•••
‘Kelepasan di depan calon ibu mertua, memalukan! Mati kau, Amaryllis!’
Sejak tadi, puas sudah Amaryllis memaki dirinya sendiri dalam hati. Niatnya ingin mendapatkan perhatian dari ‘camer’, ternyata tidak berjalan lancar. Ia malah membuat sang camer-nya itu naik pitam. Terlihat dari wajah kesal menahan amarahnya tadi.
Meringis, saat ini Amaryllis tengah berada di ruangan kerja milik Sang Pangeran. Hanya berdua, tanpa Lucian di sini. Sungguh, membuat dirinya jadi kalang kabut sendiri.
Dalam pikirannya, gadis itu sudah menebak jika pria yang terpaut usia 4 tahun itu akan memarahinya. Yah ... jika itu terjadi, sih, Amaryllis sangat bersyukur. Setidaknya ia tidak akan dihukum ‘mati’ karena telah berani menunjukkan sikap ‘kurang’ sopan di hadapan Ratu Heliac.
‘Hidupku nggak sesingkat ini, ‘kan, ya?’ Amaryllis tersenyum miris.
Androcles, pria yang memakai topeng perak setengah wajah itu masih asyik mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja. Tak lupa dengan tatapan setajam elang yang masih setia menatap gadis kecil di hadapannya. Tanpa sadar, ia telah menciptakan suasana canggung dan sedikit mengerikan.
Meneguk salivanya kasar, Amaryllis berusaha tersenyum lebar. Demi mengusir hawa tak mengenakkan ini, ia akan mencairkan suasana semampunya.
“A-ah ... Andro, jangan ditatap terus, ya? Ma-malu jadinya. Aku tahu kalau aku cantik,” ujar Amaryllis lalu terkekeh pelan.
Menaikkan sebelah alis, diembuskannya napas panjang milik Androcles itu. “Maaf,” ujarnya begitu saja.
Melongo, Amaryllis menatap tak paham ke arah pria itu. ‘Salah dengar kali, ya?’
“Maaf? Untuk?” lirih Amaryllis sembari memegang dagunya dengan ekspresi wajah penuh tanya. Jujur, tanpa ia sadari ekspresinya itu membuat Androcles jadi gemas sendiri.
Tersenyum kecil, Androcles langsung bangkit dari duduknya. “Nanti, biarlah Lucian yang mengantarkanmu menuju tempat tinggalmu.”
“Tapi—”
“Setidaknya kau butuh waktu sebulan untuk menyembuhkan luka itu. Tuan Farand pasti akan mengerti, jangan khawatir.” Androcles memotong ucapan Amaryllis.
Mendengkus, Amaryllis menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Ia tak terima jika harus beristirahat selama itu. Apalagi jatah pendekatannya dengan Androcles yang terpotong. Wah ... tidak bisa dibiarkan!
“Tidak. Aku ingin bersamamu. Titik!” putus Amaryllis yang membuat Androcles berdecak pelan.
“Kau menurut, aku akan memberimu hadiah istimewa nanti. Jika tidak, maka jangan harap bisa menemuiku lagi. Pilih yang mana?” tawar Androcles sembari tersenyum miring. Ia sudah terbiasa menghadapi tingkah dari gadis itu. Untunglah dirinya cerdas sehingga mempunyai ide brilian dalam mengendalikan ‘ambisi’ tak jelas Amaryllis.
Sontak, bola mata Amaryllis berbinar cerah. Tergiur dengan syarat Androcles, ia mengangguk begitu saja.
“Setuju! Tapi, ada syaratnya.” Amaryllis mengulurkan tangan ke arah Androcles. “Kau harus membalas suratku. Tidak ada kata tapi, ya?” imbuhnya.
Mendengkus, akhirnya Androcles mengangguk sembari menerima uluran tangan dari sang gadis. Meskipun enggan, tapi tak apa. Setidaknya ia harus mengurus masalah yang belum selesai di kerajaannya ini. Dan yang terpenting ... tak boleh ada Amaryllis di sini. Ia tak ingin melibatkan gadis itu.
“Baiklah, kalau begitu aku harus pergi. Tunggulah di sini. Lucian akan segera datang.” Androcles mulai merapikan jubah kebesaran yang dipakainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Evanescent Felicity [On Going]
Fantasy•Fantasi Story• •Romance : rate 15+• •[Follow sebelum membaca!]• ••• Percayakah kalian dengan takdir? Bak sebuah tali yang tak terlihat, takdir ibaratkan benang merah yang saling berhubungan di setiap orangnya. Kadang ... sesuka hati membuat beberap...