7.1 Para Perundung

107 29 6
                                    

Ketika Khass akhirnya ditangkap, ia mengalami konflik batin. Pertama, ia dan teman-teman seperguruan diajarkan untuk tidak takut dengan semua makhluk hidup karena mereka semua sama, dan peran para Guru adalah membimbing seluruh makhluk. Guru seperti penggembala dan makhluk-makhluk hidup lainnya adalah domba. Guru menuntun mereka dan menjaga mereka sementara domba-domba itu merumput sesuka hati. Bulu-bulu mereka yang tebal ibarat hadiah yang diberikan para domba ketika Guru menuntun mereka setiap hari untuk menikmati berkah Tuhan. Sehingga, Khass tidak gentar kepada para petugas itu, tetapi kasihan dengan anak-anak sebaya yang ketakutan setengah mati di dalam truk. Khass iba dengan para petugas yang bengis karena mereka telah keluar dari jalur Tuhan. Khass lebih takut pada kenyataan bahwa ia akhirnya mengalami peristiwa yang hanya didengar dari cerita-cerita Amar dan Par. Jantungnya berdetak dalam ketegangan. Benak Khass tak pernah sepi dari bait-bait resitasi untuk memohon pertolongan dan ampunan Tuhan, terutama kepada orang-orang ini. Khass adalah calon Guru, jadi mengapa mereka menangkapnya?

Ruang kecil itu panas dan sesak, seolah tak menyediakan tempat untuk bernapas. Khass sempat mengira bocah-bocah yang matanya terpejam dengan wajah pucat itu telah tewas. Mereka pasrah dengan truk yang berguncang-guncang. Tak ada yang berani bergerak, bahkan ketika kepala mereka terantuk dinding kontainer yang keras dan bergetar secara konstan.

Khass duduk paling dekat dengan para tentara Lakar. Tentu saja. Dia adalah korban terakhir yang dijebloskan ke dalam truk, dan mungkin satu-satunya yang masih segar dibandingkan kerumunan serupa ikan-ikan yang telah capek menggelepar di bawah sengatan matahari. Khass mengawasi kedua Lakar itu menanggalkan helm, lantas meraih dua bungkus dendeng untuk dibagikan. Cara Khass menatap intens kepada Lakar di seberangnya membuat tentara itu terusik.

"Apa yang kaulihat, bocah?" tangannya meraih senapan yang terikat di sabuknya. "Turunkan pandanganmu atau kupukul kau."

Khass tidak bergeming. Ia masih mengunci pandangan pada pria yang kini menyipitkan matanya dengan kesal. Reaksinya itu menarik perhatian Lakar kedua yang duduk paling dekat dengan Khass. Matanya yang kecil menyaksikan dalam diam, seolah siap untuk menampar si pemuda seandainya Khass mulai berbicara.

Khass tidak terpengaruh oleh tatapannya. "Kau ... kau telah salah menangkap orang," katanya, dan sedikit terkejut dengan kenyataan bahwa suaranya terdengar gemetaran. Khass kemudian sadar bahwa dirinya pasti terlihat sangat kacau sekarang. Kedua matanya merah karena terus-terusan menangis. Kulit wajahnya yang lembut terpoles lumpur kering dan goresan ranting. Telinga kiri dan rahangnya bersimbah darah dengan luka sabet yang masih segar. Bibirnya gemetar, sementara jemarinya saling meremas, berusaha memanggil Par agar membantunya menumbuhkan tulang-tulang.

Biar para Lakar itu tahu jika telah salah menangkap calon Guru. Apakah mereka tidak tahu kalau Guru dilarang untuk disentuh? Namun, seiring dengan berlalunya waktu yang terasa sangat lama, tidak muncul tanda-tanda akan keberadaan Par. Ini membuat Khass akhirnya mulai panik dan mengingatkannya pada saat Kamitua melukai lehernya. Par tidak membantunya. Par menghilang, membiarkan darah merembes dari luka melintang yang berdenyut-denyut di lehernya.

"Apa kau tuli? Lihat sana!" Lakar pertama itu mengambil senapan, nyaris saja memukul kepala Khass saat Lakar kedua tiba-tiba menahannya.

"Jangan!" pria itu mendesis. Rekan kerjanya membeliak, siap untuk melontarkan umpatan lebih banyak lagi. Ia menggeleng dan mengedikkan dagu ke arah Khass. "Kau tidak lihat? Dia anak dukuh di atas sana, Karl."

"Lantas?" Lakar pertama, Karl, mendengus. "Lihatlah keparat kecil itu. Kaupikir doa-doanya bisa membuatmu mati?" Khass merasa kepalanya memanas mendengar cemoohan itu. Tentara ini tidak takut dengan Guru.

"Memang tidak, tetapi mereka diikuti. Kalau kau berani menyentuh mereka tanpa izin, iblis-iblis itu yang akan menyakitimu."

Khass melirik Lakar kedua dengan takjub. Dia mengerti dengan rahasia para Guru. Apakah ia memiliki relasi dengan seorang Guru? Khass berharap bahwa Lakar ini setidaknya akan memiliki sedikit belas kasih padanya.

"Ha! Iblis! Kau berkata seolah-olah tidak tahu apa yang sedang kubawa. Terlalu lama menjaring di jalanan membuat keberanianmu tumpul, kawan. Cobalah untuk bergabung dengan tentara penjaga di situs, kau akan tahu siapa yang iblis sekarang!"

Kemudian Karl menyambar senapan kawannya dan mengayunkan popornya ke kepala Khass. Pemuda itu terantuk di lantai kontainer yang keras, kepalanya bergetar oleh guncangan truk yang memburamkan pandangan. Khass langsung mual.

"Goblok!"

Khass tidak tahan lagi. Ia nyaris menangis, bukan karena sakit di kepala tetapi karena gejolak di hatinya, yang meraung-raung setiap kali identitasnya diinjak-injak. Khass mengacungkan telunjuknya, masih tak ada tulang yang mencuat.

"Kejahatan ... kejahatan akan terungkap ... kau tahu aku diikuti ... tempat rahasiamu akan ... akan ketahuan ...."

Alih-alih membela seperti harapannya, Lakar kedua hanya mendengus geli. Karl kini berjongkok di sisi kepala Khass. Jari-jarinya yang kasar menjewer telinga kirinya yang terluka. Luka basahnya bergesekan dengan kulit sekasar sisik buaya. Khass memekik kesakitan.

"Kalau begitu katakan kepada kawan-kawan iblismu untuk datang, bocah." Desisnya. Ia mengacungkan sebuah pistol yang tersembunyi rapi di sabuknya. Moncong pistol disodokkan ke hidung Khass, membuat si pemuda membeliak kaget. Aroma familiar tercium. Khass merasa jantungnya berdegup tidak karuan dan—Par! Par! Apakah Par masih di dalam benaknya? Par tidak boleh ikut mencium ini!

"Guru tak boleh disentuh, eh?" Karl mengacak-acak rambut Khass, mengusap jari-jarinya yang beraroma tanah basah dan minyak dendeng ke wajahnya secara kasar. "Guru diikuti iblis, eh?" moncong pistol itu dibenturkan pada hidungnya. "Iblis-iblismu akan menyelamatkanmu dan menghancurkan kami, eh? Lakukan sekarang! Kami sangat senang untuk menyambut mereka!"

Jantung Khass berdentam-dentam nyaring. Keringat dingin merembes dari tubuh. Untuk pertama kalinya, Khass sadar bahwa manusia di dunia luar desa tidak takut lagi dengan para iblis yang pernah memperbudak mereka ratusan tahun lalu. Zaman telah berubah. Sejarah yang diceritakan kepada Khass, dan yang menjadi landasannya untuk menggambarkan dunia saat ini, tidak lagi berlaku. Zaman telah berubah. Khass akhirnya tahu bahwa perlawanan bukanlah hal yang boleh dilakukan saat itu. Rasa sakit di hatinya memuncak, mendorong air mata untuk berkumpul di pelupuk matanya.

Kepala Khass dijatuhkan begitu saja. Khass bahkan tidak sempat mengaduh. Ketakutan telah menguasainya. Ia kenal betul dengan aroma yang menguar dari moncong pistol, meski Khass tidak sering menemukannya, tetapi ia tahu aroma tajam venome. Tanaman yang bisa melumpuhkan iblis itu telah memasuki senapan-senapan milik manusia! Mencium aromanya saja membuat para iblis mulai melemah, apalagi tersentuh olehnya. Jika Par mencium bau ini melalui hidung Khass, maka tamatlah riwayatnya!

Namun, seiring dengan semakin jauh truk melaju, Khass menyadari bahwa Par masih tidak menunjukkan tanda-tanda keberadaan.

Benaknya kosong.

Sementara itu Karl memutuskan untuk menyingkirkan si calon Guru yang berisik ke pojok. Ia menahan tubuh Khass di belakang kedua kakinya, sama sekali tak ada ruang untuk bergerak dan bercampur dengan anak-anak sebaya. Kedua kaki Karl mendesak tubuh Khass terlalu rapat ke dinding hingga tekanan sepatu bot yang disisipi besi terasa menembus kulit hingga ke tulang. Rasa sakit di kepala Khass bertambah saat mengalami guncangan hebat karena separuh wajahnya menggeletak pada lantai truk. Saat truk melewati gundukan besar, kepala Khass terangkat sepersekian senti dan menghantam lantai dengan lebih keras setiap kalinya. Deru mesin dan guncangan kecil konstan semalaman melumpuhkan baik pendengaran maupun kesadarannya. Bahkan obrolan-obrolan kecil yang dibisikkan para Lakar, atau teguran-teguran kepada para anak redam oleh dengungan mesin yang memenuhi seluruh pendengaran Khass, dan situasi konstan ini sempat membuat telinganya berdenging selama beberapa hari setelahnya, begitu pula kepala dan pandangan Khass yang terasa seolah bergetar atau bergoyang samar, padahal kejadian itu sudah lewat bermalam-malam.

Kemudian, seperti semua penangkapan dan penipuan yang diceritakan kepadanya, Khass dan sembilan belas anak lainnya berakhir di sebuah situs tersembunyi.

ANTIMA: The Denial  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang