Dalam benaknya, Rayford sedang berlari.
Ah, tunggu. Bukan Rayford, melainkan masih Khass. Memang tidak mudah menanggalkan kehidupan lama segampang mengganti nama panggilan, bukan? Ketika Rayford dalam kenyataan sedang memandang lesu mayat yang terayun-ayun di hadapannya, konsentrasinya terpaku pada sebuah usaha pengejaran di dalam benak.
Kakinya saat ini mengenakan sepatu kulit lembu, tetapi Rayford bisa merasakan jelas tajamnya rerumputan di telapak kaki, atau gesekan ujung-ujung ranting pada lengan. Dadanya terasa sesak, meraup udara yang terasa makin mampet seiring dengan semakin kencang kakinya berlari. Tangannya terjulur, berusaha menggapai sesuatu, tetapi pada akhirnya kedua kakinya tidak kuat lagi. Larinya melambat. Dadanya naik turun dengan hebat dan napasnya memburu, memunculkan genangan kecil di pelupuk matanya. Dalam bayangannya, Khass mulai sesenggukan karena kehilangan sesuatu yang berusaha dikejarnya.
Rasa bersalah.
Kemana rasa bersalahnya saat ini? Ada mayat yang tergantung tepat di depan matanya. Ketika Rayford kembali berpijak pada situasi nyata, matanya menatap nanar pada wajah yang digantung terbalik. Seperti dirinya, tubuh mayat itu juga pucat, tetapi karena darahnya telah mengucur deras sesaat lalu hingga menggenangi kaki Rayford. Oh, ya Tuhan. Tenggorokannya terasa kering ... dan ludah mengumpul di mulutnya, entah sejak kapan. Ia melirik Par yang menjilat kubangan dengan gembira.
Rayford juga ingin menangis karena indera penciumannya terusik oleh bau anyir yang tajam. Yang benar saja, berlumuran kotoran sapi jauh lebih baik daripada ini! Guru Muda macam apa yang mencuci kakinya dengan darah sesama?
"Heh." Rayford menghardik Par. Ia tidak bisa berdiam saja atau lama-lama akan menjadi gila. "Hentikan itu!" serunya lagi ketika Par mulai menyeruput. Kenapa iblis ini bisa menikmati darah dan membuatnya terdengar senikmat meneguk jus buah dingin di musim panas? Mendadak Rayford menduga jika haus yang dirasakannya inilah yang memburamkan rasa bersalah.
Tetapi, ya Tuhan, dia masih lima belas tahun. Apa yang dia pahami dari ini semua? Rasa penasaran akan tingkah Par mengalahkan keinginannya untuk merasa berdosa atas ini.
Sang iblis menatapnya dengan mata melotot, membuat sang bocah otomatis bergidik. "Jangan sok memerintahku." Desisnya. "Kau pikir kapan terakhir kali aku bisa makan?"
Rayford otomatis teringat kejadian pembantaian separuh ilmuwan yang mencekokinya dengan sel Par saat masa-masa perbudakan lalu, dimana tentakel-tentakel mengerikan menjalar dari punggungnya dan Par sedang mengunyah potongan tubuh seorang mayat. Ia menyesalinya.
"Ayo kita pergi," kata Rayford. "Aku tidak suka ini."
"Kenapa tidak suka?" tanya Par sembari menjilat lagi. "Kau sudah melakukan hal yang benar! Theompore sialan ini harus disingkirkan atau dia akan beralih pada hal-hal lain yang lebih mengerikan daripada perbudakan lalu ... memang tahu apa kau tentang para konglomerat yang punya uang dan ambisi?"
Rayford membiarkan Par menceracau dan memilih untuk mengeluarkan lipatan kertas dari sakunya. Catatan itu tertanggal pada lima tahun lalu, sudah mulai sobek-sobek di ujungnya, dan ada banyak lingkaran pada kata-kata tertentu. Di bawahnya, potongan berita dari koran dua minggu lalu diselotip. Terpampang nama-nama yang diperbolehkan untuk diekspos karena memiliki andil dalam perbudakan, terutama penelitian Profesor Desmond yang kini sangat terkenal dimana-mana. Nama-nama di koran itu cocok dengan semua nama yang ada di kertas catatan, dan masih lebih banyak lagi nama yang disembunyikan oleh media, tetapi Rayford telah mengetahuinya.
Rayford meremas kertas itu dengan emosi tertahan. Mereka yang memiliki ambisi untuk memperbanyak ras campuran guna kepentingan diri ... Rayford tak bisa membayangkan jika perbudakan itu masih berlanjut dan penelitiannya sukses, maka Rayford dan kawan-kawannya yang selamat akan menjadi budak atau pasukan pribadi para bangsawan brengsek ini.
Ya Tuhan!
Rayford mencoret satu nama di potongan koran maupun kertas catatan. Holdus Theompore. Pria itu sekarang sudah tergantung tewas dengan terbalik. Bilah-bilah tulang Rayford ditancapkan pada kaki-kakinya hingga menembus ke langit-langit ruangan. Sebagian piyamanya tercabik dan menjuntai ke lantai, memerah oleh darahnya sendiri. Rayford tidak mau berlama-lama memikirkan pria itu karena fokusnya adalah nama-nama lain yang tertera di koran. Beruntunglah karena Holdus Theompore senang menyendiri bersama dua pelayan di lantai dasar, sehingga ini cukup mudah bagi Rayford sebagai korban kepahlawanannya yang pertama. Namun, bagaimana dengan nama-nama lain ini? Apakah mereka tinggal bersama keluarga besar, atau bagaimana? Rayford merasa tegang.
Pemuda itu tersentak saat terdengar suara ketukan di pintu. "Tuan? Waktu makan siang sudah tiba. Anda ingin makan di bawah atau kami bawakan masuk, Tuan?"
Rayford panik dan buru-buru menghampiri Par. "Kita harus pergi!" bisiknya.
"Kenapa buru-buru?" Par menyeringai lebar, membuat sang bocah terhenyak. "Aku bisa menambah porsi!"
"Dasar iblis." Rayford terperangah. "Bukan begitu perjanjiannya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTIMA: The Denial ✓
Fantasy[BOOK 1] Khass memang seorang Guru Muda, tetapi Par takkan menyerah untuk menyeretnya keluar dari perguruan menuju neraka dunia. = = = = = = = = = = = = = = = = = = Listed as Featured Story on WIA Indonesia Listed as a part of Reading List #3 o...