3.1 Perang Dunia I Adalah Dongeng

228 48 4
                                    

Tahun 1918. Nyaris serupa dengan tahun pada dongeng-dongeng namun tidak sama. Buku-buku yang dilarang itu mengisahkan akhir dari sebuah perang yang amat dahsyat dan menghancurkan sekitar enam belas juta jiwa. Enam belas juta! Jika dongeng-dongeng itu memang benar, dan sebagian dari itu sedang terjadi pada dunia yang dijalani oleh Khass, maka perang yang terjadi di sini ... yah, setidaknya sedikit lebih baik. Mungkin. Beberapa oknum misterius yang rutin membeberkan isi dari buku-buku yang dibakar dan disingkirkan oleh pemerintah itu semakin memperkuat ketakutan. Mengapa dongeng-dongeng itu terdengar seperti terulang kembali?

Bagusnya, perang tidak terjadi antar negara. Tidak ada perang seperti itu. Mungkin juga karena perdamaian yang terus ditekankan oleh para pemimpin di luar sana. Orang-orang itu—bukan, makhluk-makhluk kuno itu—menganggap dunia akan berlangsung baik selama semua berdiri dalam satu lingkar kepercayaan yang sama, di bawah pemerintahan yang terbaik. Seluruh dunia pun meyakini hal yang sama, kecuali beberapa, yang berpikir bahwa merekalah yang lebih pantas menduduki pangkat tertinggi di dunia itu, atau peraturan-peraturan merekalah yang terbaik untuk semua. Itulah alasan rumah-rumah dihancurkan dan para pria menghilang dari tanah ini. Khass tidak tahu mengapa. Ia masih tidak paham, tetapi sering mencuri dengar Kamitua dan para Guru mendiskusikan hal-hal tersebut. Sayangnya Khass tidak bisa mengingat kata-kata yang sulit, kecuali satu, yaitu diktator.

1918 sudah lewat empat tahun yang lalu. Bukan hal yang spesial pula karena Khass tidak bisa mengingat banyak, selain satu kenangan yang disimpan rapat-rapat di dalam ingatannya. Ia masih berkeliaran di hutan saat itu. Tangannya selalu digenggam oleh Amar, dan akan semakin erat seiring menjauhnya jarak-jarak antar pohon di sekeliling mereka. Kemudian rumah-rumah kota. Itu adalah pertama kalinya Khass melihat banyak sekali rumah! Rumah-rumah itu berdempetan, bersinar dalam warna-warna mencolok yang menyenangkan. Cerobong-cerobong asap berjajar pada pucuk-pucuk atap yang menjulang. Bunga-bunga dan tanaman rambat menghias berbagai sudut dinding yang lapang. Orang-orang berjalan dalam keramaian yang syahdu, tangan saling menggamit dan senyum tersungging di mana-mana.

"Lihat," Amar berbisik, suaranya nyaris tenggelam dalam imajinasi Khass yang melambung liar tentang kehidupan di dalam rumah berwarna kuning. Tidak ada rumah berwarna kuning di desanya. "Itu kota, dan itu penduduknya. Rumahnya banyak sekali dan orang berdagang setiap hari."

"Kota bagus," Khass mengulang. Matanya berbinar. Selama sesaat mereka hanya duduk di puncak bukit, menikmati pemandangan itu. Kota kecil yang amat menyenangkan. Khass membayangkan kakinya berlarian di tepi jalan, menyerobot kerumunan entah kemana, mungkin kabur dari Amar setelah usil memukul bokongnya. Kemudian ia akan menyelinap di salah satu celah antar bangunan. Tempat-tempat gelap itu bagus untuk lokasi per-sembunyian bagi bocah sepertinya. Lalu seekor kucing akan lewat, mengeong kepadanya, dan Khass harus berusaha keras agar kucing itu tidak menarik perhatian para pejalan kaki. Seru. Pasti seru.

"Aku mau ke sana."

"Kamitua bilang kita tidak boleh jauh-jauh."

Khass mengernyit mendengar nama Kamitua disebut. Ah ... kenapa Kamitua lagi? Khass ingin ke situ. Sebaiknya tidak dilarang.

"Aku mau ke sana!" tegasnya.

Amar berkutat dengan moral yang sedang dibangun kuat-kuat oleh Guru Abraham, tentang mematuhi perintah dan segala macamnya, tetapi keinginan kuat seorang bocah enam tahun tidak mempertimbangkan peraturan.

"Baiklah, sebentar saja ya?" Amar menggigit bibir, tangannya kembali meraih pergelangan Khass dan mencengkeramnya erat. "Kita pulang sebelum bau-bau mereka menempel ke tubuh kita."

Kedua anak itu bergandengan tangan menuruni bukit dengan hati-hati. Khass berulang kali berusaha melepaskan diri dari genggaman Amar, tetapi setiap pemberontakan berujung gertakan kecil. Amar itu terlalu kuat. Khass meringis kesakitan kalau dicengkeram seperti ini, dan akhirnya memilih untuk menuruni sisa jarak dengan cemberut. Setidaknya ia masih ingat untuk tersenyum lebar kepada penduduk yang berpapasan dengan mereka.

ANTIMA: The Denial  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang