7.2 Panggung Perbudakan

96 30 10
                                    

Di bawah langit sekelam suasana hati Khass, truk pembawa dua puluh budak baru itu menerjang sebuah hutan yang nyaris gundul. Pohon-pohon besar dicabuti untuk membuat jalur-jalur khusus truk. Rerumputan dan lumen telah lama tergilas. Lumpur bercipratan pada pohon-pohon yang tersisa setiap roda-roda raksasa itu melaju cepat, bagaikan orangtua yang menyaksikan anaknya dibunuh di depan mata. Sayang, itu sekadar lagu lama yang hanya diketahui para Guru.


Pohon pun hidup

menangisi cucu-cucunya

cucu-cucu yang kaupetik untuk kausematkan!


Oh! Terkutuklah wahai anak manusia

Pohon pun menangis,

berharap agar telingamu ikut tercabut ...


Meski Khass tidak bisa menyaksikan dunia luar, tapi jeritan para arwah penghuni pohon di hutan gundul itu menyesaki alam pikirnya. Sayang, pemuda ini sudah memasuki ambang terendah dari kesadarannya. Kupingnya masih berdenging, pandangannya bergetar, dan ia sama sekali tidak sadar jika truk pembawanya telah bergabung dengan truk-truk lain yang beriringan keluar dari hutan.

Truk akhirnya melambat dan berhenti. Alih-alih terdengar desah napas lega, para bocah yang telah melemas dalam rengkuhan itu kini bergumam-gumam takut. Ketika pintu truk menjeblak terbuka dan udara sarat debu menyeruak masuk ke dalam kontainer, anak-anak itu meracau dan menangis dalam ketegangan.

"Keluar!" para tentara Lakar menggebrak pintu truk dengan popor-popor senapan. Kedua Lakar yang selama semalaman menemani para korban itu melompat keluar dan mendapat sambutan yang cukup baik. Mereka diizinkan untuk melapor, beristirahat, dan mencumbu wanita-wanita cantik yang secara sembunyi-sembunyi dipisahkan dari para budak lain. Tugas mereka nyaris usai dan dua puluh anak baru itu kini diserahkan kepada para Lakar yang lebih besar, bengis, dan senantiasa awas di luar situs.

Khass kembali menjadi yang paling malang. Ketika Karl melompat keluar, tubuh Khass terantuk ke lantai kontainer. Posisinya berada dalam jangkauan tangan seorang Lakar yang besar, sehingga tubuhnya dengan mudah diseret keluar. Tubuh Khass kembali berdebam, kali ini lebih keras dan menyakitkan, dan itu membuat para anak di dalam kontainer ketakutan untuk mengalami hal yang sama. Mereka cepat-cepat turun.

"Lihatlah, dia bahkan sudah nyaris mati sebelum masuk ke situs." Seorang Lakar meraih Khass agar beranjak. Si pemuda berusaha menajamkan pandangan, tetapi matanya terlalu buram. Ia hanya bisa melihat siluet seorang pria yang tiga kali lebih besar daripada Amar sedang mengangkatnya dan membolak-balikkan tubuhnya seperti boneka. Khass mengerang saat wajahnya ditarik.

"Siapa yang melukai bocah ini? Sial, lihatlah lukanya." Khass meringis lemas saat rahang kirinya ditarik-tarik. Terdengar suara Lakar lain yang menimpali.

"Ha! Bocah yang penyakitan. Dia tidak masuk hitungan, Pak! Terkutuklah Karl, dia tidak akan bisa merebut wanitaku." Lakar yang menyahut itu pun bergegas pergi, meneriaki nama Karl dengan menggelegar dan penuh emosi yang dibuat-buat, menuduhnya tidak memenuhi syarat dan harus ikut armada truk yang akan berangkat sebentar lagi sebagai ganti kesalahannya.

Lakar yang membawa tubuh Khass hanya mendesis kesal. Tanpa banyak bicara, ia membopong tubuh Khass terpisah dari kerumunan, yang dilempar dengan mudah di bahu si Lakar yang amat lebar. Terkejut dengan posisi barunya, Khass sempat membelalakkan mata.

Khass rasanya ingin menangis saat itu juga. Terhampar di depan matanya, beralaskan tanah-tanah bebatuan yang kelabu dan penuh kotoran, ratusan manusia meluber dalam kelemahan. Mereka terhimpit oleh para Lakar yang selalu menodongkan senapan. Mereka dipaksa menghadap sebuah dinding raksasa, memupuk trauma akan panji-panji biru kelam berlukis bunga bakung gunung perak yang menggantung megah pada penanda puncak-puncak monumen. Bangunan itu berseberangan dengan sebuah gerbang yang menyisakan sedikit celah.

Itulah nerakanya.

Mereka menyaksikan para pendahulu mereka tengah menyeret bahan bangunan, menggali dan menumpuk, menimbun dan merealisasikan sebuah situs yang kelak akan digunakan sang dinasti penjajah untuk kepentingan pribadi yang diatasnamakan rakyat. Rasa lelah, jerit tangis, sayup-sayup suara pecut dan erangan mewarnai suasana hutan yang seharusnya tenang dan damai. Sembari menyaksikan bakal hidup selanjutnya, para korban baru di luar situs itu dipaksa untuk terus menggumamkan lagu kebangsaan mereka.

"Kami para pejuang negeri ... Pembangun bangsa ... Tidak menari-nari atas duka orang ... Tidak tertawa-tawa atas tangisan raja ... Kami akan terus membangun ... Sampai semua tertawa bahagia ... Oh! Kami para pejuang negeri ... Pembangun bangsa ...."

Khass yakin, seandainya ia memiliki kesadaran sepenuhnya, matanya akan menangis. Bahkan bagi Kamitua yang menurutnya dingin, pasti akan ikut meneteskan air mata. Pandangan itu terlalu menyakitkan bagi Khass. Ia menunduk, menolak untuk menyaksikan lagi, dan berdoa kepada Tuhan agar memaafkannya.

Untuk pertama kalinya dalam hidup Khass akhirnya keluar desa seutuhnya, dan untuk pertama kalinya dalam hidup, Khass menyaksikan neraka dunia yang sesungguhnya.

"Dasar penyakitan. Apa kau terkena virus? Mampus kau. Dibakar saja sekalian. Apa tentara-tentara idiot itu tidak mengecek kondisi orang-orang dulu? Asal diseret begitu, eh?" Lakar yang membopong Khass berkomentar selama perjalanan. Khass tidak bisa mendengarkan dengan penuh konsentrasi. Pikirannya hanya kuat untuk menduga-duga kemana kiranya ia akan dibawa. Perjalanan itu terasa cukup lama baginya. Udara yang semula penuh sesak aroma keringat, kini berganti menjadi debu kotoran yang menggelitik hidungnya. Acap kali Khass bersin, Lakar itu menggoyang tubuhnya dengan marah dan mengancam akan menyeretnya, kemudian menimbulkan gesekan yang lebih menyakitkan pada luka di rahang kirinya. Khass berkutat menahan bersin sejak saat itu.

Khass tersentak saat tubuhnya tiba-tiba dilempar. Alih-alih mendarat pada tanah berbatu, ia tergolek di permukaan semen yang cukup rata. Lakar itu memanggil seseorang. Tak lama kemudian, muncul seorang wanita lengkap dengan jas laboratorium yang sarat wewangian alkohol. Masker menutupi hampir seluruh wajahnya.

"Ada yang sakit lagi," kata si Lakar. "Tapi cuma mabuk darat. Kalau tidak berguna, kembalikan saja ke lapangan. 'Gimana? Dia kayaknya dari dalam hutan. Lihat bajunya."

Cara Lakar itu mengatakan kalimat terakhir membuat Khass mengerjap. Ia berusaha berkonsentrasi mendengarkan perbincangan kecil itu di antara hingar-bingar suara konstruksi pembangunan. Sementara itu wanita berjas lab tidak banyak bicara, hanya sesekali mengangguk dan mencatat apa pun yang dikatakan si tentara.

"Tidak apa-apa. Kita akan menanganinya." Nadanya amat sopan, berkebalikan dengan si tentara yang nampaknya terlalu lama berada di lapangan dan menyeret para budak. Lalu, setelah laporan itu selesai, Khass melihat ada sosok besar yang datang menghampiri. Jauh, jauh lebih besar daripada sang Lakar.

Mata bocah itu melebar. Sosok tersebut tingginya dua kali si Lakar dengan kepala yang hampir menyentuh langit-langit, dan seolah itu belum cukup, kulitnya yang terekspos menunjukkan gurat-gurat serupa batang kayu pada tubuhnya yang besar. Khass belum sempat bereaksi, tetapi pria berpakaian serba hitam layaknya pengawal itu mengangkat Khass dengan sekali ayun ke pundaknya. Khass hampir muntah lagi.

"Bawa dia ke sel sebelas dulu."

Pria raksasa itu mendengus. Bau-bauan daun dan tanah basah menguar dari tubuhnya, seolah gurat dan retakan di kulitnya itu menyembunyikan batang pohon tua lembap dan berlapis-lapis yang telah ditiupkan roh ....

Ah, bukankah penjaga ini memang separuh iblis?

Lautan manusia, tentara Lakar, situs perbudakan, ilmuwan ... dan iblis? Perpaduan macam apa ini? Khass memejamkan mata, meresapi kesalahan-kesalahannya selama setahun terakhir seperti putaran kenangan sebelum ajal menjemput.

ANTIMA: The Denial  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang