3.3 Akal Bulus

154 39 2
                                    

Debri sedang duduk di depan pondok seraya mengikir bekas olesan di kakinya saat Khass datang. Pemuda itu menyeringai melihat ekspresi Khass yang sedikit kacau.

"Kau 'gak apa-apa, bung? Wajahmu merah."

"Aku dihukum."

"Oh, ya? Omong-omong lihat nih, kakiku bersih sekali. Luar biasa. Kayak wanita." Debri mengulurkan kakinya dan menunjukkan bekas kemerahan di sekujur kulit. Tidak ada bulu-bulu maupun goresan-goresan ranting yang melukainya kemarin pagi, memperlihatkan kulit belang khas pemuda-pemuda jalanan yang tak pernah pulang sebelum petang menjelang.

"Dan rasanya nggak sakit," kata Debri takjub. "Pantas saja kalian nggak pernah kelihatan kotor. Obat olesan yang kemarin itu sepertinya bakal laku keras kalau dijual."

"Itu tidak dijual," jawab Khass. "Kalau orang-orang ingin diobati, mereka harus kemari."

"Ah, menunjukkan bahwa kekuatan Tuhan itu benar-benar disalurkan melalui tangan-tangan orang suci?" Debri terkekeh. Khass hanya memutar bola mata. Pemuda kota ini sepertinya tidak puas mengomentari desa barang sekali-dua kali saja.

"Apa kau akan pulang?" Khass akhirnya bertanya. Kini Debri sudah sembuh, maka kemungkinan besar itu akan terjadi.

Alih-alih menjawab, Debri menatap Khass cukup lama. Ada sesuatu yang menari di matanya. Khass merasa pemuda itu berusaha berbicara melalui tatapan, tetapi ia tidak cukup berpengalaman untuk menerjemahkannya. Maka Khass menambahkan, "Jika demikian, ceritakan aku sesuatu untuk terakhir kali."

"Oh, kau suka cerita, ya? Padahal yang kemarin itu sedih sekali."

Khass mengangguk kuat. "Karena aku tidak boleh keluar lagi, jadi cuma bisa mendengar cerita teman-teman sepulang dari pasar."

"Kasihan kau, bocah. Lalu kemana teman-temanmu? Mengapa kau tidak bermain bersama mereka?"

"Mereka turun ke kota," kata Khas agak murung. "Saat ini menjelang waktu makan siang. Setiap minggu, teman-teman turun untuk berparade di alun-alun kota. Itu untuk menghibur para penduduk yang masih tinggal, sekalian mengajak mereka untuk beribadah lebih giat ke Konservatori."

"Kau tidak ikut? Bukannya kau putra sang Kamitua?"

"Kamitua bilang aku tidak perlu turun. Tugasku adalah menjaga desa, karena itulah tugas utama calon penerus kamitua."

Debri mengerjap. "Aneh," komentarnya. "Tapi tahu apa aku soal desa ini? Ayo, sekarang kau temani aku. Tunjukkan aku tempat yang bagus untuk melihat kota dari atas bukit. Kamitua nggak akan melarang kalau cuma ke tempat seperti itu, kan? Aku juga penasaran apa yang dilakukan anak-anak perguruan macam kalian. Ayo."

Debri ternyata pintar sekali membuat alasan, atau memang itulah keinginan sejatinya, seperti anggapan Khass. Ketika ia mengajak Debri ke sebuah menara tinggi tempat lonceng Konservatori ditaruh, mereka bertemu dengan Guru penjaga yang cukup sengit saat menanyakan keperluan mereka. Debri—dengan wajah berbinar—mengatakan bahwa ia semula hanyalah anak kota yang sungguh tersesat, dan pengobatan yang ia terima kemarin telah membuka hatinya, sehingga ia mulai tertarik dengan tetek bengek agama. Keinginannya untuk mempelajari segala sesuatu tentang perguruan menyentuh hati sang Guru, kemudian mereka pun diizinkan untuk naik ke puncak menara. Khass tidak percaya Debri sudah mendapatkan wahyu dari Tuhan secepat itu. Saat ia menanyakan mimpi macam apa yang semalam didapatnya, Debri hanya mengangkat bahu.

"Tidak mimpi apa-apa, tuh."

Khass belum tahu kalau itu hanya akal bulus Debri saja.

Menara itu cukup tinggi, mungkin sama dengan tinggi bangunan enam lantai, kendati demikian tidak menyurutkan semangat Khass untuk menunjukkan pemandangan spektakuler yang selama ini selalu menjadi rebutan para anak seperguruan. Debri sempat mengomel, tetapi rasa kesalnya terbayar saat mendapati pemandangan bukit dan hutan terhampar luas di depan matanya. Dari kejauhan, terlihat bangunan-bangunan kota yang warna-nya sudah memudar. Titik-titik kecil serupa semut sesekali terlihat melintas alun-alun, tetapi tak ada yang benar-benar tampak hidup dari kota yang telah lama kehilangan para pilarnya. Mungkin hanya dua baris pemuda penyanyi yang tampak sedikit bersinar, kendati semut-semut yang mengerubungi mereka seolah tak bernyawa lagi. Debri bisa membayangkan janda-janda muda yang sanggup menari dan tertawa, melepaskan kesedihan mereka barang dua jam saja diiringi nyanyian para pemuda, tetapi itu telah terjadi tahunan lalu. Sekarang mereka sadar bahwa memanggang roti atau memotong seekor sapi lebih berharga daripada menari dan tertawa dalam waktu dua jam.

"Pantas saja hidupmu sedih," gumam Debri. Ia menghela napas keras-keras. "Oke, aku akan bercerita lagi. Di sini pemandangannya hebat sekali. Aku jadi rindu saat-saat dahulu."

"Ada apa dengan saat-saat dahulu?"

Debri mengangkat alis. "Saat-saat sebelum mendiang raja keempat belas diganti oleh pria paling tidak kompeten di dunia."

"Sebelum raja ada raja lagi?"

"Tentu saja, kau pikir manusia hidup abadi?" cara Debri berbicara membuat Khass berpikir keras. Ia terdengar seperti orang yang sudah hidup selama ratusan tahun. Khass menatap Debri lekat-lekat dan menyadari kedua mata si pemuda yang menerawang jauh. Ia nampak bagaikan seorang anak desa yang dahulu hidup tenteram bersama ladang dan sapi-sapinya, lalu sekelompok militan datang untuk memaksanya bekerja di kota. Namun, dugaan itu salah. Debri adalah anak kota seutuhnya.

"Begini, akan kuceritakan kau kisah-kisah yang nggak akan pernah disampaikan teman-temanmu," kata Debri. "Aku yakin pengalaman berkeliling di kota pasti dialami semua orang, tetapi tidak semua tahu apa yang menjadi penyebabnya. Hanya orang-orang dewasa yang mengira dirinya tahu, merasa congkak dan sok bertanggung jawab atas itu, kemudian merahasiakannya dari anak-anak sepertimu. Sayang, padahal kau calon kamitua. Aku memang nggak paham peraturan Konservatori, tapi kau harus tahu kenapa rumah-rumah dihancurkan dan orang-orang terpisah dari keluarganya."

"Kenapa?"

Debri memalingkan wajah dan menatap Khass dalam. Sorot matanya tajam dan, selama sesaat, Khass mengira mata pemuda itu berubah menjadi sangat kelam.

"Karena itulah aku kemari, Khass. Sudah saatnya kau tahu lebih banyak hal daripada sebatas buku-buku dan cerita-cerita yang dipenuhi emosi."

ANTIMA: The Denial  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang