2.2 Kehidupan Kontras

215 54 6
                                    

"Aku minta maaf."

Debri menatap Khass. Bocah itu sedang memeras baju Debri yang basah dan memberi pakaian bekas Amar yang masih cukup di tubuhnya. Wajahnya muram dan penuh rasa bersalah. Ia bahkan tidak berani menatap kedua mata Debri.

Anak kota itu mendengus. "Tak apa-apa," katanya, membangkitkan rona semangat di wajah Khass. "Aku tahu, kalian memang jarang bertemu orang kota sehingga mudah terintimidasi. Tetapi, yang jelas aku tidak bermasalah, bukan?"

Khass mengangguk tanpa ragu. "Kau baik-baik saja."

"Kalau begitu apa kau masih akan meninggalkan tamumu ini?"

Pipi Khass merona malu. Ia meringis kecil. "Maaf, tapi aku tidak jadi pergi. Amar ... saudaraku tadi, dia sudah membawakanku ... sesuatu. Kalau kau tak keberatan, aku akan tetap berada di sini."

Debri sontak melirik bungkusan daun yang menguarkan aroma ayam panggang di meja. Ia menyeringai geli. "Makanlah. Aku akan tidur. Baru kali ini aku merasakan air sungai sedingin itu. Mengalahkan sumur di musim dingin!"

Debri merebahkan tubuh dan menarik selimut dari tumpukan sarung yang dibawakan Khass. Ia berusaha mengabaikan aroma ayam dengan memandangi lumen, berpikir bahwa betapa ajaibnya sulur-sulur berpendar bak lampu itu, namun cara Khass menyeruput minyak ayam dan berkecap membuat Debri berulang kali meliriknya.

"Ayahmu orang yang keras, ya?"

Khass tersentak. Ia berhenti mengunyah gigitan ayam terakhir dan menatap Debri dengan mulutnya yang belepotan minyak. Si bocah mencoba mencari jawaban yang pantas kepada orang asing ini, sementara Debri mulai bersandar pada lipatan tangan di atas bantal.

"Kamitua ... Kamitua adalah orang paling suci," kata Khass menerawang, "dan segala perilakunya adalah cerminan kami, atau orang yang diajak bicara. Jadi ... kalau Kamitua menurutmu keras ... maka sebenarnya memang kami yang salah."

"Wow, itu aneh." Debri mengernyit. "Tunggu, bagaimana jika kau menceritakan aku sesuatu tentang desa ini? Maksudku, ini pertama kalinya aku masuk ke tempat beginian, bung. Besok aku mungkin saja akan pulang dan tidak kembali ke tempat seperti ini lagi. Buat aku punya pengalaman dengan tempat aneh ini. Teman-temanku pasti heran aku tahu sesuatu soal desa perguruan."

Debri memosisikan diri di tempat tidur senyaman mungkin, meski nampaknya dipan kayu dan anyaman rotan bukanlah bagian dari kehidupannya sehari-hari. Setidaknya masih ada bantal yang benar-benar empuk dari bulu-bulu burung dan ayam. Ia menunggu dengan tidak sabar hingga menyadari bahwa Khass tidak kunjung mengatakan apa pun. Bocah itu kebingungan.

"Oh, ayolah."

"Kau mau dengar kisah soal ... um, sejarah desa?"

"'Gak, deh." Debri menggerutu. "Baiklah, begini saja. Kulihat kau sama sekali awam dengan kehadiranku, eh? Sekarang begini, mumpung kau bertemu denganku, si orang asing, tanyakan aku apa saja."

Khass tidak butuh berlama-lama. Dengan mata berbinar ia segera menyambar pertanyaan pertama. "Kau berasal dari Gerbang Selatan. Seperti apakah tempat itu?"

"Kau menanyakan satu provinsi, bocah. Ada banyak sekali hal tapi aku tidak bisa menjelaskan. Aku ... yah, aku cuma berkeliaran sekitar pelabuhan Perau Port. Tapi aku lihat banyak orang berlalu lalang! Jadi, Gerbang Selatan itu amat membosankan. Hanya orang-orang biasa, sebagian kaya dan lebih banyak yang miskin. Kau tahu jika semakin kau pergi ke Selatan, maka semakin miskin dirimu?"

