Aku berulang kali mematut diri dalam cermin seratus tujuh puluh kali delapan puluh centimeter yang terbentang di hadapanku. Kemeja putih tulang berlengan panjang yang tergulung hingga siku, dengan bordir kepala kucing kecil yang tersemat di saku kiri. Serta celana berbahan poliester warna hitam yang telah tersetrika dengan rapi. Ku pandangi lagi lamat-lamat, cukup rapi kataku dalam hati. Kacamata berbingkai hitam favoritku juga sudah terpasang di tempat semestinya. Aku kembali berpikir, apalagi yang seharusnya disiapkan, ah dokumen yang harus kubawa sepertinya tidak ada, karena sudah ada yang mengurusnya. Persiapan terakhir, mungkin aku akan memakai sepatu pantofel saja, mengingat ini termasuk forum yang resmi.
Aku memutar tubuh dari cermin, memandangi kamar berwarna putih dengan barang-barang monokrom yang tertata rapi. Netraku jatuh pada sebuah pigura foto yang berukuran cukup besar terpajang di atas kepala ranjang. Sebuah senyuman paling bahagia hari itu tersemat indah ditambah dengan peluk paling erat dari sepasang kekasih yang baru saja mengikat janji, sehidup semati katanya. Tak sadar senyumku terkembang dan rindu kembali menyeruak diam-diam. Memori kembali terlempar jauh pada hari-hari, bulan-bulan, dan tahun-tahun ke belakang. Ada kita di atas segalanya, bukan hanya kamu, bukan hanya aku, tapi kita. Masih teringat jelas hari-hari bahagia di mana aku dengan senang hati bangun setiap pagi menyiapkan bekal yang akan kau bawa menemani delapan jam kerjamu di kantor.
Aku juga masih ingat sebaris kalimat janji yang kau ucapkan ketika acara pemberkatan pernikahan kita dilaksanakan. "Aku akan terus jatuh suka, dari caramu memandang dunia." Mingyu, kini rindu tidak lagi menyeruak diam-diam, ia memaksa menerobos masuk relung hatiku pagi ini, menyuarakan kerinduannya padamu dengan artikulasi yang sangat jelas. Seketika aku bertanya, aku harus apa dengan semua kerinduan ini? Dengan cara apa aku harus berdamai dan membuat mereka mereda. Katakan Mingyu, katakan bahwa butir-butir rindu yang menjelma air mata ini tidak bersalah meski aku harus menghapusnya perlahan-lahan. Sebuah ketukan halus pada pintu kamar ini menyapa telingaku, memecahkan segala lamunan tentang dirimu.
"Mas Wonwoo, Pak Lee sudah datang menjemput." Asisten rumah tanggaku berkata dengan hati-hati ketika aku membukakan pintu untuknya.
"Ah iya, sebentar lagi saya turun." Ujarku singkat.
"Mas Wonwoo ... Memangnya sudah nggak bisa ya mas?" Ia berkata lagi, kali ini dengan lebih hati-hati.
Aku tidak menjawab, hanya mengusap bahunya pelan, menutup pintu kamar, dan berjalan mengekor di belakangnya untuk menjumpai Pak Lee, supir pribadi keluarga kami yang sudah datang menjemput. Pak Lee membukakan pintu penumpang untukku tanpa berkata apapun. Aku memasuki mobil yang perlahan melaju meninggalkan rumah.
~~~
Jalanan ramai lancar, bahkan tidak ada titik kemacetan sama sekali. Dan aku merutuki keadaan ini, karena aku berharap aku tidak akan pernah sampai ke tempat itu. Aku berharap gagal menginjakkan kaki di gedung itu. Aku diam, berdarah-darah di dalamnya, bergelut dengan segala getir di dada. Entah kenapa perjalanan kali ini terasa cepat sekali hingga pada akhirnya mau tidak mau aku telah sampai pada tempat ini. Pak Lee menoleh ke belakang, menatapku di kursi penumpang. Sorot matanya bertanya apakah aku baik-baik saja. Lagi-lagi yang terekspresi dari wajahku hanyalah sebuah senyuman yang begitu getir dan menyesakkan. Aku jauh dari kata baik-baik saja, aku hancur, telah berkeping-keping yang pecahannya bahkan sudah tidak lengkap lagi.
Aku turun dari mobil, kutegapkan langkahku ke ruangan yang dituju. Pintu terbuka pelan-pelan. Kursi-kursi panjang yang berderet di kiri kanan membelah sebuah jalan setapak di tengahnya, aroma kursi dan meja dari kayu lawas menggelitik penciumanku. Aku berjalan di tengahnya. Rindu kembali berdesakan di dadaku, Mingyu. Sebuah sensasi pahit dan sesak menjadi satu. Bukan, aku bukan sedang berjalan di tengah-tengah kursi tamu dan menujumu di altar, Mingyu. Kelebat demi kelebat memori berdatangan memenuhi kepala. Senyum gugupmu di ujung altar yang menungguku. Ciuman manis yang tercipta sesaat setelah kita selesai mengikat janji. Dan jika kutarik garis waktu ke depan, maka akan muncul bayangan ketika kita saling melempar argumen dengan sangat keras kepala lalu menyelesaikannya dengan sebuah peluk hangat dan kecup kening di penghujung hari. Atau ketika kita berbicara dengan secangkir teh pagi di hari Minggu tentang betapa sepinya rumah kita dan seminggu setelahnya datanglah 2 ekor anak anjing dan 2 ekor anak kucing yang menjadikan rumah kita mendadak ramai. Semua terasa begitu membahagiakan dan jika bisa, rasanya aku ingin hidup pada masa itu lagi. Katakan padaku Mingyu, bahwa imaji tentang memori ini bisa dijadikan kenyataan sekali lagi.
Aku melihatmu tersenyum di ujung sana. Duduk pada kursi kayu lawas dan sebuah meja kecil di depannya. Mungkin, mungkin saja ini hanya sebuah halusinasi karena kesedihan sekaligus kecintaan yang mendalam. Tadinya aku masih tidak ingin percaya bahwa akhirnya harus seperti ini. Tadinya aku ingin memanjangkan angan-angan bahwa kita masih bisa bersama, seperti yang kerapkali kita gaungkan, sampai jadi debu, katamu. Aku tidak pernah suka berseberangan denganmu dalam hal apapun, berusaha mengerti demi tak menjadi jauh dan selalu berdampingan. Namun tidak hari ini Mingyu, kita duduk berseberangan. Temu pandang yang kuusahakan seperti tidak bersambut, kau menyibukkan dirimu dengan lembar-lembar kertas yang ditunjukkan oleh orang di sampingmu. Entah apa.
Pun aku, yang dipaksa orang di sebelahku untuk ikut menenggelamkan diri pada lembaran kertas yang dibawanya. Tanganku dingin rasanya, keringat halus yang kurasakan mengalir di punggung langsung terserap kain yang kupakai. Mengapa di saat seperti ini daya ingatku menjadi lebih baik dari sebelumnya? Karena memang pada saat ini yang memenuhi kepalaku hanyalah rangkaian ingatan demi ingatan. Fragmen peristiwa menggeliat minta diingat, momen di mana segala upaya menemukan kegagalan ketika menjembatani kita. Digantikan dengan potongan cerita di mana kita begitu bahagia di dalamnya. Mengapa kita tidak bisa berbahagia saja, Mingyu? Aliran masing-masing yang kita pilih saat ini bukankah tidak menjamin kebahagiaan kita nantinya? Karena dalam hidup memang tidak pernah ada hal yang mutlak 'kan Mingyu, benar salah tidak selalu hitam putih. Jika bersama penuh dengan ketidakpastian, mengapa berpisah kau anggap menjadi suatu kepastian?
~~~
Sesungguhnya aku tidak sepenuhnya mendengarkan apa yang disampaikan wakilmu di seberang sana, kepalaku terlalu berisik. Berusaha memproses apa yang terjadi saat ini, rasanya aku tidak bisa. Namun, kau tahu apa yang paling berisik dari suara di kepalaku? Bukan, bukan suara perwakilanmu di seberang. Suara ketukan palu yang terdengar tiga kali lah yang membuatku seakan-akan pecah gendang telinga. Kita berpisah, Mingyu. Kembali menjadi kau dan aku. Kembali menjadi asing disaat hati tahu bahwa kau begitu familiar di hidupku adalah suara paling berisik yang mengejekku saat ini. Aku diam, kau diam, kenyataannya kita tidak saling memperjuangkan. Atau kita tidak pernah tahu apa yang kita perjuangkan?
Kita bersalaman dengan para perwakilan di dalam ruangan ini. Dengan seorang bapak paruh baya berjubah hitam pekat yang tadi mengetukkan palunya pada sebidang papan kayu di atas meja kekuasaannya. Hingga pada saatnya giliran kita bersalaman. Kali ini kau menatapku Mingyu, matamu tidak lagi berlarian. Detik itu juga aku tahu, kecintaan yang mendalam tidak pernah hilang dari hatimu.
Lalu mengapa kita membiarkan palu itu terketuk, Mingyu?
~~~
Hai, semuanya.
Update ini menjadi pengantar untuk update selanjutnya yaitu, "Langkah Terakhir Mingyu"
Setelah itu, rangkaian series Bittersweet akan tamat.
Terima kasih sudah membaca dan mungkin menunggu selama ini.Selamat membuka kotak Pandora terakhir 🩷🍃
Salam,
Aunty
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet [Meanie]
أدب الهواةBittersweet moment kehidupan pernikahan Jeon Wonwoo dan Kim Mingyu, apa jadinya?