•••
Galau. Satu kata yang dirasakan oleh gadis kecil itu. Sudah beberapa bulan belakangan ini, gadis bersurai cokelat gelap itu dirundung kegelisahan yang mendalam. Hatinya benar-benar nyeri bercampur sesak. Entahlah … rasa ini terlalu sulit dideskripsikan.
Sang pelayan yang sudah terbiasa melihat tuannya murung itu hanya diam. Semenjak pulang dari tempat pelatihan Tuan Farand—di hari libur, pasti wajah tuannya itu tak enak dilihat. Terpancar ada raut kesedihan serta kegelisahan di sana.
“Kenapa, sih, harus dengar berita itu? Jadi nggak semangat, ‘kan, jadinya, ish!” Amaryllis mendengkus sembari memukul-mukul pelan kepalanya. Ia harap rasa ‘galau’-nya ini dapat terobati setelah memukul kepalanya sendiri.
Deidamia, gadis itu hanya meringis dari kejauhan. Ingin sekali mendekati sang tuan. Namun, niatnya terpaksa diurungkan setelah seseorang menepuk lembut sebelah pundaknya.
Dapat Deidamia lihat seorang pria yang memakai pakaian khas seorang pengawal dengan jabatan cukup tinggi itu di sebelahnya. Pria bersurai hitam kelam dengan sorot mata ramah dan tegas. Di mana sosok itu terkenal dengan ramahnya. Baron Lucian Orfeo Madhiaz—pengawal pribadinya Pangeran Androcles.
“Tu-tuan? Apa yang Tuan lakukan di sini?” Deidamia tersenyum gugup sembari menundukkan pandangannya. Entahlah, berhadapan dengan seorang Lucian selalu berhasil membuatnya gugup.
Tersenyum ramah, Lucian menunjukkan jempol kanannya. “Tenang. Amaryllis akan kutangani. Sesuai perintah dari Pangeran,” ujarnya.
Deidamia hanya mengangguk. Setelahnya, ia langsung pamit undur diri untuk menyiapkan makan siang mereka. Meninggalkan pria itu yang ternyata diam-diam memperhatikannya.
Tersenyum kecil, Lucian geleng-geleng kepala. Berusaha mengusir perasaan aneh yang mengusik hatinya. “Baiklah, waktunya bekerja Lucian. Kalau kau tidak berhasil membuat gadis itu tersenyum, tuanmu akan menghukummu nanti,” ujarnya pelan lalu pergi menghampiri gadis kecil yang duduk di bawah pohon rindang itu.
***
“Lucian, kau tahu? Aku tidak mengerti dengan perasaanku ini. Dia … Androcles benar-benar mempermainkanku.”
“Bagaimana mungkin dia ingin bertunangan dengan gadis lain? Aku di sini berjuang untuk membuatnya jatuh hati. Lalu, tanpa membalas suratku atau bertemu denganku, dia malah sibuk mengurus pertunangannya.”
“Lucian, aku kecewa dengannya. Aku benar-benar kecewa. Aku … membencinya.”
Rentetan ‘unek-unek’ terus dilayangkan oleh Amaryllis. Ia tak peduli jika telinga pria itu akan kepanasan nanti. Ia pun tidak merasa bersalah setelah berhasil membuat Lucian gagal untuk melayangkan kalimat balasan. Bodoh amat. Dirinya hanya ingin semua sesaknya ini dapat diutarakan.
“Argh! Aku tidak paham dengan pria sialan itu!” Lagi, Amaryllis menginterupsi. Gadis itu mulai menjambak frustrasi rambutnya sembari berteriak kencang. Hatinya … benar-benar sesak.
Menangis? Sayangnya Amaryllis sedang tak ingin menangis. Ia hanya merasa sangat kesal dan sesak. Itu saja. Dan mungkin, hal yang akan membuat perasaannya baikan ialah dengan mengutarakan semuanya sampai ia merasa lega.
Lucian, pria itu hanya diam sembari meringis. Melihat Amaryllis yang seperti tengah kemasukan roh jahat itu, benar-benar berhasil membuatnya bergidik. Ia jadi membayangkan bagaimana jadinya jika tuannya bersatu dengan gadis itu. Wah … benar-benar pasangan yang serasi kalau dipikir-pikir.
Berdeham, ditatapnya Amaryllis dengan tatapan ramahnya. Lucian tersenyum simpul. “Boleh aku bicara sebentar?”
Sontak, Amaryllis menoleh. Ia langsung merapikan rambutnya. “A-ah … maaf. Aku kelepasan,” ringisnya sembari terkekeh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Evanescent Felicity [On Going]
Fantasía•Fantasi Story• •Romance : rate 15+• •[Follow sebelum membaca!]• ••• Percayakah kalian dengan takdir? Bak sebuah tali yang tak terlihat, takdir ibaratkan benang merah yang saling berhubungan di setiap orangnya. Kadang ... sesuka hati membuat beberap...