Gracia POV
Aku memarkirkan mobil ungu kesayanganku di halaman. Mobil yang jarang sekali kupakai ke kampus karena memang aku lebih suka naik mobil online, enakan disetirin daripada nyetir sendiri tuh. Berasa jadi ratu tinggal bilang mau kemana, duduk manis mainan hape tau-tau sampai tujuan.
Saat akan keluar dari mobil tiba-tiba ponselku berdering. Aku merogoh isi tasku mencari benda itu. Mataku melebar mengetahui siapa penelpon itu.
ShaniBucinnyaGracia❤️ is calling. . .
Sejak kapan aku punya nomornya Shani? Aku bahkan tidak ingat kejadian apa yang membuat kontaknya tersimpan di hapeku. Masa iya aku segitu lupa ingatannya sampai ga tau kapan aku punya nomornya. Mana ngasih namanya bikin muntah. Najisin banget. Hape itu kubiarkan terus berdering sampai dia mati sendiri. Tak lama sebuah notif pesan muncul.
ShaniBucinnyaGracia❤️
Udah sampai? Langsung istirahat, ga usah kemana-mana lagi.
(Read)Pesan itu hanya kubiarkan terbaca begitu saja tanpa berniat membalasnya. Segera saja kunonaktifkan handphoneku dan kumasukkan ke dalam dashboard mobil. Biar saja, malam ini aku mau istirahat dengan tenang.
------------
Weekend akhirnya datang juga. Hari ini aku memenuhi janjiku pada Eve untuk mengajaknya jalan-jalan. Aku mengajaknya piknik ke sebuah danau yang jaraknya lumayan jauh dari pusat kota. Sekalian mencari suasana yang sedikit tenang untuk mengistirahatkan pikiran yang akhir-akhir ini dipaksa kerja keras. Sambil memperhatikan Eve yang sedang asyik naik perahu bersama babysitternya, hatiku menghangat mendengar tawa riangnya. Sebuah ide terbersit kala aku ingin mengabadikan momen ini. Segera aku menuju ke arah mobilku yang diparkir diujung taman berniat mengambil kamera. Baru akan membuka pintu mobil, suara seorang laki-laki mengagetkanku.
"Hei cantik, you're so hot! Ikut yuk kita bersenang-senang di ranjang" aku menoleh dengan cepat. Emosiku memuncak, baru kali ini ada seseorang yang berani melecehkanku.
Plak! Aku menamparnya.
"Gue memang hot! Tapi lo bajingan menjijikan!" Umpatku padanya. Dia mengelus pipinya yang baru saja kutampar. Kulihat matanya memerah, nafasnya naik turun. Dengan cepat dia mendekat dan mencengkram tanganku, tercium bau alkohol dari tubuhnya. Shit! Berurusan dengan orang mabuk. Aku mulai takut orang ini tak terkendali.
"Lo sombong! Dasar wanita murahan! Berapa harga lo semalam, bilang ke gue! Berapapun gue bayar lo!" Dia kini mulai mencengkram kedua tanganku, mendekatkan wajahnya ingin menciumku.
"Lepasin gue bajingan!" Aku mulai berontak sekuat tenaga. Sialnya tidak ada satu orang pun disini. Aku berteriak sekuat tenaga berharap ada yang mendengar dan menolongku. Baru akan berteriak kembali, suara teriakan orang lain muncul. Suara yang tidak kusangka-sangka akan berada disini sekarang. Setidaknya tidak saat weekend begini dan lokasinya jauh dari kota. Bagaimana bisa dia tiba-tiba muncul disini?
"Oh hell no! Hei you bastard, lepasin dia!" Itu suara Shani. Segera dia menarik kerah baju laki-laki itu dan mendorongnya hingga jatuh. Tanpa sadar aku berlari ke arah shani dan memeluknya erat. Dia membawaku menjauh dari laki-laki itu. Rasanya begitu lega saat dia datang dan aku tak henti-hentinya bersyukur dalam hati. Dia balas memelukku erat dan mencium puncak kepalaku.
"Kamu gapapa? Dia ngapain kamu? Mana yang sakit?" Dia kini sedikit menunduk menatap wajahku. Aku hanya menggeleng. Tampak dia mengatupkan mulutnya rapat, rahangnya mengeras seperti orang yang sedang menahan emosi agar tidak meledak.
"Beneran?" Tanyanya sekali lagi.
"Iya aku gap. . ."
"Oke. Tunggu disini jangan kemana-mana!" belum selesai dia sudah memotong perkataanku dan berjalan menghampiri laki-laki itu dengan tangan mengepal. Langsung saja dia menonjoknya dan menendang bagian vital laki-laki itu hingga suara kesakitan terdengar. Laki-laki itu mengerang sambil berlutut. Seakan tak ada kesempatan untuk memulihkan diri, Shani menonjok dan menendangnya berkali-kali sampai dia tak berdaya. Kulihat wajah laki-laki itu kini penuh dengan darah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meet The Bully
Novela Juvenil"Segala sesuatu yang kita dengar adalah pendapat, bukan fakta. Segala sesuatu yang kita lihat adalah perspektif, bukan kebenaran". -Marcus Aurellius-