Khass menggeleng. "Kalau begitu, apakah anak-anak sepertiku juga ada di tempatmu?"

"Pakai sarung dan baca buku tiap hari? Tidak. Gerbang Selatan tidak punya banyak Konservatori. Kami cuma punya pegunungan dan lebih banyak padang rumput." Khass terlihat agak kecewa dengan jawaban Debri, maka si pemuda asing menambahkan cepat-cepat. "Tetapi anak-anak seusiamu selalu bermain. Mereka sering menolak makanan yang dibuatkan ibu mereka dan lebih suka bermain seharian."

"Bermain apa?"

"Apa pun. Benar-benar ... apa pun. Aku tahu seorang anak di tempatku yang memiliki segalanya dan ia masih suka bermain di kubangan lumpur setelah hujan. Yek."

"Apa mereka juga menangkap ayam liar?"

"Menangkap ... apa? Kebanyakan mereka lebih senang mengganggu kawanan burung dara, tapi takut kalau dikejar angsa." Debri mencoba mengingat kembali. "Mereka 'gak suka memancing karena itu lama dan membosankan."

"Rumah-rumah tidak dihancurkan? Mereka tidak sembunyi?"

"Kenapa kau bertanya begitu?"

Khass mengerjap. "Ada beberapa Guru Muda yang datang dari luar desa. Rumah-rumah mereka dihancurkan dengan bola besi."

Tak ada suara selama sesaat di ruangan. Khass mencoba mengingat segala sesuatu yang diketahui dari kisah-kisah perjalanan mereka. Ia mengutarakan secepat otaknya dapat memutar semua cerita itu. Amar, seperti yang selalu ia katakan pada semua pendatang baru, ialah Guru Muda paling senior diantara para murid, dan mungkin keempat di desa yang berasal dari dunia luar. Setiap ia bercerita, kisahnya menjadi semakin sengit. Semula rumahnya hancur sebagian, kemudian lama-lama luluh lantak tanpa menyisakan satu bata utuh pun. Ayah dan abangnya telah lama tiada, diseret oleh sekelompok bersenjata tidak dikenal. Kabar mengatakan bahwa para pria dikumpulkan di sebuah situs untuk membangun monumen kegilaan kaum kapitalis yang tiada akhir. Ibu dan adik perempuannya memisahkan diri. Amar mencoba—yang pada cerita lain menjadi sangat—berani untuk melawan para penghancur rumahnya dan menyuruh ibunya bersem-bunyi. Nyatanya, Amar juga diseret dan ibunya berhasil kabur. Pada saat itulah, katanya, tak peduli betapa lemah seorang bocah dipandang, kekuatan Tuhanlah yang menentukan. Amar berhasil menjatuhkan diri dari kapal yang membawanya menuju barat, kemudian berenang hingga terapung-apung tanpa arah, dan akhirnya ditemukan oleh perahu Guru Abraham yang sekarang menjadi pengasuhnya di desa ini. Setidaknya ada tiga anak lagi yang memiliki kisah awal serupa.

"Jika katamu Gerbang Selatan jauh dari pulau utama—Pulau Stentin—apakah tidak ada rumah-rumah yang dihancurkan di sana?" tanyanya, dan saat Debri menggeleng, Khass makin nampak kebingungan.

Debri menyeringai. "Tidak semua mengalaminya. Kayak aku, nih. Buktinya aku punya tempat untuk pulang."

"Kau masih punya rumah," Khass terkesiap. Matanya melebar dan kakinya berayun riang. "Rumahmu seperti apa?"

"Pertanyaan aneh, tapi aku akan menceritakan bagian yang tidak menyedihkan. Kau kayaknya mendengar terlalu banyak hal sedih. Atau, para Guru memang biasanya mendengar hal-hal suram? Coba ceritakan padaku kisah teman-temanmu atau pendatang asing yang menggembirakan."

Khass berpikir sejenak. "Um ... Tugas kami memang membimbing orang-orang yang kesusahan."

"Ya, pantas saja. Kau pasti jarang dengar cerita yang seru, ya? Dengar, sekarang aku bakal menceritakannya."

ANTIMA: The Denial  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang