Mingyu dan Wonwoo masih saja sibuk dengan urusannya masing-masing. Masih dengan jarak yang terbentang di antara mereka. Kali ini agak susah menyatukan waktu untuk menghabiskan hari dan berbagi kasih sayang, keduanya adalah manusia-manusia penuh ambisi dan pencapaian hidup. Linimasa segala pencapaian yang telah disusun untuk diri masing-masing, kini tinggal mereka wujudkan satu per satu hanya dengan dukungan satu sama lain tanpa intervensi. Susah memang jika dua kepala yang memutuskan hidup bersama ternyata memiliki sifat idealis yang seimbang. Wonwoo merasa memiliki prinsip yang benar, begitu juga prinsip lain yang dianut Mingyuㅡsudah pasti pula ia menganggapnya benar. Seperti kali ini saja, Wonwoo telah berjanji akan menyusul Mingyu ke Jepang. Lagipula ia juga butuh menyegarkan tubuh dan pikirannya sejenak dari rutinitas perusahaan. Jangan tanyakan betapa senangnya Mingyu ketika mendengar kabar itu.
"Benarkah kau yang akan ke sini?" Suara Mingyu terdengar bahagia di ujung telepon sana.
"Iya, aku sudah menyiapkan semuanya. Sehabis meeting dengan Ayah dan koleganya aku akan menyusulmu. Aku rindu, Gyu ..." Wonwoo merajuk dan Mingyu terkekeh, ah sungguh suaranya saja bisa membuat desiran halus yang menyapa telinga Wonwoo. Ia benar-benar merindukan suaminya.
"Aku menunggumu, Sweetheart. Beri kabar jika tiba nanti, aku akan menjemputmu." Tipikal seorang Kim Mingyu, ia tidak akan membalas kata-kata rindu atau cinta yang dilontarkan Wonwoo. Ia hanya akan membalasnya dengan tindakan nyata. Namun Wonwoo, dengan segala prasangka di kepalanya selalu merasa bahwa cinta Mingyu tak sebesar cintanya hanya karena Mingyu tak pernah mengungkapkan.
Selama ini hampir segala yang Wonwoo butuhkan dipenuhi oleh Mingyu, meski tidak semuanya. Mingyu melakukan itu seringkali tanpa banyak bicara, hanya sekadar bertanya "Kau butuh apalagi? Bilang saja padaku."
Sebuah kalimat pendek sebagai tanda cinta Mingyu pada Wonwoo. Jauh dari kata-kata manis yang romantis. Tetapi Wonwoo bertahan dalam keadaan itu, mencoba memahami begitulah kata-kata cinta dari suaminya meski di dalam hati, ia sangat ingin Mingyu bersikap romantis.~~~
Presentasi dan pertemuan bisnis dilakoni dengan sangat baik oleh Wonwoo. Hari keberangkatan yang ia janjikan pada Mingyu telah tiba. Pria tampan itu memang agak lama di Jepang karena kali ini ia ke sana bukan hanya untuk workshop atau menjadi pembicara seminar kuliner, namun sebagai pengusaha yang akan membuka bisnisnya di sana. Wonwoo sudah siap dengan segalanya sebelum pada akhirnya sang Ayah menyodorkan selembar tiket pesawat bertujuan Macau.
"Apa ini Ayah?"
"Wakilkan pertemuan penting di sana. Ayah tidak bisa. Kau akan ditemani Pak Lee dan Nona Joohyun." Dengan santai sang Ayah menyuruh Wonwoo pergi, tanpa tahu bahwa putra manisnya itu sedang bersiap melepas rindu ke pelukan menantu kesayangannya.
"Tapi aku akan berangkat ke Jepang. Pesawatku tiga jam lagi."
"Mingyu bisa menunggu sayang, tetapi pertemuan ini tidak." Ayahnya tersenyum dengan tatapan memohon, dan Wonwoo tidak bisa berkutik. "Bergegaslah, tender ini penting untuk kelangsungan pekerjaan ribuan karyawan kita."
Wonwoo terdiam, untuk mengangguk saja rasanya berat sekali. Dengan cepat ia menekan speed dial nomor satu.
"Sweetheart, kau sudah bersiap-siap? Aku tak sabar menunggumu."
.
.
"Mingyu ... Mengenai itu ... Aku membatalkan penerbangan ke Jepang. Aku harus ke Macau, urusan perusahaan."
.
.
......
.
.
"Mingyu ... Apa kau masih mendengarku?"
.
.
"Pergilah, hati-hati ya."
.
.
"Aku akan pergi, tetap bertukar kabar ya. Aku mencintaimu."
.
.
"Aku lelah padamu ..."
.
.
"Maksudmu? Mingyu aku akan pergi, jangan menambah pikiranku."
.
.
"Aku lelah padamu, kamu tidak juga paham. Sudahlah, pergi Wonwoo. Aku tutup ya."
.
.
"Gyu ... Gyu ... Gyu ...!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet [Meanie]
أدب الهواةBittersweet moment kehidupan pernikahan Jeon Wonwoo dan Kim Mingyu, apa jadinya?