•••
Di tengah temaramnya pencahayaan malam hari, tak membuat senyuman tipis itu meredup. Dibantu sinar sang rembulan yang bertahta dengan megahnya, pantulan wajah tampan tanpa dibalut topeng perak yang biasa dipakainya itu terlihat. Begitu menenangkan dan damai.
Terkekeh, suara berat pria itu mengalun begitu merdu. Netra sebiru langitnya yang terlihat tak bersemangat akhir-akhir, entah mengapa hanya dengan membaca sebuah surat kembali berbinar. Ada sirat kebahagiaan di sana jika dilihat lebih jelas.
‘Dear, Androcles jodohku ....
Hei, apa kabar? Aku harap kau tidak mati, ya? Sudah berapa surat kira-kira yang aku kirim dan tak kau balas? 100? 200? Aku tahu kau senang setelah menyiksaku seperti ini.
Androcles, aku kesal. Sangat. Jika kau tidak membalas suratku yang ini, aku sumpahi kau semakin jatuh cinta padaku! Puas?
Androcles ... aku rindu. Sayang, kau sudah memiliki wanita lain, ‘kan, di sana? Tak apa. Akan kubuat kau berpaling nanti. Siap-siap, ya?
Baiklah, sepertinya pesanku ini tidak akan mendapatkan balasan seperti biasanya lagi, ‘kan? Hah ... mungkin malam ini aku akan menyantetmu. Siap-siap saja besok kau akan tergila-gila padaku. Lihat nanti!
Tertanda, Amaryllis yang imut.’
Lihat, bagaimana Androcles tidak tertawa membaca surat dari gadis kecil itu? Setiap paragraf dalam kalimat pesannya saja berisi umpatan yang ‘sedikit’ tidak dimengerti olehnya. Wah ... hiburan tersendiri memang.
Saat ia asyik dengan dunia sendiri, suara decakan tiba-tiba terdengar. Membuat atensinya menoleh ke arah si empu yang berani mengganggu acaranya itu.
“Aku tidak paham mengapa dirimu menyimpan semua surat itu, tapi sama sekali tak membalasnya,” ujar pria bertopeng perak yang mirip dengan topeng yang biasanya dipakai oleh Androcles.
Androcles tersenyum culas. Ia melupakan keberadaan sosok pria yang sudah berusia 39 tahun itu.
“Hari ini ritualnya?” tanya Androcles seraya menyimpan surat itu di lacinya. Oh, lihatlah! Laci meja kerjanya penuh dengan surat. Siapa lagi kalau bukan dari Amaryllis?
Mendengkus, pria yang menyandarkan tubuhnya ke tembok itu berjalan mendekat ke arah Androcles. “Aku harap kau tidak akan menyesal nanti. Bisa saja karma berlaku jika gadis itu tidak kembali ke pelukanmu,” ujarnya.
Kali ini, kilat tajam dari Androcles menghunus tepat ke netra biru milik pria itu. “Hm. Aku tahu konsekuensinya.”
Tersenyum remeh, pria itu menoleh ke arah belakang. Di mana seorang pria bersurai hitam kelam telah berdiri di sana.
“Lucian, aku titip dia. Laksanakan semua yang telah aku perintahkan padamu. Paham?” ujar pria itu dengan nada penuh isyarat perintah dan tegasnya.
Lucian mengangguk hormat. Meskipun banyak pertanyaan yang ada di otaknya saat ini, tapi mau bagaimana? Ia bertanya pun tak mendapatkan jawaban yang mampu dimengertinya.
Yang dirinya tahu, dua pria di hadapannya itu adalah orang yang berbeda generasi. Jangan kaget jika mereka memiliki aura yang sama. Terutama, ‘sama-sama dihormatinya’.
Berbeda generasi, tapi juga seperti orang yang sama? Mungkin, sebutannya begitu meskipun ada beberapa sifat dari mereka yang berbeda.
Kembali menatap tegas ke arah Androcles, pria itu melemparkan jepit rambut berbentuk bunga amarilis merah. Sembari tersenyum tipis, ia berkata, “Berikan ini kepadanya saat dia berulang tahun ke lima belas nanti.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Evanescent Felicity [On Going]
Fantasía•Fantasi Story• •Romance : rate 15+• •[Follow sebelum membaca!]• ••• Percayakah kalian dengan takdir? Bak sebuah tali yang tak terlihat, takdir ibaratkan benang merah yang saling berhubungan di setiap orangnya. Kadang ... sesuka hati membuat beberap...