21.1 Pahlawan, Pemberontak

61 29 8
                                    

6, Bulan Puncak. Tahun 1927.

Jika ditanya aroma yang paling dibenci, Caellan akan dengan cepat menjawabnya: laut. Dia memang tidak memiliki kebencian yang menggebu-gebu, dan berkunjung ke pantai tidak pula membuatnya gemetaran, tetapi aroma laut selalu mengingatkannya pada masa lalu. Kau mungkin teringat dengan fakta bahwa Caellan memiliki sebuah kelab bernama Sister Loydaire di Pelabuhan Applerock. Penempatannya di sana bukan tanpa alasan. Caellan ingin melawan hal yang dibencinya, terutama yang berhubungan dengan Par, dan di sanalah dia memulai.

Caellan bahkan bisa mengenang masa lalunya dengan sangat jelas! Oh, ini seperti mimpi ... ketika Caellan terbangun di sebuah ruangan yang sempit dan gelap, beraromakan air laut yang pekat dan lengket. Satu-satunya yang bisa dirasakan tubuh kecilnya adalah tenggorokan yang perih karena kehausan seharian, perut yang kesakitan saking laparnya, dan sofa lusuh yang penuh tambalan dan debu. Kengerian. Caellan masih enam tahun saat itu, dan barangkali imajinasinya masih liar! Ia berhalusinasi melihat sosok itu.

Sosok itu tinggi sekali. Kepalanya besar, dan tubuhnya amat kurus. Caellan kemudian menyadari bahwa sang iblis tidak punya daging di balik kulitnya yang melekat pada relung. Ia nyaris tak memiliki perut, dan tak selembar pun pakaian menempel pada tubuhnya. Sosok yang bahkan lebih tinggi daripada dinding itu hanya punya tulang-tulang membentuk tubuh. Kepala tengkoraknya mengintimidasi, dengan dua lubang mata yang menganga lapar, lebih kelam dan gelap daripada ruangan itu, dan si bocah akhirnya menjerit karena iblis di hadapannya menyeringai lebar sembari mengangkat tangannya.

Da!

Caellan kecil menjerit sekali lagi, menyakiti tenggorokannya, dan segera keluar dari ruangan gelap yang terkutuk. Da! Dimana Da? Kenapa Da tidak kunjung menjemputnya? Kedua kaki Caellan berlari kencang menyusuri lorong sempit di antara dua bangunan. Langit telah lama menggelap, dan tak ada cahaya lampu selain lampion-lampion di ujung lorong. Lorong ini terasa sangat jauh bagi kedua kakinya yang kecil! Caellan menangis ketika mendengar iblis itu mengejarnya dengan tawa yang menggaung di benaknya. Oh, suaranya begitu mengerikan! Caellan pun tersandung, tersungkur dengan menyakitkan saat wajahnya membentur permukaan tanah yang keras dan berbatu. Ketika Caellan berbalik, ia menyadari iblis itu sudah berada di atasnya. Mulutnya yang lebar menganga, menampakkan baris gigi tajam dan busuk yang mengerikan, menatap lapar ke darah yang merembes dari luka di lututnya ....

"Dan, 'Da!'" Par menyeringai lebar saat Rayford menatapnya dengan wajah pucat. "Begitu katanya. Dia ketakutan betul. Aku sampai tidak tega mau menyapanya duluan!"

"Kau sudah memberikan kesan pertama yang mengerikan," komentar Rayford jijik setelah Par selesai bercerita. Mereka sedang duduk bersebelahan di atap sebuah rumah penduduk, memandang sebuah kastil kecil megah yang tegak sombong, mencolok di antara rumah penduduk kelas menengah. Angin berembus sama kencangnya seperti di menara lonceng di desa. Rayford nyaris saja mengenang momen menghabiskan waktu bersama Debri di menara itu, lantas teringat bahwa iblis inilah yang menemaninya sejak awal.

"Kenapa kau menakut-nakutinya seperti itu?" tanya Rayford.

"Kau tidak tahu. Dia imut sekali."

Rayford terhenyak. "Apa kau gila? Kau tidak tahu betapa traumanya Caellan karenamu, dan seandainya kau tidak bersikap seperti itu dan memperlakukannya sebaik sikapmu kepadaku, Caellan pasti sudah mau menerimamu sejak dahulu."

Par memutar bola matanya. "Justru karena itu aku berada padamu, bocah. Tapi, ah, tahu apa kau? Kau baru lima belas tahun! Umurku ratusan kali lipat daripadamu! Kau memiliki potensi yang jauh lebih besar daripada kakakmu, karena itulah kau adalah bintangku, dan Caellan ... ah, dia punya nasib lain. Sementara kau luar biasa! Kau jauh bersinar daripada siapa pun, Nak. Tidakkah kau merasa tersanjung dipilih oleh seorang vehemos macamku? Kau adalah yang Terpilih! Seperti para pahlawan di buku-buku yang kau baca dahulu. Bagaimana rasanya?"

Rayford mengernyit. Ia ingin sekali mengatakan bahwa bukan pahlawan sejenis ini yang dibayangkannya. Pahlawan adalah orang baik yang membela keadilan dan menumpas kejahatan! Lagi pula semua Guru adalah pahlawan, dan 'pahlawan' macam apa yang dimaksudkan Par jika ia terus membuat Rayford melanggar hukum? Otaknya yang masih berusia lima belas tahun masih kesusahan menjawab pertanyaan ini. Pada akhirnya dia mendesah.

