•31 | If I Could Choose•

234 50 14
                                    

•••

Jika seseorang berada di dalam penjara, tentunya tak akan ada rasa nyaman dan tenang bukan? Terlebih saat orang itu menerima hukuman saat berada di sana. Jangankan ingin berlagak nyaman, mulai dari tempat tinggal sampai makanan pun pastinya sangat meresahkan, ya, 'kan?

Namun, berbeda dengan gadis bersurai cokelat gelap itu. Sejak tadi bibir mungilnya asyik mengeluarkan suara guna bernyanyi. Semua lagu yang ia hafal, dilantunkannya penuh percaya diri. Membuat pengawal di sekitar penjara hanya geleng-geleng kepala.

Penjara tempatnya dikurung itu berada di bawah tanah. Hanya diterangi oleh lilin yang temaram, tentu suasananya pun sangat tak mengenakkan. Pengap dan juga sesak. Kurang lebih, seperti itulah yang dirasakan oleh orang yang dihukum di dalam sana.

Namun, sekali lagi ... berbeda dengan gadis itu-Amaryllis. Ia malah santai menikmati waktunya di penjara. Toh, ia sudah biasa tinggal di tempat seperti ini. Malah, jauh lebih baik ketimbang om-nya yang dulu mengurungnya dalam gudang yang benar-benar menjijikkan.

'Akhirnya bisa lepas dari latihan konyol itu, uhuy!' Amaryllis tersenyum senang. Ia benar-benar bersyukur bisa istirahat sejenak dari latihan yang melelahkan. Terlebih, di penjara ini dirinya tak akan kekurangan makanan. Berbanding terbalik saat ia yang hanya bisa makan satu atau dua kali sehari.

Saat asyik dengan dunianya sendiri, Amaryllis tak menyadari suara langkah kaki berat itu mendekat ke arahnya. Di mana suasana yang mulanya terasa tenang, mendadak mencekam. Membuat siapa pun yang berada di sana jadi berkeringat dingin.

Amaryllis, gadis itu baru sadar setelah netra hijau cerahnya menangkap seorang pria jangkung yang berdiri di hadapannya itu. Hanya terpisahkan oleh jeruji besi, pria berwajah tampan nan datar itu tersenyum tipis. Membuatnya jadi memalingkan wajah.

"Lebih enak dihukum begini, heh?" Suara pria itu menginterupsi.

Berdecak tak suka, Amaryllis menatap sebal tepat ke netra hijau kelam milik pria itu. "Adelino? Seorang Putra Mahkota sepertimu ada apa datang kemari? Ingin menghinaku ... atau menunjukkan belas kasihan pura-puramu?"

Jujur saja, sebenarnya Amaryllis tak ingin bersikap seperti ini. Menurut buku Evanescent Felicity, Pangeran Adelino yang tak lain adalah kakaknya itu ternyata peduli dengannya. Hanya saja, sikap dan sifatnya yang dingin serta tak tahu cara mengekspresikan dirinya sendiri, membuat Adelino tak berdaya. Pria itu akhirnya hanya diam meskipun sesekali membantu Putri Amaryllis di balik layar tanpa diketahui siapa pun.

Lalu, mengapa ia memilih untuk bersikap demikian? Pertama, Amaryllis ingin memancing sifat dan sikap kakaknya yang 'itu'. Kedua, ia ingin agar sang kakak bisa menjadi tamengnya nanti. Dan terakhir, ia akan membuat Adelino sadar jika semua yang terjadi ini bukanlah keinginan ataupun salahnya.

Tersenyum smirk, Adelino menatap penuh intimidasi. "Aku hanya ingin melihat bagaimana nasibmu setelah berada di tempat ini selama lima hari. Em, sepertinya kau semakin kurus. Sangat cocok untukmu memang," sarkasnya.

Memutar malas bola matanya, Amaryllis mengibaskan tangannya ke atas. "Aku tidak tahu jika 'Kakakku' ternyata adalah seorang 'Kakak' yang payah." Ia menjeda kalimatnya, lalu tersenyum miring. "Kalau kau cemas, tidak usah berbelit-belit. Lagi pula, aku senang berada di sini. Aku tak perlu lagi menghadapi ketidakadilan yang kualami. Ah ... senang sekali rasanya," imbuhnya.

Sontak, ucapan dari Amaryllis berhasil membungkam Adelino. Pria itu termenung sesaat dengan tatapan tak terbaca. Memang tak dipungkiri jika ia 'sedikit' mengkhawatirkan kondisi adiknya. Maka dari itu, ia datang ke sini untuk memastikan apakah pola makan sang adik tetap terjaga dan sebagainya.

Evanescent Felicity [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang