10.2 Si Sulung

81 30 7
                                    

"Janthell! Dia hidup." Elena meringsut mendekati Khass. Ia mencengkeram tangan pemuda itu, menggoyangnya pelan, diikuti oleh suara Janthell yang menyuruh Elena agar bersikap lembut. Khass nampak nyaris mati.

Khass mengerang dan mendesis, merasakan sekujur tubuhnya seolah ditusuk-tusuk jarum. Hal pertama yang disadari adalah punggung. Khass refleks terduduk, berusaha meraba-raba punggungnya dengan mata terpejam karena masih ketakutan.

"Apa yang kaulakukan?" Elena berbisik tidak paham. "Punggungmu baik-baik saja." Kata-kata itu cukup untuk mendorong Khass membuka mata. Ia memandang takut-takut, kemudian merasakan luapan kelegaan saat mendapati badannya masih utuh. Khass refleks tersenyum lebar, membuat Elena menghela napas lega. Anak-anak seisi sel pun bersorak, menyuarakan kegembiraan mereka karena mengira Khass sudah mati.

Beberapa saat kemudian, anak-anak itu saling bersandar pada jeruji masing-masing, mendiskusikan kondisi Khass barusan.

"Luar biasa," celetuk Maurice. "Aku masih ingat ... siapa ... oh, Rob, ya, namanya? Dia sudah tewas dua tahun yang lalu sih. Kondisinya juga sepertimu, Khass. Dia menggila, kemudian pingsan. Dia dibawa kemari lagi, dan tidak bangun selama beberapa hari. Ternyata dia meninggal dalam tidurnya."

Khass mengangkat alis. "Apa aku pingsan selama berhari-hari?"

"Tidak. Bahkan mungkin tidak sampai satu jam," jawab Elena. Ia sedang mengunyah sisa roti dingin. Gadis itu mengaku kelaparan setelah pengobatan yang memaksanya berkeringat berlebihan. Piyama putihnya mulai kusam akibat noda keringat.

"Khass tentu kuat. Tuhan memilihnya menjadi seorang Guru Muda, dia pasti lebih kuat daripada kita," seseorang menyahut lagi dan seisi sel mengungkapkan persetujuannya. Khass merasakan sensasi menenangkan dari pembicaraan itu. Syukurlah! Pengobatan hari ini telah usai. Masih ada satu minggu lagi sebelum neraka selanjutnya berlangsung.

Khass termenung. Ia kembali teringat dengan mimpinya tadi. Itu hanya mimpi, bukan? Rasanya sungguh nyata. Mustahil dia adalah Rayford. Ia bahkan berhalusinasi melihat para ilmuwan tewas karena koyakan tentakel dari punggungnya, juga sosok Par yang secara utuh sedang menyantap darah di ruang pengobatannya. Sungguh, pemandangan itu begitu liar dan hewani, bahkan Khass merasa pelupuk matanya berair hanya sekadar mengingatnya saja. Tidak mungkin dia akan mengizinkan Par melakukan hal semacam itu ... dan, duh! Mengingatnya saja membuat bulu kuduk Khass merinding. Ujung-ujung jemari dan kakinya menggelenyar.

Khass menggelengkan kepala, berusaha mengusir bayangan itu dari benaknya. Ia pun mengedarkan pandangan ke sekeliling sel untuk mengembalikan kesadarannya ke ruangan itu seutuhnya. Khass menyadari Janthell telah lama menatapnya. Alih-alih tersenyum, pemuda itu menatap tajam. Khass dibuat bingung olehnya.

Ada apa? Mengapa—

Pintu ruang sel berderit. Wajah-wajah penghuninya sontak menatap ke arah pintu baja itu dengan raut suram sekaligus bertanya-tanya. Jam berapa ini? Apakah akan ada anak baru? Atau, jangan-jangan Profesor Desmond datang dengan pengumuman formula barunya? Duh!

Benar saja, Desmond masuk dengan langkah lebar. Namun ia tidak didampingi siapapun kecuali kedua iblis penjaga yang senantiasa berdiri di sisi-sisi pintu. Semua mata tertuju pada wajah yang mengerut oleh amarah itu, dan masing-masing mulai merasakan ketakutan. Mengapa Profesor Desmond marah? Mengapa ia tidak didampingi siapa-siapa? Ada apa?

"Keparat!" Desmond langsung menghampiri sel di sisi kanannya. Kedua penghuninya menjauh dari jeruji sel. Elena meringkuk di balik punggung Khass yang berkeringat. "Khass! Bajingan kau. Sialan. Keluarlah!"

Desmond menyentak jeruji sel itu. Alisnya menyatu, ujung bibirnya melengkung penuh kebencian. "Apa yang kaulakukan pada murid-muridku? Buka selnya!" Desmond membentak seorang iblis penjaga. Makhluk itu meringsut tanpa emosi dan membukakan pintu sel dengan sigap. Desmond memojokkan kedua anak yang pucat pasi di bawahnya. Ia mengangkat tangan, bersiap untuk menampar pemuda itu.

Khass mencicit. "Jangan, Pak! Maafkan saya!"

Desmond tidak mendengarkan. Tangannya terangkat semakin tinggi, dan alih-alih menampar Khass, kulit lengannya berkedut-kedut. Mereka dibuat terpana dengan kulit Desmond yang tahu-tahu meluruh dan mengelupas. Elena menjerit. Pembuluh-pembuluh darah Desmond membengkak, menyelubungi sekujur jemarinya dan membentuk bilah-bilah tajam yang menggeliat dan berdenyut seperti jantung.

Separuh-iblis! Khass berteriak di dalam hatinya saat Desmond mengayunkan tangan iblisnya kepada Khass. Jantungnya berdegup kencang, pandangan matanya seolah berputar, dan rasanya Khass bahkan tidak bisa duduk dengan tegak dan ... tunggu. Ini bukan karena ketakutan.

Baik Desmond maupun Khass sama-sama menghentikan reaksi mereka. Semula terjadi keheningan, kemudian ruangan itu tiba-tiba bergetar lagi. Teriakan Maurice terdengar saat lubang langit-langit di sel itu meruntuhkan serpihan-serpihan semen. Para iblis penjaga mendengus keras seolah mengisyaratkan sesuatu. Khass sempat memandang Desmond dengan ketakutan, tetapi pria itu hanya melemparkan pandangan penuh benci kepadanya.

"Oh, beruntunglah kau, Guru Muda," cemoohnya. Profesor berbalik badan dan siap meninggalkan ruangan, tetapi langkahnya terhenti saat Janthell tiba-tiba menerjang tubuhnya.

"Lari!" teriaknya. Khass dan Elena terperanjat. Mereka refleks berdiri, tetapi kaki mereka tak bisa bergerak. Ruangan itu kembali bergetar, lebih hebat, dan mulai terdengar suara keretak pada dinding. Sayup-sayup suara dentuman berulang-ulang terdengar dan mengirimkan getaran yang lebih keras setiap kalinya. Para iblis penjaga itu sudah kabur, tidak memedulikan Desmond yang mengumpat dan berusaha menjambak Janthell dengan tangan iblisnya.

"Bangsat!" Janthell berseru saat Desmond nyaris menamparnya. Ia meraih kepala Desmond dan berusaha membenturkannya ke lantai, tetapi ia kalah bobot. Tubuh Janthell yang ceking dibanting oleh Desmond yang notabene bertubuh besar.

"Keparat!" Desmond membalas. "Bocah setan!"

"Kau yang setan!" Janthell balas berteriak. Jari-jarinya yang kurus berusaha menggapai punggung Desmond untuk menariknya menjauh. Namun, itu semua hanya upaya Janthell mengalihkan perhatian. Elena menjerit saat sesuatu yang panjang tiba-tiba merambat keluar dari punggung Janthell dan menusuk lengan Desmond. Pria itu meraung.

Khass menyaksikan dengan ngeri. Janthell ternyata memiliki kekuatan iblis di tubuhnya! Jadi itulah mengapa ia—anak yang sejak pertama berada di sel, menyaksikan teman-temannya pergi—tidak pernah kunjung tewas? Karena ia berhasil berkembang menjadi separuh-iblis? Ada banyak sekali pertanyaan yang berkelibat di benak Khass, tetapi goncangan kuat yang meruntuhkan langit-langit menyentaknya.

"Lari!" Maurice melolong. Jeruji selnya bengkok dan ia merangkak keluar. Kini ia berusaha sekuat tenaga untuk mengeluarkan teman-temannya yang lain. Elena melompat untuk membantunya.

"Janthell, ayo pergi!" Khass akhirnya mampu menemukan suaranya.

"Lari, bajingan! Larilah!" Janthell berteriak. Ia berusaha menghalau serangan Desmond yang mengumpat tanpa henti. Darah segar merembes dari lengannya, sementara sesuatu yang panjang menyerupai ekor kalajengking menggeliat liar dari balik punggung Janthell. Ekor kalajengking itu berusaha mencaplok Desmond, tetapi tangan mutan sang ilmuwan mampu menangkisnya dengan cepat.

Khass harus membantunya! Ia bersiap-siap memanggil Par, dan untuk pertama kalinya ia yakin bahwa kejadian mengerikan di ruang pengobatan tadi bukanlah halusinasi. Maka ia bisa memanggil Par! Buat Khass mengeluarkan tentakel dari tulang-belulangnya yang mengerikan, dan—

"Sudahlah, pergi saja!" Janthell mulai frustasi. "Aku bakal susul!"

"Tidak!" Desmond meraung. Ia meraih rambut Janthell dan menjambaknya kuat-kuat. Janthell menjerit saat rambut-rambutnya tercabut, lalu satu ekor kalajengking tumbuh lagi di tubuhnya. Kedua ekor itu meraih tubuh Desmond dan menghempasnya ke dinding.

"LARI!"

Tubuh Khass tersentak oleh tarikan kuat. Ia buru-buru mengangkat kaki dan mengimbangi langkah kawan-kawan satu selnya yang berhasil kabur, meninggalkan Janthell dan Desmond bergulat di dalam ruangan sel. Khass ingin sekali kembali, tetapi kedua kakinya terus berlari menyusuri lorong, bergabung bersama para pekerja yang berhamburan keluar ruangan. Khass menoleh sekali lagi, memandang ruang selnya, sebelum langit-langit di atasnya ambruk oleh bola besi besar. Para pekerja menjerit, berlomba-lomba saling mendahului dan menindih. Jeritan Khass tenggelam di antara teriakan mereka.

"Janthell!"

ANTIMA: The Denial  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang