"APA!" Seketika aku berdiri dari kursi yang kududuki, tak kupedulikan beberapa pasang mata yang menatapku kesal, mungkin mereka terganggu.
"Kaget gue!" ucap feni sambil mengelus dadanya.
"Lo jangan becanda fen"
"Gue serius gre. Coba lo pikir kalau image Shani Indira hanya sebagai tukang bully di kampus ini sudah pasti semua orang bakal benci sama dia, dosen juga ga akan tinggal diam. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, semua orang ga cuma cowok bahkan cewek berlomba-lomba buat dapetin perhatiannya, berusaha buat masuk ke circlenya. Bukan hanya kecantikan fisiknya tapi otaknya. Dia salah satu standar ukuran manusia sempurna gre. Siapa yang ga mau coba punya pasangan kayak dia. Selama ini satu-satunya orang yang bisa nyaingin dia soal otak hanya temen deketnya, si michelle michelle itu"
"Jangan-jangan lo suka sama dia?"
"Wajar kan gre? Tapi gue sadar diri kok. Shani mana mau sama orang kayak gue, nglirik aja mungkin ogah"
"Lo kenapa baru ngasih tau gue sekarang sih fen" Aku memijat pelipisku.
"Lha lo ga tanya dulu sih. Jadi jangan salahin gue"
"Uggghhh mati dah gue. Mati!"
"Iya bentar lagi lo mati" aku hanya mendelik kesal menatap feni. Dia yang ditatap hanya tertawa tanpa dosa.
-----------------
"Hai"
Aku reflek melonjak dari tempat dudukku kemudian mengelus elus dadaku, kaget dengan sapaan barusan. Sapaan dari seseorang yang selalu muncul di mimpi beberapa hari ini. Bukan mimpi indah, tapi mimpi buruk. Dia kini berdiri di samping meja yang kududuki. Aku bahkan tak sadar kapan dia datang, kenapa bisa muncul tiba-tiba disini.
"Reaksimu berlebihan gre. Emang aku wewe? Euh gak! Sama sekali gak! Aku bukan wewe. Aku jauh lebih baik, lebih sempurna daripada wewe. Kalau aku kayak wewe mana mungkin kamu bisa suka sama aku" aku hanya menatapnya tak berkedip. Nyerocos dengan percaya dirinya. Kemudian menyadari bahwa kali ini dia tidak memakai pakaian modisnya, hanya memakai jersey dan celana pendek seperti seragam anak basket. Dia bahkan kini tidak menatapku dengan tatapan arogannya lagi, entah sejak kapan tatapan itu menghilang berganti dengan tatapan lembut dan penuh perhatian. Sorot matanya kini berbeda tak seperti pertama kali bertemu. Meski mendadak banyak perubahan yang kusadari namun dengan cepat aku menepis pikiran aneh yang mulai muncul di kepalaku.
"Kenapa lo selalu lakuin itu? Muncul tiba-tiba entah darimana. Sengaja mau bikin gue jantungan terus mati?"
"Maaf, aku ga bermaksud ngagetin kamu" Dia kini duduk disampingku kemudian memegang tanganku. Mau ngapain lagi dia pake pegangan tangan segala? Pelan tapi pasti aku mencoba menarik tanganku dari genggamannya.
"Uhmm maaf lagi" menyadari sikapku dia reflek menarik tangannya.
"Ehmm aku kesini mau claim hadiahku. Aku menang challengenya. Kamu inget kan?" Aku hanya menggangguk pasrah tak mau menatapnya. Sepertinya memang aku harus mulai menerima keberadaan orang ini entah bagaimana nanti caranya.
"Kamu ikhlas ga?" Dia bertanya lagi.
"Ikhlas" singkat dan padat.
"Kalau ikhlas kenapa ga mau lihat aku"
"Ikhlas shaniiiii" ucapku dengan sedikit penekanan dan mengangkat kepala menatapnya.
"Liat aku main ya? Pleasee. Hari ini aku ada pertandingan basket. Satu-satunya hadiah yang aku minta dari kamu. Setelah itu aku ga minta apa-apa lagi. Mau ya?" Dia mengulurkan tangannya, mungkin maksudnya agar aku meraihnya dan mengikutinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meet The Bully
Teen Fiction"Segala sesuatu yang kita dengar adalah pendapat, bukan fakta. Segala sesuatu yang kita lihat adalah perspektif, bukan kebenaran". -Marcus Aurellius-