"Kau merepotkan dan mengerikan, sama sekali tidak berwibawa seperti pendamping para pahlawan. Lagi pula apakah para pahlawan ... membunuh?"

Par terkesiap—atau pura-pura, sesungguhnya. Rayford lama-lama bisa mengendus kejujuran dan tipu daya iblis ini. "Demi Tuhan! Berapa kali kubilang kalau kau tidak membunuh, anak muda! Dan kau lagi-lagi masih bias, tetapi kumaklumi, karena kau dulunya seorang Guru Muda. Maka kukatakan kepadamu, apa beda pahlawan dan pemberontak?"

"Pahlawan membela keadilan. Pahlawan orang baik. Pemberontak itu ... memberontak?"

"Dan kenapa pemberontak memberontak?"

"Karena ... merasa tidak sesuai dengan apa yang sudah ada?"

"Menurutmu apakah pahlawan tidak sama seperti itu? Menegakkan keadilan atas keburukan yang sudah ada dan menyingkirkan yang jahat; bukankah itu sama saja dengan pahlawan memberontak sistem yang buruk? Mereka jadi pahlawan karena itu! Rayford, pahlawan dan pemberontak itu sama saja!"

Rayford bengong. Ia tidak tahu dengan konsep semacam ini. Par memang terkadang mengawur, tetapi sekali lagi—dia telah hidup lebih dari ratusan tahun. Dia menyaksikan sejarah secara langsung dan terlibat pada beberapa peristiwa penting. Rayford tak punya tempat untuk mendebatnya. Lagi pula kali ini Par nampaknya ... benar.

"Kau tahu apa yang membedakan pahlawan dan pemberontak?"

"Apa?"

"Sudut pandang. Kau kira apa yang dilakukan jenderal penghancur situs perbudakanmu itu? Dia pahlawan bagimu, tapi pemberontak bagi raja sebelumnya. Semua ini tentang sudut pandang. Kau boleh saja menganggap dirimu pembunuh melalui mata seorang Guru, tetapi bagi para penyintas, kau adalah pahlawan. Kau memusnahkan kotoran-kotoran yang masih tersisa. Nah, apa aku kurang bijak sekarang?"

Dan, itu cukup untuk membuat Rayford merasakan debaran di hatinya. Ia tak mengatakan apa-apa lagi selain memandang ke arah kastil yang bercahaya di malam hari itu. Yah, dunia ini memang tidak bisa dianggap sekadar putih dan hitam, eh?

Rayford lupa, bahwa hal-hal yang baru saja diragukannya padahal sudah jelas hitam putihnya di kitab-kitab yang berdiam di Konservatori.

+ + +

Caellan tersentak.

Gerakannya begitu tiba-tiba sehingga matanya menjadi perih. Jantungnya berdentam-dentam nyaring dan punggungnya basah oleh keringat. Caellan melotot di kegelapan kompartemen, lantas cepat-cepat menyalakan lampu dan mendapati hidupnya kembali normal. Caellan terduduk lemas di bangku.

Dia memimpikan pertemuan pertamanya dengan Par ... oh, sialan. Dia tertidur di kompartemen yang sempit dan gelap, tentu saja mimpi itu terasa begitu nyata. Caellan memandang bayangannya di jendela kompartemen. Tak ada yang bisa dilihat dari kegelapan di luar sana, dan itu membuatnya lebih gelisah. Caellan menarik tirai menutup, melonggarkan baju, dan meraih segelas air. Tangannya gemetaran saat memegang gelas.

Masih jam empat pagi. Dua jam lagi kira-kira kereta akan mencapai stasiun. Suasana hening, tak terdengar apapun selain deru mesin kereta api yang melaju. Elena diizinkan tidur di kompartemen China Lau karena tidak mungkin bercampur bersama para staf pria dewasa, sementara Elliot menempati kompartemen sendiri tepat di samping milik Caellan. China memutuskan bahwa tim khusus ini akan diberikan tempat di keretanya dan tidak bergabung sementara waktu dengan para pemain lain. Mereka pasti butuh membentuk rencana sewaktu-waktu, dan pembentukan tim ini sesungguhnya masih dirahasiakan. Para pemain sirkus hanya diberitahu jika Caellan adalah 'agen Jenderal Curtis yang dipercaya untuk membantu menjaring para Host penyintas selama tur'. Tak ada kecurigaan sama sekali.

Dan, astaga. Dua jam itu masih lama. Caellan menyerah pada situasi dan mengeluarkan tiga butir anti-depresan. Menyedihkan. Dia ternyata masih harus mengonsumsi ini bahkan setelah bertahun-tahun, dan—ah ... ini semua karena dia memutuskan untuk bercerita kepada Elliot dan Elena! Kalau kedua bocah itu tidak mengalami perubahan emosi dan mulai bersimpati kepadanya, maka sia-sia saja Caellan melakukan ini semua. Namun, masih awal baginya untuk bisa menarik kesimpulan. Maka itu berarti Caellan masih punya waktu untuk menambah rencana.

Duh. Perjalanan yang menjengkelkan.

ANTIMA: The Denial  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang