16.1 Sumber Stres

77 25 5
                                    

Daripada Rayford, sesungguhnya Caellan yang merasa paling gila di sini. Saat sang adik akhirnya menguap dan berkata akan tidur untuk menenangkan kepala yang serasa ingin meletus kapan saja, Caellan mempersilakan. Rayford pun menyeret kaki, menutup pintu kamar dengan sedikit keras hingga menimbulkan gema di seluruh penjuru rumah yang senyap itu. Pada saat itulah Caellan merasa keheningan yang menyergap membuatnya nyaris gila. Mulutnya menganga, jemarinya meremas rambut, tetapi alih-alih ada suara yang keluar, Caellan menarik napas dalam-dalam dan ingin sekali ambruk saat itu juga.

Mulutnya menceracau dalam berbagai ungkapan paling kasar yang pernah diketahui. Oh, seandainya ada orang-orang tua di sini, telinga mereka akan memerah karena malu dan saking kesalnya! Tetapi Caellan sendirian dan takkan ada yang menghakimi. Ia pun menyambar gelas di sampingnya, melempar ke dinding dengan sekuat tenaga, lantas merasakan jantungnya berdentam-dentam seolah meledak dalam kegemparan ketika mendengar suara benturan gelas.

Caellan memandang serpihan kaca bagai kristal salju yang menghampar di lantai. Tanpa bergumam apa-apa lagi, pemuda itu bergegas menuju kamar di seberang ruangan milik Rayford. Ia menarik napas dalam-dalam lagi saat menaiki satu anak tangga, dan mengembuskannya dengan keras di anak tangga selanjutnya. Ia terus melakukan hal itu hingga mencapai puncak tangga. Matanya mengerling lemas ke arah pintu kamar sang adik, lantas memaksa tubuhnya untuk memasuki kamar mendiang orang tuanya.

Kamar itu, sebagaimana semua ruangan yang hanya dibersihkan sesekali, menyimpan udara pengap yang menyesakkan. Kendati Caellan telah membuka jendela lebar-lebar seharian, tetap saja kekosongan ruangan ini membuat Caellan merasa tertekan, dan pemuda berusia dua puluh itu pun ambruk di kasur beraroma debu dan kayu. Selama sesaat ia menatap langit-langit, mempertanyakan nasibnya yang harus menghadapi iblis yang pernah menghantui masa kecilnya, dan kenyataan bahwa iblis itu pula yang mempertemukannya lagi dengan sang adik yang selama ini dicarinya. Ironis! Caellan telah menghabiskan seumur hidup untuk mencari sang adik yang berbagi darah Aland Caltine bersamanya, tetapi dari semua kemungkinan yang ada, Rayford justru datang dengan diantar oleh sang iblis.

Jika ini bukan pertanda bahwa hidup Caellan akan selamanya dibersamai iblis, entah apa lagi maknanya. Dia bukan orang yang suci semacam adik tirinya. Toh hidupnya telah bernapaskan perilaku iblis.

Setelah merenung selama tiga puluhan menit, Caellan mengembuskan napas untuk keseratus kali sebelum bangkit untuk duduk di tepi kasur. Ia melepas beberapa kancing baju sembari menggeser kedua kakinya dengan penuh kemalasan menuju pintu lain di kamar. Ia menyalakan lampu, menatap jemu ke arah bayangan dirinya pada kaca kusam yang menghadap pintu. Wastafel di bawahnya tidak lagi mengilap seperti ketika Momma dahulu membelinya. Namun, berbeda dengan petak pancuran di pojok ruangan, ia sempat membersihkannya tadi siang, bahkan mengisi tungku pemanas dengan kayu-kayu bakar yang dikumpulkan Rayford dari bukit di belakang rumah. Caellan belum mandi seharian, dan memilih untuk mencurahkan rasa waswas, kesal, serta kecemasannya dengan bertandang hingga makan malam menjelang tadi. Ia hanya tidak menyangka bakal mandi pada pukul sembilan malam.

Caellan menyalakan pemanas, dan sembari menunggu kayu-kayu itu berkeletak, ia mulai menanggalkan pakaian untuk ditumpuk di pojok kamar. Pandangannya tertambat pada lemari rias Momma yang berada di samping tumpukan baju, terutama pada pistol yang diletakkan sejak kemarin, bersama kantong kulit seukuran saku yang disegel rapat.

Alisnya berkedut.

Selama sesaat Caellan memandang pistol itu, lantas membuang muka. Ia menyeringai geli pada dirinya sendiri, terutama ketika menangkap sosok wajahnya sendiri di kaca meja rias Momma.

" ... Sampai-sampai kukira kau mendengar suaranya, sebab kalian saling bertentangan ...."

Seringai di bibir Caellan lenyap, dan sepertinya kesalahan terletak pada matanya, sebab Caellan merasa tak bisa mencerna penglihatannya dengan baik setelah itu. Ia tak bisa mengandalkan pandangan yang memburam dan gelap! Satu-satunya yang terasa adalah perasaan menggebu-gebu dan api yang seolah membakar bagian dalam tubuh. Ia mampu mengenali permukaan metal yang dingin pada tangannya, atau lapisan kayu di bahunya saat mendorong pintu, dan gelayut magis yang memenuhi kamar Rayford Caltine.

Ia masih tidak bisa melihat apa-apa selain gejolak energi familiar yang berombak demikian keras, menggeliat di udara dengan begitu molek karena bebas bercumbu dengan kebebasan. Energi itu fana, tetapi tampak paling jelas di matanya, dan tak ada yang membuat Caellan lebih murka daripada bayangan Par yang menari-nari di depannya, memenuhi benaknya dengan gaung tawa yang mengerikan, merayakan kemenangannya atas kehancuran Caellan karena telah menguasai adiknya terlebih dahulu. Merusak kehidupannya.

... Iblis itu akhirnya muncul lagi.

Pandangan Caellan masih gelap bahkan saat langkahnya terhenti di sisi tempat tidur Rayford yang telah mendengkur pelan. Gejolak energi Par beriak dramatis di matanya bagaikan letupan-letupan warna mencolok, memburamkan sosok Rayford yang nyaris kasat mata.

Itu Par. Demi Tuhan, demi—OH KEPARAT, OH, ITU ADALAH PAR! Caellan bisa mendengar tawanya yang semakin keras, mencemooh situasi sang manusia yang diterkam traumanya sekali lagi ... dan—OH, YA TUHAN! SEKARANG KESEMPATANNYA! PAR DI SANA, ADA TEPAT DI DEPANNYA!

DI DALAM ADIKNYA!

Namun, ketika Caellan tanpa sadar mengangkat tangan, mengarahkan pucuk pistol ke bagian belakang kepala Rayford yang membelakanginya, gejolak energi itu lenyap begitu saja, melebur ke udara dan menyisakan suasana pengap dan cahaya remang-remang dari lilin-lilin di pelat kaca.

Caellan terkesiap, dan belum sempat ia menyadari sepenuhnya apa yang terjadi, Rayford menggeliat dan memutar tubuh.

"O ... o, Caellan? Ada apa?" suaranya serak, jelas-jelas terpaksa bangun karena merasakan ada kehadiran sosok lain. Rayford mengerjap-kerjap, membiasakan diri pada suasana yang gelap, kemudian menyadari Caellan berdiri di sisi tempat tidur dalam diam. Kedua tangannya meremas ujung kaos kutang yang menguarkan bau keringat.

Caellan tersenyum tipis. "Tidak," katanya. "Aku ... aku mendengar suara. Kukira berasal dari sini."

"Apa aku mendengkur terlalu keras?" tanya Rayford lagi, sedikit malu. "Kata Elena aku mendengkur. Aku tidak tahu kalau ternyata sekeras itu."

"Tidak, tidak," kata Caellan, masih tenang, tetapi jantungnya yang berdentum-dentum memburu suaranya. Sensasi macam apa ini? Serupa letupan kegembiraan dan semangat membara saat ia melakukan pembunuhan masal pertamanya, tetapi lebih buruk dan sama sekali tidak nyaman. Dia benar-benar harus mandi. "Tidurlah, Ray. Barangkali dari bawah, aku akan mengeceknya ke sana. Maafkan aku karena telah mengganggu tidurmu."

Rayford mengangguk lemas, sama sekali tak ingin mengulurkan bantuan dan memilih untuk kembali membenamkan kepala pada bantal paling empuk dan wangi yang pernah ditidurinya. Caellan beranjak, dan masih sembari mengunci pandangan pada sang adik, ia menyahut pistol yang diinjak di bawah kakinya ke luar ruangan. Ia bersyukur, dan untuk pertama kalinya memuji Tuhan tanpa menyertainya dengan umpatan, bahwa lantai kamarnya berlapis karpet berbulu tebal.

Ketika Caellan menutup pintu, Rayford berbalik badan, terduduk di kasurnya, lantas menghirup napas dalam-dalam. Rayford menyipitkan mata menyadari bahwa aroma yang menggelayut samar itu bukanlah sesuatu yang asing. Dahulu, ketika mencium aroma venome di truk Lakar, ia tak merasakan apa pun selain hidungnya yang tersengat. Sekarang, dengan Par yang telah menyatu ke dalam dirinya, gelayut sesamar itu membuatnya sensitif, terbangun dari tidur dengan cepat, dan tenggorokan serta matanya seakan terbakar. Rayford punya satu lagi alasan untuk menjustifikasi air mata yang membasahi pipi seorang pemuda. Yang jelas bukan karena ia lemah, atau kenyataan bahwa kakaknya juga berniat membunuhnya, tetapi karena tubuhnya tidak lagi bekerja seperti manusia biasa.

Namun, oh, bagaimana bisa lelaki itu terlihat tenang-tenang saja bahkan sempat tersenyum, seakan-akan seluruh ucapannya yang meyakinkan Rayford sebagai adiknya hanyalah pancingan yang berujung pada percobaan pembunuhan? Rayford kira memiliki seorang saudara berarti saling menyayangi, seperti Amar yang masih terus mendoakan dan mengharapkan kebaikan pada adiknya yang hilang dari hidupnya selama bertahun-tahun?

Bukan, ya?

ANTIMA: The Denial  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang