5|| Korelasi Johnny dan Kopi

646 443 149
                                    

Dari yang aku tahu, Johnny suka minum kopi. Tapi tidak tahu jika sebegitu sukanya ia pada cairan pekat dengan aroma khas dan rasa yang pahit itu.

Setelah tragedi garpu mie ayam yang jatuh, semesta seperti sedang menguji mentalku dengan menghadirkan Johnny di tempat yang sama denganku. Tuhan seperti sengaja memberlakukan seleksi alam untuk aku yang bermental Yupi. Contohnya saat aku sedang bersantai dengan segelas cappucino dingin dan pudding stroberi panakota di tengah teriknya matahari pukul satu siang.

Aku langsung menyadari sosoknya yang berjalan ringan memasuki café, tentu saja siapa yang menolak presensi pemuda tinggi tampan seperti Johnny. Aku yang berada dekat dengan tempat pemesanan berusaha mengalihkan pandangan. Takut kepergok memandanginya. Kemudian berusaha tetap menunduk, scroll media sosial ini dan itu hanya untuk menjaga mata agar tetap sibuk padahal juga tidak ada notifikasi apapun. Buat kalian yang pernah salting karena ada mas crush di sekitar, pasti tahu rasanya pura-pura sibuk dengan medsos padahal tidak ada apapun di sana.

Johnny menyebutkan pesanannya yaitu Americano dengan es juga puding mangga.

Aku yang buru-buru mengemasi barangku justru menimbulkan suara yang menarik atensinya.

"Halo mbak, boleh duduk di sini? Anak UGM kan?" tanyanya ramah dengan senyum khas yang membuat matanya menyipit.

Sebelum tremor kembali melanda tanganku, aku harus segera undur diri.

"B...bboleh kak, saya udahan kok." Melihat Johnny dengan kaos hitam damagenya bikin mental yupiku meleleh. Ingin kabur rasanya.

"Itu minumnya masih banyak, pudingnya baru kemakan setengah. Hayoo mau kabur lagi ya?" kemudian Johnny tertawa karena ucapannya sendiri. Plis ya jantung, Johnny tuh cuma ketawa. Jangan heboh seperti habis lari keliling stadion.

"Kamu yang kemarin lusa makan mie ayam di kantin Fakultas Psikolog kan? Aku ingat lho mbak. Duduk lagi." Astagfirullah Buu, ini anakmu duduk semeja bareng sama idolanya. Nanti pulang harus syukuran nih kayaknya.

Johnny yang banyak berbicara, aku hanya bagian menjawab iya, angguk-angguk kepala, sisanya senyum-senyum saja. Bingung harus bagaimana menyikapi Johnny. Kalau sembarang Johnny sih gak masalah. Tapi ini Johnny Alister Mahavir yang aku idolakan semenjak masuk universitas. Rasanya tangan seperti kehilangan otot dan tulang, lemas letoy padahal hanya ingin pegang sendok puding yang kecil mungil namun terasa sulit kali ini.

"Kamu gerah ya, jidatnya keringetan. Mau aku bilang ke waitressnya suruh nurunin suhu AC?" lagi-lagi dia bertanya lembut sekali.

"Jangan kak, gak perlu. Cukup kok," jawabku buru-buru.

"Grogi ya duduk bareng aku?" Allah Hu Akbar pakai tanya segala. Iyalah grogi, iyalah gerah. Ya ngana pikir lah bangggg.

Tak kunjung mendapat respon, akhirnya Johnny kembali terkekeh.
"Gak usah grogi lah, kamu semester berapa?"

Buuu ibu, jemput Adis pulang bu. Panas dingin di ajakin ngobrol sama mas crush.

"Semester empat kak."

"Wah keren ya, ambil jurusan psikologi?" tanya dia dan jawabku sih haha hehe doang.

"Kamu gak ada yang pengen ditanyain?"

"Hah?"

"Kamu gak pengen tanya apa gitu ke aku?"

"Hahh?"

"Duuh gemes sendiri aku jadinya, di tanyai hah hoh hah hoh doang. Kamu ini anak psikolog ya bukan pedagang keong depan SD."

"Anu itu kak Johnny suka minum kopi ya?" catat, ini pertama kalinya aku berani bertanya pada seorang Johnny. Jangan tanya gimana reaksi tubuhku. Kakiku gemeteran.

"Suka, suka sekali. Saking sukanya sama kopi aku bisa minum 8 gelas kopi sehari. Kebanyakan orang bangun tidur minumnya air putih, aku langsung minum kopi."

"Buset," aduh bibirku lepas kendali. Kemudian aku menunduk, takut kalau Johnny tersinggung. Tapi yang aku dapati justru tawa renyahnya.

"Aku sampai berburu berbagai macam jenis biji kopi. Di rumah ada mesin kopi mini, sengaja aku beli. Nurutin hobi."

"70% tubuh kakak pasti terdiri dari kopi, jangan-jangan darahnya warna hitam," kataku yang spontan justru mengundang tawa bahana darinya.

"Lucu. Lucu banget. Aduh sorry ya, ketawaku kekencengan."

"Iya kak, ketawanya mirip Ayahku," eh keceplosan lagi. Astaga bikin malu.

Johnny tertawa lagi. Sial banget, dia tidak tahu kalau tawanya bikin candu atau memang sengaja mau buat aku terpesona. Aku terpesona. Memandang memandang wajahmu yang manis.

"Kapan-kapan bolehlah kamu kenalin aku ke Ayahmu." Astagfirullah Ibu, ini Johnny sengaja mau bikin aku pingsan di tempat.

"Hnnggg bb-boleh kak," kataku pelan. Padahal di hati sudah rame seperti ada letusan kembang api. Jedar jeder jedor, meriah sekali.

"Kamu dari tadi bikin aku ketawa, makasih loh ya. Besok-besok jangan sungkan lagi. Jangan kabur lagi. Kan aku gak gigit."

Iya kamu gak gigit, tapi kamu membahayakan jantungku kak.

"Eh asik ngobrol malah belum kenalan, nama kamu siapa?" dirinya mengulurkan tangan menunggu untuk aku balas.

Astagfirullah Ayah Ibu, nanti jangan nyuruh Adis kerja ini itu dulu ya. Sayang nih tangan habis salim sama Johnny Alister Mahavir.

Aku menjabat tangannya dengan ragu. "Paradista Gantari," aku menyebutkan namaku dengan suara mengecil.

"Nama kamu cantik. Aku Johnny Alister Mahavir, selanjutnya panggil Johnny aja ya," aku cuma yang iya iya saja biar cepet di lepas tangannya. Ini masih salim-saliman ya. Kaya lebaran aja.

"Dista, mulai hari ini kamu temanku." Katanya dengan senyum yang manisnya luber kemana-mana. Bye kewarasan saat Johnny memanggilku dengan sebutan Dista. Sampai nanti cuma Johnny Alister Mahavir yang aku perbolehkan memanggilku Dista. Selain dia, panggilnya Adis saja.

_____

_____

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kamu yang kemarin lusa makan mie ayam di kantin fakultas psikolog kan? Aku ingat lho mbak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kamu yang kemarin lusa makan mie ayam di kantin fakultas psikolog kan? Aku ingat lho mbak. Duduk lagi."

Bayangin aja dulu, duduk bareng Johnny Alister Mahavir sambil ngopi.

Secret Admirer || Johnny Suh (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang