Empat

2.8K 363 29
                                    

"Shani" satu kata bermakna sejuta masalah.

Masih boleh kabur ga ya? Mumpung tuh perempuan masih berdiri di ujung sana. Tapi entah kenapa kedua kaki kayak udah nancep di tanah ga bisa gerak. Aku cuma bisa menatap dingin sosok wanita yang kini berjalan mendekat. Panas dingin? Oh jelas! Berulah sedikit saja dua laki-laki kekar yang masih berdiri didekatku pasti tidak akan tinggal diam. Dahlah pasrah aja mau diapain juga.

Wanita itu kini berhenti tepat di depanku. Wangi tubuhnya entah kenapa aku suka. Aku sedikit mendongak menatapnya karena dia sedikit lebih tinggi dariku. Tak bisa kulihat bagaimana sorot matanya saat ini karena masih tertutup kacamata hitamnya. Hingga ia sedikit menunduk kemudian melepas kacamatanya. Iris mata coklat itu kini bertemu dengan milikku selama beberapa detik. Memancarkan sorot begitu tajam menusukku.

"Hai gue shani" tiga kata tak terduga terucap dari bibirnya beserta senyum tipis terpaksa. Dia ngajak kenalan? Apa maksudnya! Kirain mau tampar balik.

"Lepasin dia" aku menatapnya datar. Tak kupedulikan perkataannya tadi, yang kupikirkan aku harus secepatnya pergi darisini. Seketika senyum tipis itu hilang dari wajahnya berganti dengan wajah dingin menakutkan.

"Well kayaknya khusus lo, kita harus pakai pendekatan lain"

"Lepasin dia!" Kali ini nadaku lebih tegas.

"Gue bakal lepasin dia asal?" Aku mengerutkan kening.

"Mau lo apa?" Tanyaku to the point.

"Gue bakal lepasin dia asal lo mau gue anter pulang"

"Ga butuh! Lepasin dia sekarang juga"

"Terserah. Kalau lo ga mau, gue ga akan lepasin dia" ucapnya dengan arogan.

"Oke. Terserah lo mau apain dia. Gue ga peduli!" tipikal manusia yang tak bisa diajak negosiasi, lebih baik aku segera pergi darisini. Akupun berbalik pergi, namun baru dua langkah berjalan suaranya kembali terdengar.

"Hidup mati dia tergantung lo gracia" langkahku terhenti. Darimana dia tau namaku?

"Sekali lo melangkah maju, dia gue bikin sekarat" aku masih tetap berdiri mematung. Tak juga berbalik.

"Lakukan!" Suara shani seperti memerintah. Aku tahu itu bukan ditujukan padaku, tapi pada dua laki-laki itu. Terdengar suara rintihan karena cowok culun itu kembali dihajar. Aku mengepalkan tanganku erat menahan emosi. Sepertinya aku tak punya pilihan lain.

"Stop!" Akupun membalikkan badanku untuk kemudian melihatnya tersenyum penuh kemenangan. Bangsat! Umpatku dalam hati.

"Lepasin dia. Kali ini gue turutin mau lo" aku menatapnya tak suka. Dua laki-laki tadi kemudian berhenti menghajar cowok culun itu.

"Bawa dia. Kasih dia uang buat obatin lukanya" perintah shani pada dua laki-laki itu. Segera dua orang itu membopong pergi si culun yang sudah lemas tak berdaya.

"Masalah clear?" Dia bertanya padaku.

"Hmm"

"Kita bisa pergi sekarang?" Dia mengangkat tangannya mengisyaratkanku untuk jalan duluan. Dengan sedikit menghentakkan kaki karena menahan emosi aku berjalan menuju mobilnya. Dengan kasar aku membuka pintu mobilnya masuk kedalam kemudian membantingnya. Mobil bagus mau rusak, mau lecet bodo amat! Toh kayaknya si pemilik juga tidak peduli, malah dengan santainya ikut masuk kedalam, memasang seatbelt, memakai kembali kacamata hitamnya kemudian perlahan melajukan mobilnya meninggalkan kampus.

"Ini bukan arah rumah gue, bisa puter balik?" ucapku setelah aku menyadari mobilnya melewati jalan yang berbeda dari yang biasanya kulewati.

"Gue tau. Gue ada urusan dikit sama lo jadi pulangnya nanti"

"Perjanjian awalnya ga kayak gitu" aku menatapnya tidak terima.

"Emang. Gue improvisasi dikit"

"Gue ga peduli. Gue mau balik sekarang juga!"

"Terserah. Ini mobil gue. Lo duduk di mobil gue jadi lo harus ikutin gue"

"Berhenti!" Aku menyuruhnya berhenti. Namun dia tak mempedulikannya.

"Berhenti gue bilang!"

"Kalau lo ga mau berhenti gue lompat sekarang juga!" Dengan emosi aku mulai memegang kenop pintu. Kulihat wajahnya mulai mengeras sepertinya dia marah. Dan tanpa aba-aba dia menambah kecepatan mobilnya seperti orang sedang balapan di sirkuit.

"Berhenti! Gue ga mau mati sekarang!" aku berteriak padanya yang sudah mengemudi seperti orang kesetanan.

"Tolong berhenti" kali ini nadaku lebih pelan. Emosi yang sedari tadi memenuhi pikiranku mulai berganti dengan perasaan takut. Mungkin karena mendengar aku seperti itu dia mulai memelankan laju mobilnya.

"Kalau lo mau selamat, turutin gue" Dia berkata dengan dingin tanpa menoleh sedikitpun.

"Oke" jawabku seadanya, lebih baik menenangkan jantungku yang mungkin sekarang udah pindah tempat daripada berdebat dengannya.

"Good girl" ucapnya kali ini dengan senyuman di wajahnya. Orang gila! Batinku.

Tak lama aku mulai mengerti, mobilnya perlahan berhenti tepat di depan sebuah restoran jepang mewah. Dia kemudian keluar duluan dari mobil kemudian berjalan ke sisiku. Namun sebelum dia sampai aku sudah membuka pintu mobil dan keluar. Langkahnya terhenti. Tanpa menatapnya karena kuyakini pasti wajahnya sedang kesal aku berjalan meninggalkannya masuk kedalam restoran.

Aku menuju meja yang tidak jauh dari pintu. Dia mengikutiku di belakang. Setelah sampai di meja, di buru-buru mengambil kursi menggesernya ke belakang mungkin mempersilahkanku duduk. Tapi aku lebih memilih kursi lain lalu duduk disitu. Masih kudengar dengusan kasar dari mulutnya. Hah! Jangan harap gue kemakan sama lo. Rasain gue kerjain!

"Bisa ga sih sedikit aja lo biarin gue lakuin sesuatu yang lebih gentleman?" Dia bertanya padaku sesaat setelah duduk di hadapanku.

"Lebih gentleman ke siapa? Ke gue?" Dia mengangguk.

"Buat apa? Lo ada niatan apa sama gue?" Aku bertanya dengan tatapan intimidasi.

"Ga ada. Suudzon" jawabnya mengelak.

"Cuma orang bodoh yang masih bersikap biasa aja setelah mendapat perlakuan kayak tadi dari lo. Jadi kalau lo ga ada niatan apa-apa sama gue, gue ga percaya!"

"Emang ga ada niatan apa-apa. Gue kesini cuma mau ngajak lo makan"

"Bullshit!"

"Gue serius. Orang lain kalau gue ajak makan seneng-seneng aja tuh"

"Itu mereka bukan gue!" Perdebatan akhirnya berhenti saat seorang pelayan datang menghampiri meja kami.

"Buat seperti biasa ya" ucapku pada si pelayan setelah mencatat pesanan kita berdua.

"Baik miss. Mohon ditunggu" jawab pelayan itu kemudian pergi meninggalkan meja.

"Apanya yang biasa?" Tanya shani.

"Kepo!" Dia memandangku dengan curiga.

"Nanti juga lo tau" ucapku kembali dengan senyum remeh.

Tbc.

Meet The BullyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang