Akhir-akhir ini Rayford merasa gila. Ia sedang berada di sebuah kota kecil yang belum pernah disinggahinya, dan seharusnya merasa senang karena itu! Namun setiap perjalanan yang dilalui dengan Par membuatnya jenuh dan ingin segera pulang. Namun, ah, memang dia mau pulang kemana? Ke desa? Yang benar saja. Dia sudah melenyapkannya. Ke kediaman Caltine? Nah. Jujur saja Rayford belum bisa menganggapnya rumah. Kamarnya memang bagus sekali; dengan kasur empuk, selimut tebal, dan penghangat ruangan, tetapi rasanya ia seperti menumpang pada penginapan saja.
Rayford merindukan segala sesuatu yang berhubungan dengan desa. Hutan. Ayam panggang.
Sehingga, ketika ia akhirnya menyadari ada seekor gagak yang terus-terusan mengawasinya, Rayford sempat menduga gagak itu adalah bagian dari desanya. Sebenarnya ini bukan pertama kali Rayford berpikir demikian. Sejak kemarin, ia menyadari ada begitu banyak gagak dimana pun ia berada, membuat Rayford berharap barangkali ada seseorang dari desa yang masih hidup dan kini mengikutinya. Jika benar begitu, ia akan pulang ke hutan tempat desa berada dan memohon ampun. Sungguh. Rayford menyesal betul.
Kemudian Par muncul setelah berkeliaran dan memandang gagak itu dengan mulut menyeringai lebar. Rayford tahu apa yang akan dilakukannya karena mereka baru saja berdebat dua jam yang lalu. Benar saja, Par meraih gagak itu, memelintir lehernya dan mencabutnya begitu saja bagai menarik akar terlepas dari tanah. Rayford merasa ngilu.
"Ya Tuhan, apa yang kau lakukan?"
"Agar kau tahu kenapa aku tidak pernah minum darah hewan! Cium baunya!" Par menyodorkan leher berlumuran darah itu ke hidung Rayford. Pemuda itu menampiknya kesal dan menjauh.
"Kau gila!"
"Aromanya saja berbeda dengan darah manusia! Ayo, rasakan!"
"Tidak mau!" seru Rayford dengan mata melotot. Par terkekeh dan membuang bangkai itu ke luar pagar jembatan. Rayford memandangnya tak percaya, lantas mengedarkan pandangan untuk memastikan tak ada yang melintasi jembatan sepi ini. Tetap tidak ada orang. Yah, jembatan ini hanya mengarah ke satu-satunya rumah besar berpagar tinggi. Tidak ada yang berseliweran di jembatan ini kecuali penghuni rumah.
"Aku bercanda. Darah manusia maupun darah binatang tidak terlalu berbeda jauh." Par mengangkat bahu, membuat Rayford makin kebingungan.
"Lantas mengapa kau melakukan itu?"
"Kenapa, ya, kira-kira?" senyum Par melebar. Rayford menyesal telah bertanya dan mengibaskan tangannya. Ingin sekali ia mengabaikan iblis di sampingnya ini! Setelah berkeliaran dan meninggalkan Rayford di jembatan, iblis itu nampak sangat senang. Apa kiranya yang telah ia temukan?
"Kau pergi kemana?" tanya Rayford akhirnya.
"Kau mencemaskanku?"
"Tidak akan. Sudahlah, jawab saja pertanyaanku!"
"Kemana-mana! Kau akan bosan mendengarkanku."
Lagi-lagi Par menjawab dengan pilihan kata-kata yang membuat kepala Rayford memanas. Ia memutar bola mata, terdiam sejenak, lantas melipat tangannya. "Oh, sungguh? Bagus sekali. Sementara aku di sini mengira akan mati kebosanan karena tidak boleh kemana-mana, tetapi ternyata ada sesuatu menarik saat kau pergi tadi. Ada dua orang."
Par menahan napas kegembiraan. "Siapa?"
"Entah. Membosankan bagiku."
Senyum Par dengan cepat menghilang, membuat Rayford sempat mengira iblis itu akhirnya akan murka kepadanya, tetapi terlalu cepat baginya untuk menarik kesimpulan. Par mengatupkan mulut dan menyeringai kecil. Ia menghampiri Rayford dan mendesaknya. "Ah, trik yang lucu, bocah. Tidak ada yang lewat sama sekali."
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTIMA: The Denial ✓
Fantasia[BOOK 1] Khass memang seorang Guru Muda, tetapi Par takkan menyerah untuk menyeretnya keluar dari perguruan menuju neraka dunia. = = = = = = = = = = = = = = = = = = Listed as Featured Story on WIA Indonesia Listed as a part of Reading List #3 o...