Desa perguruan sebenarnya kecil jika dibandingkan dengan kota di kaki bukit, tapi medan desa yang terletak di puncak dan dikelilingi hutan liar membuat segala perjalanan menjadi lebih berat bagi orang asing. Khass semula tidak mempermasalahkannya, namun erangan dan gerutuan Debri setiap kali nyaris tersandung akar pohon yang mencuat membuatnya risih.
"Bisakah kau diam?"
"Bisakah kita lewat jalan yang lebih normal? Apakah tidak ada jalan setapak tanpa akar, ranting, atau apalah itu?" Debri mendesis. Ia menghampiri Khass yang bolak-balik berhenti sekedar untuk menunggunya melewati bongkahan bangunan yang tersebar di mana-mana. "Apakah desa ini dulunya bangunan raksasa? Kenapa banyak bangkai bangunan? Bagaimana bisa kalian hidup di tempat begini?"
"Desa ini dulunya adalah Konservatori Agung," kata Khass, sembari mengingat-ingat buku sejarah desa, "Dulunya menjadi pusat doa di seluruh provinsi sampai hancur karena Perang Ras. Cuma pondok-pondok tempat tinggal para Guru yang masih berdiri, jadi itu yang kami tempati sekarang."
Debri tak mendengarkannya, lagipula siapa yang tertarik dengan ucapan sedatar teks buku sejarah yang membosankan? Pemuda itu mengerang saat kakinya tergores ranting yang tak terlihat. Khass tanpa sadar menyeringai geli. Melihat reaksi pemandunya, Debri mulai bertanya-tanya sampai sejauh apa mereka harus berjalan. Untungnya pondok tamu terletak di sekitar gerbang satu-satunya desa.
Ketika Khass mengatakan bahwa akan mengunjunginya lagi dengan seteko air dan buah-buahan menjelang siang, Debri protes. "Kau tidak akan menemaniku? Kata Kamitua kau harus menemaniku."
Khass berdecak. Dia masih tidak ingin melewatkan kesempatan menikmati ayam hutan. "Aku sibuk," tukasnya, lantas termenung sejenak ketika Debri mencoba membiasakan diri dengan medan paling liar yang pernah dilaluinya. Ada begitu banyak pertanyaan yang muncul di benak Khass. Dengan suara pelan, ia berkata, "Omong-omong, kau benar-benar tidak ingat sesuatu? Bagaimana bisa kau sampai di sini? Gerbang Selatan sangat jauh."
"Memang. Aku juga tidak percaya." Respon Debri membuat Khass menatapnya dengan sangsi. Pemuda itu mengangkat bahu. "Mungkin aku mabuk. Saat aku sadar, kepalaku pusing."
"Bagaimana bisa kau mabuk?" Seingat Khass, dihipnotis iblis tidak akan membuat orang mabuk setelah sadar. Mereka hanya akan merasa linglung.
"Entahlah. Orang-orang pelabuhan kadang suka kasih anggur gratis. Biasanya sisa-sisa," kata Debri. "Kalau badan sudah capek, minum anggur bikin segar. Serius, deh. Kau pernah coba minum, 'gak?"
Khass melotot kepada Debri dengan penuh penghakiman. Oh! Tentu, jelas dia adalah anak yang nakal. Kamitua bahkan tidak pernah minum anggur. Nah, para Guru memang tabu untuk menyantap apapun yang bisa membuat akal menjadi tidak karuan, macam minuman anggur. Sehingga, meskipun anak itu nakal, mengapa orang-orang tua tidak melarangnya minum? Mereka malah menawarkannya!
"Anggur seharusnya dilarang. Kenapa kau justru dikasih gratis?"
"Oh, panjang sekali ceritanya!" kata Debri senang. Ia berhenti melangkah saat Khass menatapnya dengan mata membulat. "Apa? Kau mau dengar? Kukira kau sibuk."
Khass mengalihkan pandangan dengan sebal. "Ya ... sampaikan itu saat aku kembali dengan air dan buah!" Bocah itu berlalu dengan langkah lebar. Sebentar lagi mereka akan tiba di pondok tamu. Bangunan putih berlumut itu serupa bongkahan besar yang dibongkar untuk sepetak ruang sempit. Lubang setinggi manusia dewasa yang dirupakan pintu ditandai dengan beberapa potong kain penutup yang menggantung pada langit-langit. Lubang-lubang ventilasi dipenuhi dengan rambatan dedaunan lumen, yang ketika malam tiba, pucuk-pucuk bunganya akan merekah dan putik-putiknya berpendar lebih terang daripada lilin.
Debri menyibak kain pintu dan memandang ngeri dipan kayu berlapis kain sarung. "Um ... oke," komentarnya, "Jadi ini ... aku tidur di sini? Oke, tidak apa-apa. Aku pernah tidur di tempat yang lebih buruk ... maksudku ini pasti bakal lebih baik daripada sekedar tumpukan koran di gerobak, ya? Kau tidak akan bisa dibawa kemana-mana saat tidur."
Khass gatal ingin menanyakan kelanjutan cerita Debri, namun ia keburu memeluk tempayan kosong yang tersedia. Ia harus cepat-cepat pergi.
Khass melengos keluar sembari membopong tempayan yang besarnya lebih dari separuh tubuhnya. Ini menyebalkan. Khass terbiasa menodong cerita-cerita kehidupan para orang asing yang ditemaninya, tapi mereka semua tak pernah bertingkah sekurang ajar Debri. Yah, wajar, desa itu belum sekali pun dikunjungi penduduk Gerbang Selatan selama Khass ada. Ini akan menjadi pengalaman pertama Khass, tapi—oh! Ayolah, apakah penduduk Gerbang Selatan memang seperti itu?
Khass berhenti melangkah. Rasa kesalnya menguap ketika menyadari ada sesuatu yang terlupakan. Bocah itu tergesa-gesa kembali ke pondok dan menyingkap kain dengan cepat. Ia terpaku saat menatap Debri yang duduk tak bergerak di dipan. Selama sesaat, Khass mengira pemuda asing itu mengawasinya dengan tatapan janggal, seolah ia tahu Khass akan datang, dan ....
"Ada apa?" suara Debri menyentaknya.
Khass mengerjap. "Aku lupa bertanya satu lagi," katanya agak pelan. "Kau ... kau dihipnotis, bukan? Apa kau ingat rupa iblis yang menghipnotismu? Dan ...."
"Dan?" gertak Debri saat Khass tidak kunjung melanjutkan kata-katanya. Bocah itu hanya mengatupkan bibir. Dia memberi isyarat agar Debri menjawab pertanyaannya dahulu, sementara si pemuda asing hanya mengangkat alis. "Mungkin saja aku ingat. Entah. Aku kan mabuk. Kenapa?"
Khass menjatuhkan tempayan. Bocah itu spontan mengambil langkah mundur dan mengangkat tangannya. Debri mengernyit melihat tingkah Khass yang tergagap dan wajahnya yang memucat.
"Hei, bocah, ada apa?"
"K-kau." Suara Khass bergetar. Matanya melotot. "Kau keluarlah. Ke.. Ke Nona Nujum! Sekarang!"
Debri tak merespon, selain matanya yang ikut mengawasi Khass dengan tajam. Ujung bibirnya berkedut. Reaksi semacam itu membuat Khass makin ketakutan, yang terburu-buru menghampiri ambang pintu sembari menyibak kainnya lebar-lebar.
Mustahil Debri tidak mengingat iblisnya, apalagi setelah satu minggu berlalu. Lagipula manusia kota macam apa yang bisa bersikap tenang dengan keberadaan iblis? Kendati si pemuda kota bertingkah kurang ajar dan tengik, namun itu bukan justifikasi atas ketenangannya menghadapi Kamitua. Khass baru menyadari itu.
Pemuda itu tidak dihipnotis. Si iblis masih merasukinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTIMA: The Denial ✓
Fantasy[BOOK 1] Khass memang seorang Guru Muda, tetapi Par takkan menyerah untuk menyeretnya keluar dari perguruan menuju neraka dunia. = = = = = = = = = = = = = = = = = = Listed as Featured Story on WIA Indonesia Listed as a part of Reading List #3 o...