6.3 Terseret Tentara

107 32 8
                                    

Khass tidak mampu berpikir selain membiarkan kekecewaannya meningkat pesat. Selagi Guru tabib menumbuk jahe untuk menghangatkan badan Khass, si pemuda memandang ujung-ujung jemari dengan kalut. Tidak ada kulit yang menempel pada tulang-tulang yang memanjang dan meruncing. Jari-jarinya telah kembali seperti biasa. Tak ada bekas luka, bekas robekan kulit, atau semacamnya.

Semua terjadi dengan cepat saat itu. Setelah Khass merasa keadaannya aman dan Kamitua telah pergi, tulang-tulang itu dengan sendirinya menyusut dan mengembalikan bentuk jari-jari ke rupa semula. Para Guru hanya bisa menatapnya dengan ketakutan, mulut mereka secara otomatis merapal doa. Meski mereka semua juga membawa arwah dan iblis di dalam tubuh, tak ada satu pun yang bisa memakai kekuatan bawaan seperti itu.

Ketika mata mereka bertatapan, para Guru berharap Khass tidak akan mengatakannya kepada siapa pun. Tidak pula kepada teman-teman seperguruannya. Mereka pun berjanji akan menutup mulut, bahkan jika perlu berpura-pura tidak mengetahuinya saat Kamitua meminta kesaksian nanti.

Sebab, iblis di dalam tubuh Khass tidak berasal dari desa. Masih belum ada yang tahu, bahkan Khass sendiri, sebesar apa kekuatan yang dibawa oleh Par. Dan, iblis itu tak bersuara sama sekali hingga kini, saat Khass berulang kali mencoba memanggilnya disela-sela pengobatan.

Sementara itu, si Guru tabib mengira Khass kedinginan karena terpeleset di tepi sungai. Sesuatu yang seringkali terjadi pada siapa pun yang tidak berhati-hati. Khass tidak membenarkannya. Ia juga tidak mau orang-orang tahu bahwa Kamitua baru saja menghukumnya lagi. Ia terlalu capek sekaligus malu.

Ketika Khass akhirnya mendapat waktu untuk beristirahat, ia memilih untuk pergi ke menara lonceng. Menginjak kaki di sana selalu membuat Khass takut dan trauma, tetapi kekecewaannya yang memuncak mendorong Khass untuk berbuat gila. Ia bersandar pada dinding pembatas menara. Angin sore menerpa dengan kencang di sini. Udara terasa semakin sejuk dan memusingkan. Pohon-pohon berdesis dan burung-burung berkicau dalam amarah. Langit nampak terlalu merah—oh, apakah langit bahkan bisa mengamuk kepadanya sekarang? Ikut protes dengan keberadaan Par di dalam tubuhnya?

"Kalau kau tidak menjawab, aku mending mati saja." Khass mengeluh. "Biar kau terkatung-katung di desa ini dan dihakimi seluruh iblis, arwah, dan para Guru."

Gejolak ringan menggelitik tempurung Khass. Par mendesah panjang. "Apa? Dasar bodoh.  Guru tidak akan bisa bunuh diri."

"Kenapa kau menolongku lagi? Kau akan dihakimi. Kau menyeretku dalam masalah."

"Duh, kukira kau akan bilang terima kasih padaku." Par mencemooh. "Kalau kita tidak melakukannya, otakmu bakal ditusuk-tusuk. Tanganmu bakal berdarah. Kenapa kau malah tidak berterima kasih?"

"Kau, bukan kita." Khass mencengkeram tepian dinding dengan kesal. "Kau membuat masalah dan kita yang terkena dampaknya! Kau 'gak tahu betapa sakitnya tubuhku saat doa-doa dibaca untuk melepaskanmu dariku! Jangan berbuat apa-apa lagi!"

Par mendengarkan Khass menceracau dengan sabar. "Yeh," katanya. "Ya, maaf. Maaf, aku hanya berusaha melindungimu di saat terhimpit begitu," ujarnya lagi. Khass akhirnya bungkam. "Lagipula ini adalah satu-satunya jalan. Kalau kau masih ingin pergi keluar dan menepati janjimu kepada saudaraku Caellan, kau harus melewatinya. Kau tahu itu. Tidak ada yang bisa dilalui dengan mudah bersama Kamitua."

"Kau tahu? Rasanya kita tidak akan bisa keluar."

"Bisa," sahut Par kalem. "Tidak ada yang mampu menghentikanmu sekarang. Kau punya aku. Kau pun sudah mendengarkanku tadi; aku melindungimu. Bukan berarti juga perlindunganku membuat hidupmu lebih mudah, tetapi kau tidak mati sampai sekarang. Sumpah. Apakah dia benar-benar ayahmu? Ayah mana yang berusaha membunuh anaknya?"

ANTIMA: The Denial  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang