5.1 Absennya Amar

159 33 10
                                    

"Selamat tinggal, Amar. Kami akan menantikan surat pertamamu."

Amar tersenyum. Ia menjabat tangan para nona paruh baya yang berjajar di gerbang desa untuk mengantar kepergiannya. Amar mencium tangan nona paling tua dan menerima tepukan penuh kasih sayang di pundaknya. Ia harus membungkuk dalam-dalam karena nona itu hanya setinggi pinggangnya. Benar. Tubuh Amar telah meninggi begitu pesat dalam empat tahun terakhir. Nona tua itu kemudian memeluk Amar dan mulai terisak pelan.

"Oh, anakku! Rasanya baru kemarin engkau datang ke desa ini dengan legam mengotori tubuhmu, sekarang lihat betapa sucinya dirimu."

Amar balas menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut. Sesungguhnya ia ingin menghibur wanita yang kehangatannya menyerupai ibunya ini, tetapi Amar mulai terlambat. Waktu keberangkatannya telah disita oleh seluruh kawan perguruan yang tidak rela Amar harus mengikuti Guru Abraham keluar dari Gerbang Utara.

Ya, Amar telah resmi menanggalkan embel-embel 'muda' dan sepenuhnya menjadi Guru. Ia siap untuk mengunjungi banyak Konservatori di berbagai belahan negeri selama lima tahun. Ia tak akan kembali ke desa hingga saat itu, atau ketika keadaan genting terjadi, dan sesungguhnya yang menjadi kekhawatiran Amar satu-satunya saat ini adalah sahabatnya yang sudah seperti adik sendiri.

Tentu itu adalah Khass. Siapa lagi? Kecemasan Amar memuncak saat rasa takut yang menyelimutinya selama empat tahun terakhir ini bertambah kuat. Ketika Amar melepaskan pelukan sang nona tua, matanya terpaku pada sosok pemuda yang duduk di batu besar seorang diri. Ia telah lama memisahkan diri dari kerumunan, memilih untuk menyaksikan perpisahan itu dalam ketenangan.

Pundak Amar ditepuk Abraham. "Kapalnya sudah tiba."

"Sebentar, Kakak. Biarkan aku berbicara dengan Khass dahulu."

Amar bisa merasakan jemari Abraham meremas pundaknya. "Baiklah." Ada nada keraguan di suaranya. "Gunakan waktumu dengan baik. Kalian takkan bertemu dalam lima tahun."

Amar mengangguk. Ia pun melewati kerumunan yang kini saling bersalaman dengan Abraham. Khass sendiri tahu Amar menghampirinya. Senyum terkembang di wajah pemuda itu, tetapi Amar tak merasa baik tentangnya.

Kemana tatapan polos dan penuh semangat Khass? Empat tahun yang lalu, pada suatu peristiwa tabu yang tak boleh dibicarakan lagi, Khass pernah menghampiri Amar dengan ekspresi tak terbaca. Wajahnya bersimbah air mata yang tak berhenti mengalir. Semangat yang biasa menari-nari di matanya berubah menjadi kengerian yang tak terucap. Seiring dengan warna mata Khass yang semakin memucat, Amar sadar bahwa ada kegelapan muram yang menguat di dalamnya.

"Hei, Amar. Sudah mau pergi?"

"Uh, yah." Amar menyambut jabat tangan Khass. Pemuda itu melompat dari batu dan segera merangkulnya. Tepukannya tegas, dan Amar cukup terkejut menyadari bahwa tinggi Khass hanya satu kepala lebih rendah daripadanya. Kedua pemuda ini adalah remaja tertinggi di desa sekarang.

"Berhati-hatilah. Jangan lupa kirimkan surat tambahan untukku, ya?" Khass tersenyum lebar. Nadanya begitu tenang, membuat Amar sedikit resah. "Kalau kau sempat, coba selipkan juga beberapa barang khas wilayah yang kau singgahi."

Kekehan geli Khass membuat Amar akhirnya tersenyum. Ia meraih kepala pemuda itu dan mengacak rambutnya dengan gemas. Ah, meski ia telah tumbuh besar, Khass tetaplah adiknya! Khass mendesis dan segera menyingkirkan tangan Amar.

"Jangan menyusahkan Kamitua lagi, bocah."

Khass memutar bola mata. "Tak usah khawatir. Aku juga ingin cepat-cepat keluar dari sini dan menyusulmu."

Senyum Amar menciut. Ia tak ingin mengatakan apa-apa lagi selain menyimpan tangannya di balik punggung. "Oke, surat dan barang-barang antik yang sekiranya bisa kuselipkan tanpa ketahuan Kamitua," kata Amar. Khass menjentikkan jari sebagai persetujuan.

ANTIMA: The Denial  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang