•05 | Plans For The Future•

441 75 1
                                    

•••

Jika apa yang direncanakan tak memiliki ujung yang berarti, maka menyerah adalah jalan yang paling banyak dipilih oleh orang. Sebenarnya, menyerah memang bukanlah pilihan. Namun, jika ending-nya berakhir kesia-siaan, apa harus memperjuangkan hal yang pasti mustahil? Contohnya seperti kasus Amaryllis.

Gadis bersurai panjang cokelat gelap itu harus menyerah. Mau tak mau, ia pun kesal setengah mati karena harus menyerah. Bagaimana lagi? Mencari pria yang memberinya topeng penahan kutukan itu sama sekali tak ia temukan. Jangankan lokasi tempat tinggalnya, satu petunjuk pun ia tak dapatkan.

“Kalau cuma satu minggu atau dua minggu, sih, aku sanggup cari pria abstrak itu. Tapi, udah satu bulan lebih? Please, kuker amat diri ini.” Amaryllis meratapi nasib sembari menatap sinar senja di bawah kaki Gunung Ilys itu.

Sebenarnya, sejak hampir sebulan pencarian yang tak berarti itu, Amaryllis sudah ingin menyerah. Namun, karena rasa penasarannya tak lekas surut, akhirnya ia terus melanjutkan pencarian. Meskipun hasilnya tak ada walau sudah mencari selama hampir 1 bulan lebih. Setidaknya hatinya tak terlalu penasaran seperti di awal-awal.

Menghela napas panjang, Amaryllis langsung bangkit dari duduknya. Ia pikir sudah terlalu lama dirinya berada di luar. Jika Deidamia sudah ada di rumah, pasti ia akan kena semprotan kalimat kekhawatiran dari pelayannya itu. Jujur, ia sudah lelah saat ini.

Berjalan dengan santai sembari menikmati silir angin yang menyegarkan di sore hari, membuat Amaryllis bersenandung riang. Menyanyikan lagu random yang dihafalnya, sampai netra hijau cerahnya menangkap sosok yang membuatnya jadi dejavu sendiri. Lihatlah, pria yang memakai topeng perak itu.

Memastikan pengelihatannya tak salah, Amaryllis mengucek beberapa kali kedua matanya. Lalu, dilihatnya dengan benar-benar corak dari topeng perak itu.

‘Taburan kristal berwarna biru? Iya, sih. Tapi, itu birunya lebih gelap. Terus, ada taburan mutiara warna hitam juga. Eh, rambutnya warna pirang bukan abu-abu cerah, tuh. Hm, kayaknya bukan pria yang aku cari, deh, ya?’ Amaryllis manggut-manggut. Merasa yakin jika pria itu bukanlah pria yang tengah dicarinya.

Baru saja ia akan beranjak pergi dari sana, suara ringisan tiba-tiba terdengar. Membuatnya mau tak mau melirik ke arah sumber suara. Di mana pria bertopeng perak itu yang tengah meringis sembari memegang lengan kanannya yang terluka.

Memang, tadi Amaryllis tak melihat secara saksama luka yang cukup dalam itu. Di mana darah dari lengannya mengucur cukup banyak. ‘Dia bisa kekurangan darah, woi!’

Rasa simpati yang muncul, membuat Amaryllis menghampiri pria yang tengah menutup mata sembari menyandarkan tubuhnya ke salah satu batu besar itu. Terlihat damai seakan nyeri di lengannya tidaklah sakit meskipun sesekali pria itu meringis.

“Tuan, apa Tuan terluka?” Amaryllis jongkok di hadapan pria itu sembari tersenyum ramah.

Sontak, netra hijau cerahnya beradu pandang dengan netra cokelat kelam milik sang pria. Membuat Amaryllis jadi gugup sendiri saat ditatap begitu tajam dan dalam.

Hening. Di antara mereka berdua tak ada yang berniat untuk membuka suara. Hal yang akhirnya membuat Amaryllis berdecak kesal. Tanpa permisi, ia pun memilih untuk mengobati luka pria itu.

Merobek sedikit bagian bawah gaun berwarna hitamnya, dengan cekatan ia membalut luka itu dengan kencang agar pendarahannya berhenti. Ya, hanya cara inilah yang muncul di otak cantiknya. Meskipun ia lebih ingin membawa pria itu ke tempat tinggalnya untuk diobati dengan layak, tapi rasanya terlalu mustahil. Ayolah, mereka sama sekali tak saling mengenal.

Evanescent Felicity [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang