"Pernah suatu kali aku jatuh di hutan."
Khass bersandar pada jeruji besi, mata mengedar ke semua wajah yang menyimak dari balik sel masing-masing. "Kakiku patah dan sekujur tubuhku tergores. Aku terperangkap di sana selama dua hari."
Mata-mata itu membelalak, terutama Maurice, yang kini mencengkeram batang jeruji dengan tegang. Sel telah lama hening, khidmat mendengarkan penuturan Khass yang rutin dilakukan sejak dua minggu terakhir, tepat sebelum jadwal Profesor datang dan membawa beberapa di antara mereka untuk 'diobati'. Hari ini jadwal anak-anak di sel sebelah barat. Khass dan Janthell menempati sel paling timur. Pantas saja jika Maurice dan dua anak di samping selnya adalah pendengar paling antusias.
"Lalu?"
"Aku sama sekali kesulitan. Waktu itu hujan deras. Aku jatuh di lubang tepat di bawah tanah curam. Waktu itu sempat longsor juga. Lubangku sampai tertutup." Khass bercerita sambil menggerakkan tangannya untuk menambah kehebohan cerita. Maurice sama sekali tak berkedip. "Aku tidak bisa apa-apa. Cuma berdoa dan berdoa."
Khass samar-samar mendengar Janthell bergumam di belakang punggungnya: bagaimana bisa?
"Aku berdoa agar diselamatkan. Namun, bahkan sampai hari kedua, tidak ada yang menolongku. Kakiku sakit sekali. Aku takut," lanjut Khass, masih dengan nada yang mencekam dan sedikit terlalu dibuat-buat. Kemudian, nadanya melunak. "Lantas aku sadar, caraku berdoalah yang salah. Aku harusnya minta diberi kekuatan. Kamitua selalu mengatakan bahwa kita tidak boleh minta hasil kepada Tuhan. Kita tak boleh pasrah, kita harus berjuang. Karena itu berdoalah agar diberi kekuatan, dan ... dan semakin kuat untuk melakukan sesuatu."
"Astaga. Lalu?"
"Rasanya tubuhku membaik setelah berdoa." Khass tersenyum. "Memang kakiku masih sakit, tapi setidaknya aku bisa menyeret lututku. Aku berusaha menggali. Lama sekali, memang, tapi aku berhasil keluar."
Maurice mendesah lega.
"Yang terpenting adalah mengetahui cara berdoa yang tepat, maka pertolongan juga akan cepat datang." Khass mengacungkan jari, menandakan bahwa cerita belum selesai. "Seperti nanti, atau seperti aku kemarin. Berdoa supaya kuat menghadapi Profesor dan obat itu. Setelah berdoa, bakal jadi yakin. Itu lebih baik daripada tidak berdoa dan ketakutan, bukan? Takut membuat segalanya jadi lebih buruk. Yakinlah Tuhan bakal membantu umat-Nya yang mau berusaha, bukan cuma merengek minta hasil."
Seisi sel kemudian bertepuk tangan. Maurice berseru bahwa dia tidak akan takut, meski lututnya gemetaran. Gara-gara itu, anak-anak di sel lain jadi tertawa. Senyum Khass melebar. Setidaknya suasana tidak seburuk dua minggu lalu saat Melissa tewas di depan mata. Khass pun menoleh ke arah Janthell, tetapi pemuda itu hanya tercenung di pojok sel.
Khass menghampiri. "Bagaimana?"
"Seperti Guru sungguhan." Janthell mengangguk. Nadanya datar.
"Bukan, maksudku, apa kau juga merasa yakin?"
Janthell tak segera membuka mulut. Ia hanya mengerjap, dan ketika menyadari bahwa Khass masih menanti jawabannya, Janthell mengangkat bahu. "Inspiratif. Tapi, kau tahu aku tidak berdoa lagi."
Khass termangu di tempatnya. "Kau bisa mencoba lagi."
"Sering, dan 'gak ada gunanya bagiku. Teman-temanku dahulu sudah hilang semua." Janthell melambaikan tangan, mengisyaratkan sel-sel lain di ruang itu. "Aku berdoa agar temanku diselamatkan. Aku terkungkung di sini, apa yang bisa kulakukan? Aku berusaha, sering kali menjebol, tapi kau lihat ini." Janthell menunjuk bekas merah di kulit kepalanya, tempat rambut paling jarang tumbuh. "Juga 'gak menghasilkan apa-apa. Mereka tetap diseret atau mati."
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTIMA: The Denial ✓
Fantasy[BOOK 1] Khass memang seorang Guru Muda, tetapi Par takkan menyerah untuk menyeretnya keluar dari perguruan menuju neraka dunia. = = = = = = = = = = = = = = = = = = Listed as Featured Story on WIA Indonesia Listed as a part of Reading List #3 o...