Rayford mematung. Dia menatap Par dengan mulut menganga tanpa kata-kata. Ketika akhirnya dia mampu menemukan suaranya, tenggorokannya terasa amat kering.
"Apa?"
"Dia menunggu. Di dalam."
"Bukan. Kenapa kau ...." Rayford kehilangan susunan kalimat yang tepat di kepalanya. "Kau ... bagaimana kau tahu—tidak, bagaimana kau bisa tenang—tidak. Kau tahu?"
"Aku bisa merasakannya."
"Tidak. Kau tidak akan setenang ini."
"Bagaimana kau tahu?" Par menyeringai. "Apa yang kau tahu tentangku?"
Tiba-tiba saja, Rayford merasa wajahnya baru saja ditampar sesuatu tak kasat mata dengan sangat keras. Jantungnya berdegup dalam ketidaknyamanan dan otaknya diperas untuk memahami situasi yang telah terjadi. Rasa bingungnya lantas berubah menjadi emosi yang menggelegak di dalam diri. Mengingat Tuhan tidak lagi cukup ampuh untuk meredam kekesalannya.
"Kenapa kau tidak mengarah kemari saja sejak awal? Kau sudah tahu, bukan?"
Par berdecak, tetapi itu tidak menghentikan senyumnya untuk melebar. Jemarinya yang panjang meraih Rayford untuk mengelus pipinya. "Rayku yang manis," ujarnya. "Dimana letak kesenangannya? Dimana letak ... puncak dari segala ketegangannya? Kau mungkin tidak tahu, tetapi dalam sebuah pesta makan malam, kau tidak bisa langsung menyantap menu utamanya! Bagimu yang cuma makan kentang tumbuk, brokoli rebus, dan semur daging seumur hidup tidak akan tahu kalau kau perlu serangkaian menu pembuka!"
"Tidak masuk akal!"
"Sejak awal, apakah ini semua masuk akal?" Par terkekeh, lantas mengibaskan tangan. "Mau masuk, tidak? Desmond tidak sesenggang dirimu, nak. Dia berpindah setiap kalinya."
Rayford masih ingin mendebat Par, tetapi aroma alkohol yang mencekik dari ruangan itu telah menggoda Rayford untuk bergegas masuk. Dengan sekujur tubuh yang berkedut-kedut ringan, Rayford melewati pintu. Matanya memicing menyapu ke seluruh penjuru ruangan yang luas untuk dihuni seorang buronan. Ruangan itu serupa rumah kecil tanpa sekat—kursi-kursi panjang, tempat tidur, meja makan bundar kecil dan sepasang kursi makan, serta meja kerja yang jumlahnya sedikit terlalu banyak dan bertumpuk-tumpuk buku. Alat-alat penelitian yang tak asing bagi Rayford disingkirkan di pojok ruangan, kecuali toples-toples raksasa yang menyimpan ... astaga, apakah itu bayi-bayi vehemos yang diawetkan?
Dan, puncak dari seluruh ketegangan Rayford berpusat pada seorang pria yang sedang merapikan tumpukan buku di dekat tempat tidur. Ketika mata mereka bertatapan, Desmond yang nampak sangat segar dalam balutan kemeja dan jas laboratorium itu tersenyum lebar.
"Ah, Rayford! Putra Aland yang baik, eh? Masih bertahan hidup, rupanya!"
Ketika Rayford tak mengatakan apa-apa selain bengong di posisinya, Desmond menambahkan, "Kaukira aku tidak tahu? Saat kau bilang namamu Khass, aku masih tidak bisa mengenalmu dengan baik." Desmond terus menceracau, tidak peduli apakah Rayford bakal mampu menerima terjangan informasi darinya. "Namun kau membawa kunci rumah Caltine, jadi kuasumsikan kau adalah putra bungsunya yang hilang. Ternyata benar. Tapi kau dibuang, bukan hilang. Tapi untuk apa? Pada akhirnya kau kembali pada kami. Dan, ah, sudahkah kau menyapa suami istri Woodand? Mereka pernah mengabdi pada kakekmu."
"Rayford, ayolah. Jangan kaku begitu." Par mencolek bahu pemuda yang masih terheran-heran. Rayford bergeming, tetapi ketika Par mendorongnya agar mendekat kepada Desmond, Rayford sontak menatapnya.
Matanya berkilat marah. Suaranya bergetar saat berkata, "Hentikan. Kalian bukan kerabatku."
"Sudah berapa banyak yang kaudengar tentangku, Rayford? Kau sudah bertemu dengan kakakmu Caellan? Terakhir aku bertemu dengannya saat aku berkunjung ke rumah kalian saat kau masih bayi! Caellan adalah anak yang cerdas, sungguh."
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTIMA: The Denial ✓
Fantasy[BOOK 1] Khass memang seorang Guru Muda, tetapi Par takkan menyerah untuk menyeretnya keluar dari perguruan menuju neraka dunia. = = = = = = = = = = = = = = = = = = Listed as Featured Story on WIA Indonesia Listed as a part of Reading List #3 o...