•27 | Princess Amaryllis in Action•

211 46 0
                                    

•••

Seperti yang dikatakan oleh Raja Damon Emrys de Astrofengia—ayah Putri Amaryllis—kemarin, segala halnya sudah ia siapkan. Mengenai etika serta tata krama seorang bangsawan, tentunya Sang Putri mesti mendapatkan didikan. Terlebih usianya yang akan menginjak 17 tahun. Bagaimana pun caranya, ia tak ingin Kerajaan Astrofengia dipermalukan oleh tingkah putrinya itu.

Sejujurnya, Raja Damon sama sekali tak peduli. Mau putrinya masih hidup atau sudah mati, ia tak peduli. Hanya saja perihal ‘takdir’ yang sudah diramalkan, apa ia bisa menentang? Ini tentang Raja muda Kerajaan Synnefo—Baltsaros Dries Ignatios de Synnefo yang harus dinikahkan dengan putrinya. Tepat setelah acara debutante Putri Amaryllis.

Raja Astrofengia yang tengah mempersiapkan hal lainnya, benar-benar dibuat sibuk. Tentu hal itu dibantu oleh petugas lain yang telah dipercayanya. Berbanding terbalik dengan keadaan Sang Putri.

Amaryllis, gadis itu selalu menghela napas jengahnya. Ia jenuh, terlebih saat pengajarnya seperti menyepelekan dirinya. Jangan lupakan dengan para pelayan yang berbuat semena-mena sedari pagi itu. Ingin rasanya ia bungkam satu-satu mulut mereka menggunakan bagian bawah panci yang gosong.

“Tidakkah kau mengerti dengan gerakan yang sudah kuajarkan? Kurang pintar sekali Putri Terkutuk ini!” Kembali, suara dari pelatih dansanya menginterupsi. Tak lupa dengan tatapan tajam sembari berkacak pinggang.

Ditatapnya jengah wajah wanita yang berusia sekitar 30 tahunan itu. Setelahnya, Amaryllis tersenyum polos bak anak kecil. “Maaf … apa tadi yang baru kau katakan, Nyonya?”

Wanita itu mencebikkan bibir semerah darahnya. “Bagaimana mungkin kau tidak mengingat gerakan yang telah kuajarkan? Para bangsawan yang memakai jasaku saja langsung pandai. Memang, ya, nasib anak terkutuk yang dibuang selama bertahun-tahun sama sekali tak pantas berada di tempat ini!” desisnya tajam.

Bukannya sakit hati, Amaryllis malah bertepuk tangan sembari terkekeh sinis. Ia menatap balas dengan tatapan tak kalah tajamnya. Membuat wanita itu seketika bungkam dengan tubuh bergidik ngeri.

Para pelayan yang berada di ruangan itu pun ikut terdiam. Mereka yang memang sedari tadi ikut berbisik tak suka bahkan tak segan-segan ikut mencela Sang Putri, saat ini bungkam. Entahlah, mereka merasa hawa di ruangan mendadak tak enak. Bernapas pun rasanya sulit.

“Perlu kuingatkan. Aku diam, bukan berarti tidak bisa melawan. Kau siapa di sini? Apakah Raja memerintahkanmu untuk mencaciku? Begitukah?” Amaryllis menjeda kalimatnya. Ia tersenyum miring. “Ah … kau belum tahu rasanya mendapatkan kesialan bukan? Mau aku berikan kutukan ini padamu?” imbuhnya sembari menyentuh topeng yang dipakainya itu.

Seketika, si pelatih wanita itu menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Ia lantas terduduk, lalu bersujud meminta ampun kepada Sang Putri. Memang jika dipikirkan baik-baik, Putri Amaryllis tidaklah salah. Ia sejak tadi hanya diam setelah menunjukkan sekali teknik berdansa kepada Sang Putri. Setelahnya, ia hanya mengejak, mencela, bahkan menghina mati-matian Putri itu.

“Ampun … Putri,” lirihnya. Sungguh, ia tidak ingin mendapatkan kutukan kesialan dari Sang Putri.

Tersenyum puas, Amaryllis langsung mengusap lembut puncak kepala wanita itu. “Anak pintar! Aku menyukaimu sepertinya Nyonya Corrine.”

Bukannya merasa tenang, Corrine semakin dibuat takut. Saking takutnya, tubuhnya tanpa sadar bergetar sembari mengeluarkan keringat dingin. Ingin bicara pun apa daya. Suaranya selalu tercekat di tenggorokan.

Melepaskan tangannya dari kepala pelatihnya itu, Amaryllis mendengkus kesal. Ia pikir dirinya akan mendapatkan perlakukan ‘kurang ajar’ yang berlebih. Ah … kalau begini mana seru? Ia butuh perlakukan tidak adil yang melibatkan fisik. Alasannya? Agar dirinya bisa melakukan akting lainnya yang akan membuat sang ayah kerepotan.

Evanescent Felicity [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang