. Sentuhan Siska sama sekali tidak membantunya, ini justru mengaktifkan setiap sarat sensitif di tubuhnya.

"Yey! Ayo nonton sekarang. Bunda ayo masuk ke kamar. Tante Siska udah siapin bioskop di dalam--

Tek!

Lampu tiba-tiba mati.

Yes! Batin Hanna dan Siska bersamaan tanpa sadar.

Hanna meraba sofa mencari ponselnya, tapi jemari Siska justru mencari kesempatan meraba yang lain. Hanna pun refleks menggigit gemas tangan Siska, membuat Siska terkikik geli.

Lampu senter ponsel Hanna menyala, ia sorot wajah Vany yang tertekuk sedih. Ia usap rambut putrinya dengan lembut. "Besok aja kita nonton ya, Sayang. Kamu boleh ajak teman kamu juga kok kalau kamu. Ya, kan Sis?" Hanna menoleh ke Siska.

Siska mengangguk setuju. "Iya. Kamu boleh ajak teman kamu nonton di sini, tidur di sana sekalian juga boleh. Besok kan malam minggu." Dan aku bisa nonstop dua malem sama Hanna teros! Hahaha

"Beneran Bun? Tan? Aku ajak teman-teman besok ya?" Air wajah Vany mulai berubah.

Hanna dan Siska mengangguk.

"Oke. Kita tidur aja kalau gitu. Ayo?"

"Kita?" Beo Hanna dan Siska bersamaan.

"Iya kita. Bunda kan tahu aku takut tidur kalau mati lampu. Jadi," Vany menggandeng kedua lengan mereka. "Ayo bobo bareng." Senyumnya polos tanpa mengetahui penderitaan yang mereka alami.

Hanna dan Siska saling tatap.

"Sekarang atau lima puluh tahun lagi ku masih akan tetap menunggu 'itu'." ujar Siska dengan nada sedikit frustasi, membuat sang anak dan Bunda itu tertawa karena alasan yang berbeda, dan berjalan bersama masuk ke dalam kamar.

Nggak apalah, daripada kentang, mending tahan dulu. Hadeh.

***

Selesai

Jadi, mau kita kasih apa ya judul cerita terbarunya? 😅

The Two Hurts (GxG - COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang